Bebas nilai
sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu
pengetahuan yang dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di
luar ilmu pengetahuan. Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan
dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuanm dan karena itu ilmu pengetahuan tidak
boleh dikembangkan dengan didasarkan pertimbangan lain diluar ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan
ilmiah murni.[1]
Maksud
dasar dari tuntutan ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepada
pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan sehingga malah mengalami distorsi.
Asumsinya selama ilmu pengetahuan, dalam seluruh prosesnya, tunduk kepada
pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, baik itu pertimbangan politik,
religious maupun moral, ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom.
Itu berarti, ilmu pengetahuan tunduk kepada otoritas lai diluar ilmu
pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan
lain dan dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni sama sekali.[2]
Ahmad
Tafsir mempunyai pendapat yang berbeda. Beliau memiliki kecenderungan
pragmatis. Menurut beliau lebih
bijaksana untuk mengatakan bahwa Sains itu tidak netral. Netralitas sains
dalam pandangan beliau berarti bahwa sains harus diikat dengan
nilai-nilai, baik itu nilai-nilai susila maupun nilai-nilai agama. Beliau
merincikan bahwa Sains tidak netral ditinjau dari aspek ontologi, epistimologi
dan aksiologi. Dari aspek Ontologi, seorang Saintis tidak boleh mengeluarkan
teori-teori Sains yang bertentangan dengan keyakinan yang dianut, begitupun
dalam Aspek Epistimologis (cara memperoleh pengetahuan).
Seorang
dalam meneliti Jantung misalnya harus mempertimbangkan sisi-sisi manusiawi
dimana untuk meneliti jantung, seorang saintis tidak netral akan menggunakan
jantung hewan, bukan malah misalnya dengan mengambil jantung gelandangan. Dan
proses pengambilan jantung-pun dilakukan dengan mempertimbangkan perasaaan makhluk
yang bersangkutan, apakah dengan terlebih dahulu disembelih atau lain-lain.[3]
Yang paling
merugikan bagi manusia menurut beliau adalah bila faham sains netral diterapkan
pada aspek Aksiologi, dimana orang dapat menggunakan hasil-hasil sains
seenaknya tanpa mempertimbangkan kemaslahatan manusia lainnya dan lingkungan.[4]
Kedua
padangan tersebut secara radikal sering menimbulkan permasalahan. Pandangan
netralitas sains radikal telah bertanggungjawab atas cara-cara perolehan maupun
penggunaan sains yang tidak sesuai telah membawa kehancuran pada manusia maupun
lingkungan. Pengeboman Hirosima dan Nagasaki misalnya adalah wujud dari
penggunaan sains netral. Disamping itu pandangan yang mengatakan sains tidak
netral dan harus dikontrol oleh sebuah nilai atau otoritas keagamaan juga telah
bertanggung jawab atas kematian tragis yang menimpa Galileo dimana penemuan
sains tidak mendapat restu dari otoritas keagamaan.
Untuk
menjembatani persoalan ini, A Sonny Keraf dan Michael Dua menuliskan sebuah
sintesis dengan membagi pengetahuan kedalam Context of Discovery dan Context
of Justification. Menurut keduanya, jika ditinjau dari Context of
Discovery atau konteks dimana pengetahuan tersebut ditemukan, maka
pengetahuan tidak akan lepas dari sifat-sifat tidak-netral-nya. Sering kali
penemuan ilmiah misalnya dipengaruhi oleh diri si penemu, keyakinannya, keadaan
masyarakat sekitar serta pihak yang mengotorisasi (mengijinkan atau
memerintahkan) si penemu untuk menemukan jawaban dari sebuah persoalan.
Ditinjau dari posisi ini mereka mengatakan bahwa Sains itu tidaklah netral. [5]
Apapun jika
dilihat dari Context of Justification, atau proses pengujian sebuah
temuan ilmiah, maka mereka mengatakan bahwa sains haruslah netral, karena
proses pengujian mesti diusahakan seobyektif mungkin agar tercapai kebenaran
obyektif. [6]
Namun apapun itu, kenyataan apakah Sains netral atau tidak masih perlu diperdebatkan. Karena, baik dari sisi Ontologi, Epistimologi maupun Aksiologi, Peninjauan Radikal atas Netral atau Tidaknya suatu Sains tetap memiliki Ekses Negatif. Misalnya, mungkin kita tidak akan pernah tahu anatomi tubuh jika tidak ada orang yang Nekat membelah tubuh mayat manusia. Dan kita tidak akan pernah tahu proses kloning dan bayi tabung pada hewan atau manusia jika tidak ada yang berani memulai proyek tabu yang secara moral ini.
[1] A.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis,
149.
[2] A.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis,
150.
[3]
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal 45-55.
[4]
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal 45-55.
[5]
Lihat A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan
Filosofis, hal 154-158.
[6]
Lihat A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan
Filosofis, hal 154-158.
No comments:
Post a Comment