![]() |
Opini Harian Serambi Indonesia, 28 April 2016 |
Ramli Cibro
Istilah glokalisasi disini bukanlah seperti kata glokalisasi yang tersurah dalam buku Acehnologi Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad (2012:45), yang mengindikasikan glokalisasi sebagai lawan dari globalisasi yang artinya berupaya untuk memperkuat kedudukan local wisdom, dalam menangkis serangan globalisasi yang terkadang dalam berbagai dimensinya kadang memberikan implikasi yang negatif di dalamnya. Glokalisasi yang kami maksudkan disini adalah arus mengerucut dari alam perpolitikan di Aceh yang semakin menyempit (melokal), mengerdil, dan mengkandang pasca MoU dan segala kekuatan keramatnya.
Jika konsep ras unggul masyarakat Israel berimbas pada kemampuan mereka menguasai Amerika dan Inggris yang artinya mereka menguasai dunia, maka nasib yang berbeda berlaku pada Aceh. Kesadaran sebagai ras unggul (seperti banyak didendangkan dalam sya’ir) malah menciptakan mekanisme mengurung diri hingga tidak terlibat dalam pergulatan dunia luar. Dalam beberapa kasus, glokalisasi politik justru menyebabkan kemandulan politik dalam berbagai bidang, khususnya dalam lingkup dan skala nasional.
Kita ambil contoh misalnya beberapa kebijakan lokal yang sering sekali tersandung oleh kepentingan nasional karena lemahnya lobi-lobi regional. Bagaimana wakil-wakil Aceh di dewan perwakilan rakyat RI maupun yang menjadi pejabat pemerintah di lingkup nasional tidak mampu memberi warna bagi perpolitikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hasilnya, sering kali mereka tidak mampu membela kepentingan dan bahkan "marwah" Aceh dalam pentas nasional. Contoh yang paling baru misalnya bagaimana polemik tahunan keikutsertaan Aceh dalam ajang Miss Indonesia yang cukup misterius. Walaupun banyak masyarakat Aceh yang menolak, toh pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa, dan miss tetap bergoyang. Hari ini kita digagahi oleh Flavia Celly Jatmiko (Miss Indonesia 2016), tahun sebelumnya oleh Ratna Nurlia Alfiandani (Miss Indonesia 2015) dan Jeyskia Ayunda Sembiring (Puteri Indonesia 2015), begitu sebelumnya dan akan begitu seterusnya.
Persoalan pencatutan nama Aceh dalam ajang-ajang eksploitasi kecantikan ini saban tahun tidak pernah terselesaikan. Kita hanya mampu mengecam. Namun apakah kecaman tersebut memberi hasil? Apakah kemudian pihak penyelenggara mendapatkan sanksi hukum atau sanksi politik? Apakah kemudian pencatutan nama Aceh tiba-tiba berhenti? Kenyataannya memang tidak berhasil. Tidak ada upaya untuk menghimpun kekuatan Aceh untuk melakukan lobi-lobi radikal terhadap pusat yang pada gilirannya justru memperlihatkan betapa tumpul ‘politik luar negeri’ kita.
Geliat Parlok (Partai Lokal) misalnya, jika tidak disikapi dengan bijak, hanya akan menjadi ‘nyanyian kandang,’ yang tidak memberi dampak bagi perkembangan politik Indonesia secara keseluruhan. Tanpa penanganan yang serius, setiap manajemen pemerintah pusat maupun para penggantinya di masa depan maupun setiap arus politik nasional lama kelamaan akan memandang Aceh dengan sebelah mata. Bukan tidak mustahil akan selalu ada pihak yang tidak setuju dengan kebijakan penerapan syari’at Islam di Aceh. Bukan tidak mustahil kemudian akan ada upaya-upaya pembatalan dari pemerintah maupun lembaga-lembaga internasional, entah itu karena dianggap melanggar HAM, tidak sesuai dengan UUD, atau karena berbagai alasan yang lain.
Kita tahu bagaimana sulitnya posisi Aceh saat melakukan pembinaan terhadap anak-anak Punk. Atau kita tahu betapa Banda Aceh tahun lalu dikucilkan karena melarang peringatan tahun baru masehi. Ini mengindikasikan bahwa tuntutan untuk ber-politik secara regional maupun internasional adalah kebutuhan yang mendesak untuk melindungi dan memuluskan jalannya berbagai i’tikad untuk mencapai kemajuan Aceh di masa depan.
Secara lokal, bolehlah hari ini kita ramai-ramai mengkritisi partai-partai nasional yang konon mencari aman dengan memasuki arus utama partai-partai lokal. Namun itu hanya sebatas konteks ke-Aceh-an. Artinya, dukungan partai-partai nasional hanya pada kepentingan-kepentingan mereka yang berkenaan dengan ‘Aceh’ semata. Namun dari kancah nasional, boleh jadi prioritas mereka terhadap Aceh akan sangat kecil, atau mungkin tidak ada. Apalagi, sumbangan suara Aceh bagi partai-partai Nasional memang sangat kecil.
Bersinergi….
Glokalisasi Politik jika tidak dibarengi dengan usaha yang cukup dalam wacana politik ‘Luar Negeri’ akan mempersulit posisi Aceh sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Kita tahu bagaimana paniknya kita beberapa hari terakhir ini ketika ada isu bahwa Mendagri, Tjahjo Kumolo menentang penerapan Jilbab walaupun kemudian isu tersebut telah dibantah (Serambi,26/02/2016). Kita juga tahu betapa tidak berdayanya kita menghentikan seorang Flavia Celly Jatmiko, yang bergoyang panggung dalam ajang Miss Indonesia 2016. Artinya apa? Curahan kita yang telalu fokus pada diri sendiri membuat kita lupa bahwa kekuatan dari luar juga sangat diperlukan untuk mengukuhkan eksistensi kita sebagai daerah dengan otonomi khusus. Dimana peran tokoh Aceh yang berkiprah pada pentas nasional, sehingga untuk sekedar memberi tekanan politik kepada stasiun televisi swasta saja tidak mampu?
Sampai hari ini, keberadaan tokoh-tokoh Aceh di luar misalnya, masih sedikit kontribusinya terhadap masa depan dan kesinambungan kebijakan-kebijakan khusus di Aceh. Untungnya, pemerintahan Jokowi hari ini memiliki perhatian kepada Aceh. Bagaimana jika kelak pemerintah Jakarta tiba-tiba saja menahan laju proses syari'atisasi di Aceh? Apa Aceh sudah mempersiapkan diri? Apa Aceh sudah menjaga kekuatan politik Aceh dari segala bentuk serangan dan tekanan? Keberadaan tokoh-tokoh Aceh dalam pentas nasional misalnya nyaris tidak memiliki gaung apa-apa yang berimbas bagi kepentingan Aceh. Kita ambil contoh misalnya anggota DPD RI, DPR RI, para menteri atau pejabat-pejabat nasional yang berasal dari Aceh. Nyaris tidak ada pergerakan signifikan dari mereka mampu mempengaruhi arah kebijakan-kebijakan berskala nasional.
Artinya, perlu ada upaya dari tokoh-tokoh lokal untuk memikirkan keberlangsungan kekuatan politik Aceh dalam skala Nasional supaya tidak terus menerus diabaikan. Perlu ada upaya dari pemerintah maupun masyarakat untuk berangkulan memperjuangkan eksistensi Aceh baik dalam lingkup lokal maupun global. Perlu ada pergerakan yang berkesinambungan baik antara tokoh Aceh yang ada di Aceh, tokoh Aceh yang ada di pentas Nasional maupun tokoh Aceh yang ada di Luar Negeri untuk sama-sama melibatkan diri dalam konteks perpolitikan di wilayah mana ia berada.
Aceh harus berfikir out of box, berkiprah disegala sisi, menawarkan bantuan dan solusi di berbagai dimensi. Aceh harus benar-benar terlibat dan memberi warna bagi dinamika perkembangan politik tanah air maupun arus politik internasional. Kita perlu memberi empati pada kepada warga Aceh yang hendak menjajal kemampuan dengan kendaraan partai Nasional. Karena jika tidak demikian, Aceh lagi-lagi hanya akan menjadi singa yang mengaum di kandang, yang bahkan Anak SD justru tertawa mendengarnya.
Kita ambil contoh misalnya beberapa kebijakan lokal yang sering sekali tersandung oleh kepentingan nasional karena lemahnya lobi-lobi regional. Bagaimana wakil-wakil Aceh di dewan perwakilan rakyat RI maupun yang menjadi pejabat pemerintah di lingkup nasional tidak mampu memberi warna bagi perpolitikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hasilnya, sering kali mereka tidak mampu membela kepentingan dan bahkan "marwah" Aceh dalam pentas nasional. Contoh yang paling baru misalnya bagaimana polemik tahunan keikutsertaan Aceh dalam ajang Miss Indonesia yang cukup misterius. Walaupun banyak masyarakat Aceh yang menolak, toh pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa, dan miss tetap bergoyang. Hari ini kita digagahi oleh Flavia Celly Jatmiko (Miss Indonesia 2016), tahun sebelumnya oleh Ratna Nurlia Alfiandani (Miss Indonesia 2015) dan Jeyskia Ayunda Sembiring (Puteri Indonesia 2015), begitu sebelumnya dan akan begitu seterusnya.
Persoalan pencatutan nama Aceh dalam ajang-ajang eksploitasi kecantikan ini saban tahun tidak pernah terselesaikan. Kita hanya mampu mengecam. Namun apakah kecaman tersebut memberi hasil? Apakah kemudian pihak penyelenggara mendapatkan sanksi hukum atau sanksi politik? Apakah kemudian pencatutan nama Aceh tiba-tiba berhenti? Kenyataannya memang tidak berhasil. Tidak ada upaya untuk menghimpun kekuatan Aceh untuk melakukan lobi-lobi radikal terhadap pusat yang pada gilirannya justru memperlihatkan betapa tumpul ‘politik luar negeri’ kita.
Geliat Parlok (Partai Lokal) misalnya, jika tidak disikapi dengan bijak, hanya akan menjadi ‘nyanyian kandang,’ yang tidak memberi dampak bagi perkembangan politik Indonesia secara keseluruhan. Tanpa penanganan yang serius, setiap manajemen pemerintah pusat maupun para penggantinya di masa depan maupun setiap arus politik nasional lama kelamaan akan memandang Aceh dengan sebelah mata. Bukan tidak mustahil akan selalu ada pihak yang tidak setuju dengan kebijakan penerapan syari’at Islam di Aceh. Bukan tidak mustahil kemudian akan ada upaya-upaya pembatalan dari pemerintah maupun lembaga-lembaga internasional, entah itu karena dianggap melanggar HAM, tidak sesuai dengan UUD, atau karena berbagai alasan yang lain.
Kita tahu bagaimana sulitnya posisi Aceh saat melakukan pembinaan terhadap anak-anak Punk. Atau kita tahu betapa Banda Aceh tahun lalu dikucilkan karena melarang peringatan tahun baru masehi. Ini mengindikasikan bahwa tuntutan untuk ber-politik secara regional maupun internasional adalah kebutuhan yang mendesak untuk melindungi dan memuluskan jalannya berbagai i’tikad untuk mencapai kemajuan Aceh di masa depan.
Secara lokal, bolehlah hari ini kita ramai-ramai mengkritisi partai-partai nasional yang konon mencari aman dengan memasuki arus utama partai-partai lokal. Namun itu hanya sebatas konteks ke-Aceh-an. Artinya, dukungan partai-partai nasional hanya pada kepentingan-kepentingan mereka yang berkenaan dengan ‘Aceh’ semata. Namun dari kancah nasional, boleh jadi prioritas mereka terhadap Aceh akan sangat kecil, atau mungkin tidak ada. Apalagi, sumbangan suara Aceh bagi partai-partai Nasional memang sangat kecil.
Bersinergi….
Glokalisasi Politik jika tidak dibarengi dengan usaha yang cukup dalam wacana politik ‘Luar Negeri’ akan mempersulit posisi Aceh sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Kita tahu bagaimana paniknya kita beberapa hari terakhir ini ketika ada isu bahwa Mendagri, Tjahjo Kumolo menentang penerapan Jilbab walaupun kemudian isu tersebut telah dibantah (Serambi,26/02/2016). Kita juga tahu betapa tidak berdayanya kita menghentikan seorang Flavia Celly Jatmiko, yang bergoyang panggung dalam ajang Miss Indonesia 2016. Artinya apa? Curahan kita yang telalu fokus pada diri sendiri membuat kita lupa bahwa kekuatan dari luar juga sangat diperlukan untuk mengukuhkan eksistensi kita sebagai daerah dengan otonomi khusus. Dimana peran tokoh Aceh yang berkiprah pada pentas nasional, sehingga untuk sekedar memberi tekanan politik kepada stasiun televisi swasta saja tidak mampu?
Sampai hari ini, keberadaan tokoh-tokoh Aceh di luar misalnya, masih sedikit kontribusinya terhadap masa depan dan kesinambungan kebijakan-kebijakan khusus di Aceh. Untungnya, pemerintahan Jokowi hari ini memiliki perhatian kepada Aceh. Bagaimana jika kelak pemerintah Jakarta tiba-tiba saja menahan laju proses syari'atisasi di Aceh? Apa Aceh sudah mempersiapkan diri? Apa Aceh sudah menjaga kekuatan politik Aceh dari segala bentuk serangan dan tekanan? Keberadaan tokoh-tokoh Aceh dalam pentas nasional misalnya nyaris tidak memiliki gaung apa-apa yang berimbas bagi kepentingan Aceh. Kita ambil contoh misalnya anggota DPD RI, DPR RI, para menteri atau pejabat-pejabat nasional yang berasal dari Aceh. Nyaris tidak ada pergerakan signifikan dari mereka mampu mempengaruhi arah kebijakan-kebijakan berskala nasional.
Artinya, perlu ada upaya dari tokoh-tokoh lokal untuk memikirkan keberlangsungan kekuatan politik Aceh dalam skala Nasional supaya tidak terus menerus diabaikan. Perlu ada upaya dari pemerintah maupun masyarakat untuk berangkulan memperjuangkan eksistensi Aceh baik dalam lingkup lokal maupun global. Perlu ada pergerakan yang berkesinambungan baik antara tokoh Aceh yang ada di Aceh, tokoh Aceh yang ada di pentas Nasional maupun tokoh Aceh yang ada di Luar Negeri untuk sama-sama melibatkan diri dalam konteks perpolitikan di wilayah mana ia berada.
Aceh harus berfikir out of box, berkiprah disegala sisi, menawarkan bantuan dan solusi di berbagai dimensi. Aceh harus benar-benar terlibat dan memberi warna bagi dinamika perkembangan politik tanah air maupun arus politik internasional. Kita perlu memberi empati pada kepada warga Aceh yang hendak menjajal kemampuan dengan kendaraan partai Nasional. Karena jika tidak demikian, Aceh lagi-lagi hanya akan menjadi singa yang mengaum di kandang, yang bahkan Anak SD justru tertawa mendengarnya.
No comments:
Post a Comment