Tulisan ini pernah dimuat di Suaka Online (UKM SUAKA), Kampus Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Jum’at,
9 bulan mei 2014,
http://suakaonline.com/2632/2014/05/09/kok-ulil-gak-boleh-masuk/.
Tulisan ini hanyalah ‘reaksi,’ penulis atas peristiwa gagalnya seorang cendikiawan muslim, Ulil Absar Abdalla, menghadiri Acara diskusi yang dilakukan salah oleh salah satu HMJ di Kampus tersebut pada hari senin, 05 mei 2014. Tentu saja tulisan ini masih jauh dari ‘kebenaran.’ Namun kami berharap ia akan menjadi ‘wasilah,’ bagi kami dalam rangka pencarian ‘kebenaran,’ itu sendiri.
ULIL KOK GA BOLEH MASUK?
Oleh Ramli Cibro
http://suakaonline.com/2632/2014/05/09/kok-ulil-gak-boleh-masuk/.
Tulisan ini hanyalah ‘reaksi,’ penulis atas peristiwa gagalnya seorang cendikiawan muslim, Ulil Absar Abdalla, menghadiri Acara diskusi yang dilakukan salah oleh salah satu HMJ di Kampus tersebut pada hari senin, 05 mei 2014. Tentu saja tulisan ini masih jauh dari ‘kebenaran.’ Namun kami berharap ia akan menjadi ‘wasilah,’ bagi kami dalam rangka pencarian ‘kebenaran,’ itu sendiri.
ULIL KOK GA BOLEH MASUK?
Oleh Ramli Cibro
Ada tradisi di UIN, bahwa
mahasiswa itu harus didobrak pemikirannya, agar terbiasa terbuka, kritis dan
tidak kaku. Tradisi dobrak mendobrak atau bongkar membongkar pemikiran pada
dasarnya adalah warisan kejayaan Islam di masa lalu. Ummat selalu diajarkan
untuk bersikap kritis dalam menjawab setiap persoalan. Ketika dihadapkan pada
tantangan, umat Islam tidak dianjurkan untuk menghindar. Semua keresahan di kalangan
umat selalu dipandang dari konteks akademik dan disambut dengan keterbukaan.
Menghadirkan Sang Pengacau dan mempelajarinya.
Kita tahu bagaimana Al-Hallaj
tidak sertamerta disalahkan ketika ia mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Oleh lembaga
akademik, yang ketika itu dikepalai oleh Junadi al-Baghdadi, Al-Hallaj
difasilitasi untuk memaparkan pemikirannya sehingga akhirnya bisa dipahami
bahkan dikembangkan sampai hari ini. Namun karena kebetulan ketika itu situasi
politik menghendaki untuk menghukum Al-Hallaj, akhirnya Junaid terpaksa
menandatangangi surat eksekusi dengan menulis catatan di bawahnya; Di mata
Syari’ah Al-Hallaj bersalah, tapi belum tentu di mata Allah.
Zaman kegemilangan pengetahuan
Islam pada masa Dinasti Abassiyah misalnya, para khalifah begitu apresiatif
terhadap temuan-temuan dan perubahan-perubahan pemikiran. Semua tantangan
ditampung untuk kemudian dibahas dan dijadikan objek kajian. Tidak ada tradisi
tutup menutup telinga atau menutup gerbang dan tak ada pula yang mencoba lari.
Tradisi keterbukaan ini, tidak bisa dipungkiri mampu mengembangkan pengetahuan
umat Islam kala itu. Kita tentu tahu Kitab Tahafut Al-Falasifah Al-Ghazaly
dilawan oleh Ibnu Rusydi bukan dengan membakar kitab Al-Ghazaly, akan tetapi
dengan membuat kitab tandingan, Tahafut At-Tahafut. Bagaimana perbedaan
pendapat antara Al-Ghazaly dengan Ibnu Rusdy disikapi dengan ‘gairah
intelektual,’ di antara keduanya. Bagaimana perbedaan itu akhirnya
menjadi bernilai akademik dan menambah wawasan ummat.
Kampus Islam didirikan salah
satunya tentu untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan kemampuannya menjawab
tantangan zaman. Kemampuan tersebut tidak akan pernah tercapai kalau kita
enggan terbuka pada setiap perbedaan.
Persoalan Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak
serta merta selesai hanya karena ia dinyatakan sesat oleh Majelus Ulama
Indonesia. JIL sampai detik ini masih menyimpan persoalan yang membutuhkan
jawaban lebih dari sekedar HALAL dan HARAM. Kalau cuma ikut-ikutan apa bedanya
kita dengan masyarakat? Apa bedanya kita, mahasiswa UIN dengan mahasiswa selain
UIN?
Kita adalah insan akademik
khusunya di bidang keislaman. Bagi kita persoalan ini maupun
persoalan-persoalan lainnya adalah tantangan, bukan musibah. Ini adalah objek
kajian, bukan kutukan. Sebagai Insan akademik kita tidak bisa memandang JIL
hanya dari satu aspek saja. Kita dituntut untuk kritis, menyeluruh, tidak
pasif, mandiri dan tidak terdoktrin. Kita dituntut untuk lebih mampu menjawab
pertanyaan dengan lebih bernas, dan tentu saja ini harus diawali dengan tradisi
keterbukaan dan toleransi, “Bukan Dengan Menutup Pintu Gerbang Kampus”.
Namun, jika kedatangan Ulil saja kita sudah main tutup-tutup pintu gerbang, tantangan apanya yang mau dijawab? ‘Menolak Kedatangan Ulil’ atau idealnya ‘Kampus Islam Tanpa JIL’ adalah bentuk dari ketidaksiapan kita menjawab persoalan. Terus apa gunanya kita kuliah di kampus Islam kalau kita hanya terpaku pada halal dan haram, sesat dan tidak sesat? Dengan mengabaikan tradisi keterbukaan (atau minimal toleransi) kita telah menolak kesempatan untuk ber-tabayyun? Fatwa MUI Haram tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme hanya sebatas ‘haram mengikuti/haram mengimani,’ bukan mengharamkan ‘Tabayyun,’ atau mengharamkan upaya untuk ‘meluruskan’? Lagi pula, apapun fatwa yang dilancarkan oleh MUI, kita sebagai duta keislaman, berkewajiban untuk mengkajinya sebagai bagian dari jawaban kita atas persoalan umat. Bukan cuma sekedar ikut-ikutan.
Namun, jika kedatangan Ulil saja kita sudah main tutup-tutup pintu gerbang, tantangan apanya yang mau dijawab? ‘Menolak Kedatangan Ulil’ atau idealnya ‘Kampus Islam Tanpa JIL’ adalah bentuk dari ketidaksiapan kita menjawab persoalan. Terus apa gunanya kita kuliah di kampus Islam kalau kita hanya terpaku pada halal dan haram, sesat dan tidak sesat? Dengan mengabaikan tradisi keterbukaan (atau minimal toleransi) kita telah menolak kesempatan untuk ber-tabayyun? Fatwa MUI Haram tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme hanya sebatas ‘haram mengikuti/haram mengimani,’ bukan mengharamkan ‘Tabayyun,’ atau mengharamkan upaya untuk ‘meluruskan’? Lagi pula, apapun fatwa yang dilancarkan oleh MUI, kita sebagai duta keislaman, berkewajiban untuk mengkajinya sebagai bagian dari jawaban kita atas persoalan umat. Bukan cuma sekedar ikut-ikutan.
Sebagian dari kita memang
ingin terlihat ‘manis’ di mata khalayak. Kita ingin kampus kita bersih dan
tidak ada masalah. Padahal untuk membuat skripsi pun hal pertama yang harus
kita cari adalah masalah. Menemukan masalah yang berkembang di masyarakat dan
mempelajarinya.
Bagaimana mungkin gairah
intelektual kita terpicu kalau kita tidak berani menghadapi masalah? Bagaimana
mungkin kita bisa menjawab tantangan zaman kalau tidak dengan menghadapi
masalah? Dan tentu saja semua ini harus diawali dengan keterbukaan, bukan
dengan ketertutupan dan kejumudan.
Walau sering dianggap sebagai
‘Pendangkalan Akidah,’ keterbukaan dan toleransi telah menjadi bagian dari
jawaban mahasiswa UIN atas tantangan zaman yang mau tidak mau, sudi tidak sudi
harus dihadapi. Bahkan Jika ditilik lebih jauh, justru dengan keterbukaan ini
kampus-kampus Islam terlebih UIN Bandung menjadi kebal terhadap pengaruh
aliran-aliran sesat dan isu-isu terorisme. Ini Berbeda dengan kampus-kampus
luar yang katanya memiliki gairah keislaman lebih tinggi dibanding kampus
Islam. Dimana di sana aliran sesat dan terorisme tumbuh subur seperti jamur
yang disiram dengan teratur dalam rumah kaca yang lembab. Ini sekali lagi
menunjukkan bahwa keterbukaan itu tidak lantas membuat mahasiswanya benar-benar
masuk angin. Bahkan sebaliknya, keterbukaan melahirkan kekritisan, dan
kekritisan melahirkan ketangguhan.
UIN pada gilirannya telah
berusaha menjawab tantangan dan persoalan dengan berupaya mempelajari dan
menghadirkan tokoh-tokoh Syi’ah, Ahmadiyah, dll. UIN berusaha melakukan
tabayyun supaya mampu menyikapi perbedaan dengan lebih bijaksana. Namun
tradisi keterbukaan dan toleransi yang tinggi ini tiba-tiba sempat pudar ketika
puluhan mahasiswa melakukan aksi yang menolak kedatangan seorang cendikiawan
JIL, Ulil Absar Abdala. Kita bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan kampus
ini? Kenapa kita tiba-tiba menolak tamu yang datang? Kenapa tiba-tiba kita
menganggap kehadiran Ulil sebagai ancaman?
Semestinya yang ditolak itu
bukan Ulil, tapi kejumudan berfikir yang sudah menguasai Teras Ikomah. Ini
kampus, bukan pasar, bukan kampung. Kita adalah makhluk intelektual, bukan
makhluk ‘asah pedang,’ apalagi makhluk ‘asah burung.’ Kalau memang tidak
setuju dengan pemikirannya, kenapa tidak ditantang aja dengan adu pemikiran.
Mengapa tidak diadakan tatap muka yang lebih intens? Tidak sedikit tenaga yang
dikeluarkan panitia untuk mendatangkan pentolan JIL itu. Banyak pihak yang
sudah berusaha untuk menghadirkan beliau namun akhirnya kandas karena jadwal
beliau yang padat. Dan sekarang ketika beliau mau datang, kita malah
beramai-ramai menolaknya. Ada apa ini?
Kedatangan Ulil bisa menjadi
kesempatan bagi kita untuk lebih mengenal ‘kesesatan,’ yang ia telorkan,
sehingga ‘justis sesat,’ yang kita tudingkan menjadi lebih tepat sasaran. Untuk
menghadapi orang semacam Ulil, Tuhan bahkan menyuruh kita untuk
bertabayun, mencari kejelasan darinya, bukan menutup telinga dan menolak
mentah-mentah. (QS 49:06). Apa kita sudah cukup melakukan ‘tabayyun,’? atau
kita cuma ikut-ikutan berfikiran jumud, tidak siap menerima perbedaan, yang
takut kalah argumen?
Sebagai Insan akademik kita
memiliki tanggung jawab untuk mengkonfirmasi sejelas-jelasnya kepada beliau
mengenai pandangan-pandangannya yang kontropersi itu. Kitalah yang harus
berada di barisan depan ‘penyelamat’ umat. Kitalah yang harus ‘pasang badan’
dan bersentuhan langsung dengan ‘Najis Ulil,’ bukan malah menutup gerbang dan
menolak wacana dialog.
Ketakutan yang berlebihan pada
Ulil menunjukkan ketidakpercayaan diri kita pada pengetahuan dan keimanan yang
kita miliki masing-masing. Jika kita memang percaya bahwa ilmu kita mapan,
tentu kita siap berhadapan dengan Ulil. Jika kita yakin kepada kekuatan
keimanan yang ada dalam dada, tentu kita tidak akan pernah terpengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran sang Ulil. Terus kalau begitu kenapa mesti takut?
Jika masalahnya adalah dugaan
kita bahwa Ulil adalah antek-antek Yahudi, maka kita telah berlaku tidak adil,
karena dua tahun yang lalu (September 2011), ketika Scot Marciel, Dubes Amerika
datang ke UIN, kok tidak ada yang demo? Yang ada kita malah minta-minta
beasiswa sama si Dubes.
Kita ingin menyelamatkan ummat
dari musuh (jika memang kita sepakat mengatakan Ulil itu musuh), namun kita
tidak pernah mencari tahu kelemahan maupun kekuatan dari musuh itu. Kita bahkan
tidak pernah berusaha ‘menjinakkanya.’ Yang ada, kita hanya menutup mata dan
telinga sambil berteriak lantang penuh ketidakdewasaan, “Uliiil Sessat,,,!
Uliiil Sessat,,,! Uliiil Sessat,,,! Uliiil Sessat,,,!” “Koe sessat!, Koe Antek
Amerika!” Koe Gembong Yahudi!”
Sekali lagi kita tak akan
pernah mampu memberi jawaban jika pintu gerbang ditutup dari setiap berbedaan.
Kami menduga sepertinya ini
bukan persoalan takut atau tidak takut pada Ulil. Ini lebih seperti gejala
narsistik. Kita tidak ingin terlihat kotor di mata masyarakat. Kita takut
dikatakan UIN Bandung menjadi Sarang JIL. Kita tidak ingin UIN dijauhi dan
mahasiswanya jadi sedikit. Padahal sedikit atau banyaknya mahasiswa UIN, apa
untungnya bagi kita? Kita ingin selalu terlihat paling manis, paling baik dan
paling suci. Dan sayangnya sikap ini justru memunculkan bencana kemandekan
berfikir dan ketidakpedulian kita pada amanah sesungguhnya dari sebuah
perguruan tinggi; yaitu menjawab tantangan dan persoalan masyarakat.
Ini adalah ancaman akademik
yang serius. Ketika tidak ada lagi jaminan keamanan pada kebebasan berfikir dan
keterbukaan, di sanalah kiamat intelektual itu sesungguhnya berada.
Kita telah menolak kesempatan
untuk meluruskan presepsi; menolak kesempatan untuk bertabayun; menolak
kesempatan untuk ‘mengaji,’ pada Ulil. Kita menolak kesempatan untuk semakin
menambah pengetahuan dan kebijaksaan. Kita menolak ‘kesempatan,’ untuk menjawab
tantangan zaman.
Akhirnya, kami hanya bisa
mengutip sebuah penggalan syair dari Iwan Fals, “Selamat datang kemerdekaan,
kalau kita mampu menahan diri.”
*Penulis
adalah alumni Jurusan Tasawuf Psikoterapi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung
Djati Bandung, angkatan 2009, lulus tahun 2013
Sumber : http://suakaonline.com/2632/2014/05/09/kok-ulil-gak-boleh-masuk/
diakses pukul 02:16 AM, 03 Juli 2015.
No comments:
Post a Comment