Tuesday, 26 November 2019

Sang Detektif

Oleh Ramli Cibro : Sang Detektif kemudian terbangun. Ia masih merasa sangat pusing setelah pingsan beberapa jam yang lalu. Ia mendapati seragam polisi yang dikenakan berlumuran darah sementara tangan kanannya menggenggam pisau. Terlihat bercak darah di pisau tersebut. Detektif menduga bahwa dirinya baru saja berkelahi dengan penjahat. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari penjahat yang mungkin sudah tumbang itu.

Keadaan sangat berantakan. Kursi dan buku-buku berserakan. Sebuah meja kecil miring dan menyisakan dua kaki tegak karena dua kaki lainnya, patah. Semua yang ada diatas meja meluncur kebawah dan berserakan di lantai. Komputer; keyboard; mouse; kaleng pensil dan seluruh isinya; secarik kertas berisi tulisan tangan yang kusut seperti bekas cengkraman. Dan tentu saja titik-titik darah beredar dimana-mana.

Ada juga bekas tusukan yang menghamburkan kapas bernoda darah dari sofa dekat meja televisi yang juga sudah oleng. Lampu pijar yang menerangi ruang tengah juga berkelip-kelip menunggu detik-detik mati. Di ujung dekat pintu terdengar desis-desis korslet tipis dari saklar yang juga rusak karena terkena lemparan sesuatu. Sesekali ia mengeluarkan percikan api. Desis-desis itu diikuti kelap-kelip lampu pijar di ruang tengah yang semakin lama semakin meredup; Sepertinya saklar itu terkena lemparan botol keramik karena dibawahnya terdapat pecahan keramik dan beberapa kuntum bunga mawar yang masih segar.
Tapi tunggu dulu,,,! disana juga ada bercak darah. Setiap kaca; porslein; monitor; layar TV; alas meja yang terbuat dari kaca; bahkan sebuah smartphone tidak luput dari kerusakan. Yang terparah adalah cermin rias seukuran setengah badan orang dewasa yang menggantung di samping lemari hancur terkena lemparan kursi.
Detektif menoleh ke cermin yang pecah itu. Ia menatap sosok yang ada di sana. Tiba-tiba ia terkejut menyaksikan sang bayangan. Ia merasa seperti pernah mengenal bayangan itu. Dengan gemetar Detektif kemudian meraba kantong celana. Ia meronggoh sesuatu. Ia mengeluarkan foto buronan yang baru ditemukan pada hari sebelumnya; ketika ia sedang mengadakan penyelidikan kematian seorang gadis di pinggir kota.
Ketika itu; pertama kali melihat foto tersebut ia merasa pernah mengenal orang di dalam foro tersebut disuatu tempat namun ketika itu ia mengabaikannya. Ia berfikir mungkin saja buronan itu dulunya adalah tahanan yang pernah berurusan dengannya. Sehingga, ia tidak terlalu pusing untuk mencari tahu siapa yang ada didalam foto.
Pelan-pelan ia mengangkat foto di depan cermin. Ia mencoba menguatkan retina karena lampu pijar dalam ruangan itu redup akibat aliran listrik yang lemah. Ditambah lagi daya tubuhnya pelan-pelan melemah dan semakin melemah. Bahkan gumpalana otaknya terasa dingin karena kekurangan oksigen. Samar-samar fragmen-fragmen bayangan yang muncul dari cermin bersatu membentuk sosok. Semakin lama sosok itu semakin nyata dan jelas hingga akhirnya ia sangat terkejut ketika mendapati sosok yang ada di cermin mirip dengan yang ada difoto. "Lalu bayangan siapa ini?" Ia bertanya gusar.
Ia menoleh ke belakang; tidak ada siapapun selain dirinya. Ia mencoba menggapai bayangan yang ada di cermin dan bayanganpun melakukan hal yang sama, bayangan itu menggapai dirinya. Ia menempelkan tangannya yang berlumuran darah ke dasar cermin dan bayanganpun melakukan hal yang sama. Ia mengangkat tangannya dari cermin dan menyisakan jejak darah menempel mengotori cermin dan bayangan itu melakukan hal yang sama. Daya otaknya melemah atau juga karena keadaan ruangan yang sangat berantakan; gelap dan dipenuhi ceceran darah dimana-mana. Namun kemudian ia mampu mencerna keadaan.
Pertama ia mengira baru saja berkelahi dengan seorang pembunuh. Namun tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain ditempat itu selain dirinya sendiri. Melihat titik-titik kerusakan yang banyak berhubungan dengan kaca tiba-tiba ia menduga ia baru saja berkelahi dengan hantu yang dapat bersembunyi di dalam bayangan cermin. Ia tertawa terdehem merasakan imajenasi liar yang semakin tidak masuk akal yang dulu pernah sukses mengantarkannya menjadi detektif handal .

Detektif mencoba menjernihkan pikiran.
“Tidak mungkin aku berkelahi dengan hantu?” Hati Detektif menyanggah.

Ia kembali menoleh cermin rias yang sudah terbelah berbentuk pola jaring laba-laba dimana beberapa lariknya sudah terkelupas. Terlihat kertas kardus kuning mencuat menggantikan posisi sang kepingan dan berusaha mempertahankan bentuk persegi panjang body cermin walau kacanya sudah tidak lagi utuh. Detektif melihat kearah bayangan cermin dan menemukan sosok hitam yang menatapnya dengan seringai pucat.
Pelan-pelan detektif mulai menyadari. Astaga!!? Itu adalah bayangannya sendiri. Dan wajah yang ada di photopun tak lain adalah wajahnya. Ternyata buronan pembunuh berantai yang selama ini diburu adalah dirinya sendiri.
Dengan penuh ketakutan, detektif berlari ke arah pintu. Ia berharap bisa membuka pintu dan mendapati cahaya yang mungkin bisa menjernihkan kepanikannya walau tentu tidak harus mengurai ketidakwarasan yang mulai ia sadari. Pelan-pelan ia mulai mencerna keanehan-keanehan yang ia alami akhir-akhir ini. Dan untuk sementara ia berhipotesa bahwa ia mengalami gangguan jiwa.
Kemudian detektif merasakan sesuatu yang aneh. Perutnya serasa perih; lengket; berat dan basah. Ia menoleh kebawah dan kali ini ia lebih terkejut lagi. Ia melihat perutnya robek dan mengeluarkan warna merah; kuning dan hijau. Luka sobekan itu terlihat sangat parah dan mengerikan. Ia merasa mual. Dari perutnya yang robek mengalir darah cukup deras.
Ia cukup lama bergumul dalam dunia detektif. Dari posisi tangan; jenis pisau dan keadaan luka yang terpantul dari cermin dia tahu bahwa dia telah menusuk perutnya sendiri. Tapi mengapa sampai terjadi? Keadaan ini menambah kebingungannya.
Ia kembali mencoba berdiri dengan menjatuhkan pisau dan foto tersangka -yang tak lain adalah dirinya sendiri. Kemudian tangan kanannya menjatuhkan pisau begitu saja ke lantai dan ia memegangi perut; mencegah darah keluar lebih banyak. Ia bingung, apakah sekarang ia adalah seorang detektif, atau sebagai buronan atau malah sebagai korban berikutnya dari ‘Sang Pembunuh?"
Akhirnya, sebagai detektif, ia mengeluarkan gulungan ban plastik Police Line dan dengan susah payah melingkarkannya di sekeliling ruangan yang berantakan. Sebagai tersangka ia memborgol tangan kiri dan mengikatkan gelang borgol yang satunya pada salah satu kaki meja yang masih utuh. Dan sebagai korban ia menghubungi 911.
Kemudian, semua terasa melambat ketika sayup-sayup terdengar suara ambulan yang semakin mendekat. Ia pun terkapar lemas kehabisan darah. Pandangannya semakin kabur dan kemudian, gelap. Di tengah perih yang mengoyak isi perut; tiba-tiba ia tersenyum dan merasa lega. Ia menyadari bahwa kematiannya tidak sia-sia. Setidaknya ia membawa seorang penjahat mati bersamanya.
Terakhir sebelum semuanya menjadi gelap ia sadar bahwa ia bukan sedang memakai seragam polisi. Ia mengenakan piyama tidur, kamar yang berantakan itu adalah kamarnya sendiri dan kejadian itu terjadi tepat pukul enam pagi saat keadaan masih gelap dan cuaca masih terasa dingin.
Pelan-pelan ia mendengar gemericik basah yang jatuh dari dedaunan pohon, menyelusup masuk berbaur dengan genangan air di tanah yang becek. Jatuhan air itu menimbulkan nada tidak biasa namun begitu tenang; dan begitu damai.
“Mungkin semalam hujan,” pikir sang detektif.
Sesaat kemudian ia menghebuskan nafas terakhir.

Cerpen ini pernah dimuat pada rubrik budaya, Harian Serambi Indonesia, Minggu 24 November 2019
Cerpen Sang Detektif pada Harian Serambi Indonesia, Minggu 24 November 2019

No comments:

Post a Comment