![]() |
Launching dan Bedah Buku Aksiologi Ma'rifah Hamzah Fansuri di Aula Fakultas Ushuluddin UIN Ar Raniry Banda Aceh Selasa 19 Desember 2017 |
Judul Buku : AKSIOLOGI MA'RIFAH HAMZAH FANSURI
Penulis : Ramli Cibro
Penulis : Ramli Cibro
Cetakan Pertama : Juni 2017
ISBN 978-602-60562-03-8
ISBN 978-602-60562-03-8
xxi + 182 hlm 14,5x21cm
Editor : Muhammad Alkaf
Penerbit :
PADEBOOKS Banda Aceh
(disadur dari bagian kesimpulan buku)
Kajian ini berangkat dari keinginan penulis untuk mencari nalar epistimologi baru dalam melihat Hamzah Fansuri untuk menemukan konsep-konsep yang mungkin akan diaktualisasikan sebagai konstruk Hamzah Fansuri (atau dalam Istilah beberapa penulis sebagai Konstruk Fansurian). Konstruk ini diharapkan akan menjadi alternatif paradigma khususnya dibidang kebudayaan dan keislaman yang akhir-akhir ini lebih didominasi oleh paradigma keagamaan yang radikal dan fundamental.
Disini ada upaya untuk mengevaluasi dan mengkritisi nalar wujǔdiyah yang diyakini sebagai ajaran Hamzah Fansuri selama berabad-abad lamanya. Hemat penulis kata tersebut kurang tepat digunakan, baik ditinjau dari ontologi, epistimologi dan aksiologinya. Dari ontologi, kata wujǔdiyah hanya berorientasi kepada persoalan wujǔd (eksistensi) dan teologi (perdebatan) tanpa menyentuh dimensi yang lebih mendalam seperti mâhiyah dan konsepsi tentang Dzât. Kata wujǔdiyah juga terkesan jauh dari kajian-kajian yang lebih membumi seperti ajaran tasawuf-praktis dan tarekat. Kata wujǔdiyah justru lebih mendekati persoalan-persoalan ontologi-teologi perihal bagaimana fikh dan tauhid menakar ajaran tersebut.
Dari epistimologi kata wujǔdiyah muncul dari penolakan Nǔr Al Dĭn Al Rânirĭ atas ajaran tasawuf Hamzah Fansuri. Sehingga sering terjadi kecurigaann dini ketika peneliti hendak mengkaji Hamzah Fansuri. Mereka umumnya membawa presepsi yang jauh dan mengawang pada tataran teologi. Sehingga umumnya penelitian Hamzah Fansuri hanya menghasilkan dua kesimpulan, yaitu para peneliti mengurung ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dalam konsepsi wujǔdiyah sekaligus menggugat atau membelanya.
Dari aksiologi, kata wujǔdiyah mengantarkan Hamzah Fansuri pada tudingan bahwa ia adalah sufi dari golongan falsafi yang difahami sebagai sufi yang tidak membumi. Dimana ajaran tasawufnya tidak dapat digunakan dan tidak memiliki manfaat atau nilai apa-apa. Kata wujǔdiyah tidak saja mengantarkan pada pemahaman yang keliru mengenai Hamzah Fansuri tapi lebih dari itu, kata wujǔdiyah telah mengubur kajian Hamzah Fansuri dalam dialektika masa lalu. Hasilnya, ajaran Hamzah Fansuri tidak dapat dikonstruksi untuk berkontribusi bagi perkembangan kehidupan manusia hari ini.
Selain itu, Tasawuf Hamzah Fansuri adalah ajaran sufi yang berdimensi esoteris dan mâhiyah dengan filsafat esensialisme sebagai pendekatannya. Sedangkan kata wujǔdiyah sangat berorientasi kepada eksoteris atau wujǔd dengan filsafat eksistensialisme sebagai pendekatannya. Jadi, jika selama ini orientasi penelitian Hamzah Fansuri cenderung menggunakan pendekatan eksistensialisme (teologi atau wahyu) maka kali ini, akan dicoba dekati dengan prespektif essensialisme. Jika pada mulanya Hamzah Fansuri dibedah dengan difahami dalam nalar eksoteris, maka kali ini Hamzah Fansuri akan dicobatalar dengan pendekatan esoteris. Artinya, prespektif Hamzah Fansuri dicoba analisis dari pengamalan ke pengalaman.
Oleh karena itu, kajian ini akan mencoba mencari kata yang bermuatan essensi atau mâhiyah yang dapat digunakan untuk melihat kembali ajaran tasawuf Hamzah Fansuri secara lebih tepat. Karena ajaran Hamzah Fansuri adalah ajaran tasawuf yang sepatutnya ia dikaji dari prespektif filsafat essensial bukan eksistensial. Oleh karenanya, alih-alih menggunakan kata wujǔdiyah yang sangat eksoteris itu, kajian ini menggunakan prespektif ma‘rifah yang penulis yakini masih bersifat esoteris. Lagi pula, kata ma‘rifah sangat dominan disebutkan oleh Hamzah Fansuri, seolah ajaran tasawufnya adalah bagaimana menjelaskan ajaran ma‘rifah itu sendiri. Berbeda dengan kata wujǔdiyah yang tidak ditemukan dalam karya-karya Hamzah Fansuri.
Aksiologi Ma‘rifah Hamzah Fansuri adalah sebuah kajian yang melihat makna relasi dari bagaimana Hamzah Fansuri menjelaskan ma‘rifah khususnya berkenaan dengan makna-makna aksiologis. Kajian ini kemudian menghasilkan tiga konsep makna dari ajaran Ma‘rifah Hamzah Fansuri, yaitu: Ma‘rifah sebagai pengalaman (ma‘rifah as experience), ma‘rifah sebagai pengetahuan (ma‘rifah as knowledge) dan ma‘rifah sebagai pedoman kehidupan (ma‘rifah as life guidance).
Ma‘rifah sebagai pengalaman (ma‘rifah as experience) adalah ma‘rifah sebagai bentuk pengalaman perjumpaan dan perasaan yang meluap-luap dalam keta’zuban akan penyaksian (shuhǔd). Pengalaman yang meluap-luap ini tentu sulit dijabarkan apalagi oleh mereka yang belum mencapai pengalaman ma’rifah. Hanya saja disini yang ingin dijelaskan adalah bahwa pengalaman spiritual (spiritual experience) kaum sufi, masuk kedalam cakupan ma’rifah.
Ma‘rifah sebagai pengetahuan (ma‘rifah as knowledge) adalah capaian-capaian pengetahuan dan pemahaman spiritual yang diterima oleh mereka yang telah sampai pada kedudukan ma‘rifah dalam bentuk ilmu ‘irfâni atau ilmu ladǔnĭ. Dalam tradisi Filsafat Islam, diyakini bahwa ilmu ‘irfâni menduduki posisi paling tinggi dalam strata pengetahuan. Selain itu, ilmu ‘irfâni yang berwujud pengetahuan dengan kehadiran diyakini terbebas dari ambiguitas dan reduksi pemahaman. Ma’rifah sebagai pengetahuan dalam konsepsi Hamzah Fansuri adalah ilmu ‘irfâni atau ilmu ladǔnĭ itu sendiri.
Ma‘rifah sebagai pedoman kehidupan (ma‘rifah as life guidance) menjelaskan makna ma‘rifah dalam pandangan Hamzah Fansuri dapat menjadi semacam tuntutan bagi orang-orang awwam atau kepada orang yang mengalami ma‘rifah itu sendiri. Sebagian para sufi memahami bahwa pengalaman ma‘rifah tidak perlu diceritakan, namun sebagian yang lain seperti Hamzah Fansuri, meyakini bahwa pengalaman ma‘rifah mestilah diceritakan. Diharapkan, pengalaman tersebut dapat menjadi penguat pengetahuan ketauhidan dan menjadi pedoman dan petunjuk bagi orang lain.
Ma‘rifah Hamzah Fansuri dalam kaitannya dengan implementasi syari‘at Islam di Aceh, diharapkan mampu memberi kontribusi di bidang pembanguan dimensi-dimensi ruhani, intelektualitas ketauhidan dan tasawuf naratif. Pengembangan dimensi ruhani dalam wujud pembinaan spiritualitas misalnya dapat dilakukan dengan cara memberikan perhatian pada pengembangan tarekat-tarekat sufi atau juga dengan melakukan instalisasi nilai-nilai spiritual dalam berbagai kesenian dan budaya. Sedangkan intelektualitas berketauhidan diharapkan akan memberi kesadaran dan objektifikasi yang logis antara Hamba dan Tuhan. Begitupun tasawuf naratif diharapkan akan memberi warna bagi kajian tasawuf yang bukan hanya disadur dari teks-teks normatif, akan tetapi juga diajarkan tasawuf berbasis pengalaman spiritual. Sehingga Syari’at Islam tidak hanya bergerak pada wilayah lahiriyah agama (syari’at sebagai syari’at itu sendiri) akan tetapi juga bergerak pada tatanan-tatanan batin dan keruhanian (syari’at sebagai jalan menuju ma’rifah).
Dari epistimologi kata wujǔdiyah muncul dari penolakan Nǔr Al Dĭn Al Rânirĭ atas ajaran tasawuf Hamzah Fansuri. Sehingga sering terjadi kecurigaann dini ketika peneliti hendak mengkaji Hamzah Fansuri. Mereka umumnya membawa presepsi yang jauh dan mengawang pada tataran teologi. Sehingga umumnya penelitian Hamzah Fansuri hanya menghasilkan dua kesimpulan, yaitu para peneliti mengurung ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dalam konsepsi wujǔdiyah sekaligus menggugat atau membelanya.
Dari aksiologi, kata wujǔdiyah mengantarkan Hamzah Fansuri pada tudingan bahwa ia adalah sufi dari golongan falsafi yang difahami sebagai sufi yang tidak membumi. Dimana ajaran tasawufnya tidak dapat digunakan dan tidak memiliki manfaat atau nilai apa-apa. Kata wujǔdiyah tidak saja mengantarkan pada pemahaman yang keliru mengenai Hamzah Fansuri tapi lebih dari itu, kata wujǔdiyah telah mengubur kajian Hamzah Fansuri dalam dialektika masa lalu. Hasilnya, ajaran Hamzah Fansuri tidak dapat dikonstruksi untuk berkontribusi bagi perkembangan kehidupan manusia hari ini.
Selain itu, Tasawuf Hamzah Fansuri adalah ajaran sufi yang berdimensi esoteris dan mâhiyah dengan filsafat esensialisme sebagai pendekatannya. Sedangkan kata wujǔdiyah sangat berorientasi kepada eksoteris atau wujǔd dengan filsafat eksistensialisme sebagai pendekatannya. Jadi, jika selama ini orientasi penelitian Hamzah Fansuri cenderung menggunakan pendekatan eksistensialisme (teologi atau wahyu) maka kali ini, akan dicoba dekati dengan prespektif essensialisme. Jika pada mulanya Hamzah Fansuri dibedah dengan difahami dalam nalar eksoteris, maka kali ini Hamzah Fansuri akan dicobatalar dengan pendekatan esoteris. Artinya, prespektif Hamzah Fansuri dicoba analisis dari pengamalan ke pengalaman.
Oleh karena itu, kajian ini akan mencoba mencari kata yang bermuatan essensi atau mâhiyah yang dapat digunakan untuk melihat kembali ajaran tasawuf Hamzah Fansuri secara lebih tepat. Karena ajaran Hamzah Fansuri adalah ajaran tasawuf yang sepatutnya ia dikaji dari prespektif filsafat essensial bukan eksistensial. Oleh karenanya, alih-alih menggunakan kata wujǔdiyah yang sangat eksoteris itu, kajian ini menggunakan prespektif ma‘rifah yang penulis yakini masih bersifat esoteris. Lagi pula, kata ma‘rifah sangat dominan disebutkan oleh Hamzah Fansuri, seolah ajaran tasawufnya adalah bagaimana menjelaskan ajaran ma‘rifah itu sendiri. Berbeda dengan kata wujǔdiyah yang tidak ditemukan dalam karya-karya Hamzah Fansuri.
Aksiologi Ma‘rifah Hamzah Fansuri adalah sebuah kajian yang melihat makna relasi dari bagaimana Hamzah Fansuri menjelaskan ma‘rifah khususnya berkenaan dengan makna-makna aksiologis. Kajian ini kemudian menghasilkan tiga konsep makna dari ajaran Ma‘rifah Hamzah Fansuri, yaitu: Ma‘rifah sebagai pengalaman (ma‘rifah as experience), ma‘rifah sebagai pengetahuan (ma‘rifah as knowledge) dan ma‘rifah sebagai pedoman kehidupan (ma‘rifah as life guidance).
Ma‘rifah sebagai pengalaman (ma‘rifah as experience) adalah ma‘rifah sebagai bentuk pengalaman perjumpaan dan perasaan yang meluap-luap dalam keta’zuban akan penyaksian (shuhǔd). Pengalaman yang meluap-luap ini tentu sulit dijabarkan apalagi oleh mereka yang belum mencapai pengalaman ma’rifah. Hanya saja disini yang ingin dijelaskan adalah bahwa pengalaman spiritual (spiritual experience) kaum sufi, masuk kedalam cakupan ma’rifah.
Ma‘rifah sebagai pengetahuan (ma‘rifah as knowledge) adalah capaian-capaian pengetahuan dan pemahaman spiritual yang diterima oleh mereka yang telah sampai pada kedudukan ma‘rifah dalam bentuk ilmu ‘irfâni atau ilmu ladǔnĭ. Dalam tradisi Filsafat Islam, diyakini bahwa ilmu ‘irfâni menduduki posisi paling tinggi dalam strata pengetahuan. Selain itu, ilmu ‘irfâni yang berwujud pengetahuan dengan kehadiran diyakini terbebas dari ambiguitas dan reduksi pemahaman. Ma’rifah sebagai pengetahuan dalam konsepsi Hamzah Fansuri adalah ilmu ‘irfâni atau ilmu ladǔnĭ itu sendiri.
Ma‘rifah sebagai pedoman kehidupan (ma‘rifah as life guidance) menjelaskan makna ma‘rifah dalam pandangan Hamzah Fansuri dapat menjadi semacam tuntutan bagi orang-orang awwam atau kepada orang yang mengalami ma‘rifah itu sendiri. Sebagian para sufi memahami bahwa pengalaman ma‘rifah tidak perlu diceritakan, namun sebagian yang lain seperti Hamzah Fansuri, meyakini bahwa pengalaman ma‘rifah mestilah diceritakan. Diharapkan, pengalaman tersebut dapat menjadi penguat pengetahuan ketauhidan dan menjadi pedoman dan petunjuk bagi orang lain.
Ma‘rifah Hamzah Fansuri dalam kaitannya dengan implementasi syari‘at Islam di Aceh, diharapkan mampu memberi kontribusi di bidang pembanguan dimensi-dimensi ruhani, intelektualitas ketauhidan dan tasawuf naratif. Pengembangan dimensi ruhani dalam wujud pembinaan spiritualitas misalnya dapat dilakukan dengan cara memberikan perhatian pada pengembangan tarekat-tarekat sufi atau juga dengan melakukan instalisasi nilai-nilai spiritual dalam berbagai kesenian dan budaya. Sedangkan intelektualitas berketauhidan diharapkan akan memberi kesadaran dan objektifikasi yang logis antara Hamba dan Tuhan. Begitupun tasawuf naratif diharapkan akan memberi warna bagi kajian tasawuf yang bukan hanya disadur dari teks-teks normatif, akan tetapi juga diajarkan tasawuf berbasis pengalaman spiritual. Sehingga Syari’at Islam tidak hanya bergerak pada wilayah lahiriyah agama (syari’at sebagai syari’at itu sendiri) akan tetapi juga bergerak pada tatanan-tatanan batin dan keruhanian (syari’at sebagai jalan menuju ma’rifah).
No comments:
Post a Comment