inilah tulisannya...
Oleh Ramli Cibro
Tepat jam delapan pagi, Sabtu, 18 Mei 2013, dengan menaiki Damri Tua Tiluribuan, sebelas orang warga Tepe (Tasawuf Psikoterapi) memulai perjalanan menuju Burangrang. Dengan langkah gontai minta pensiun, Kendaraan Tua Hemapiton itu mengantarkan kami ke Belokan Elang.
Kami
segera turun menaiki angkot menuju Gerbang Komando, salah satu pintu masuk ke
Puncak Burangrang. Andri, Andi, Hikmat, Reza, Fatah, Oki, Zeki, Habibah dan
Hilmi dari Semester 6, Diah dari Semester 2B, dan Aku, Decibro dari semester 8B
pada pukul 10.30 sampai di Gerbang Komando dan segera melakukan pendakian.
Setelah
beberapa menit melewati perumahan warga, sampailah kami di pos pertama dan
terakhir yang akan kami temui. Penjaga pos tersebut mengarahkan kami ke jalan
memutar, arah kiri karena arah kanan yang katanya di sana ada danau, sedang
dipakai untuk latihan Kopassus. Memang ketika kami melintas, sebuah truk
mengangkut tentara sedang berlalu. Dia menakut-nakuti kami bahwa akan ada
latihan militer di sana.
Awalnya
kami takut dan kami ciut. Kami takut jika tiba-tiba kami disergap oleh Kopassus
dan dijadikan objek latihan. Kami juga takut pada peluru dan rudal nyasar yang
mungkin muncul dari balik semak dan membelah tubuh kami. Dalam bayangan kami,
latihan militer tak ubahnya seperti perang sungguhan. Ini mengerikan dan
benar-benar membuat kami berfikir untuk mundur. Namun pada akhirnya, kata ‘mundur,’ hanya menjadi
wacana yang memutari alam pikiran. Tanpa bisa dihindari, kedua kaki yang
berbungkus sepatu mengabaikan perintah kecut dari otak. Keduanya terus
berjalan, bergerak maju tak tertahan,. menapaki jalan yang awalnya mulus
beraspal dan terus melewati sebuah mesjid dan akhirnya sampai ke ladang
brokoli.
Kami
memisahkan diri kedalam 3 kelompok keci, 4 orang, 4 orang, dan 3 orang sesuai
anjuran penjaga pos.
“Agar
tidak dicurigai dan ditangkap, kalian harus memisahkan diri ke dalam kelompok
kelompok kecil setidaknya sampai melalui belantara pinus,” nasehatnya.
Kami
mengangguk takjim. Namun,
“Bayar
25 ribu_tidak kurang!,” tambahnya.
Kami
di palak.
***
Kami menapak
pelan-pelan, menerobos semak, melintasi pohon pinus dan hutan belatara,
melewati padang jerami dan belukar berduri. Kami berjalan dengan langkah
terseok-seok namun dengan hati yang penuh nafsu dan ambisi. Kami mendaki,
melewati tanah yang membaluti bebatuan yang licin kerena disemir hujan.
Nafasku
menghembus kencang, kakiku bergetar pegal luar biasa dan aku hampir menyerah
bahkan di seperempat perjalanan yang harus ditempuh. Tubuhku mengabaikanku, mengabaikan
rasa lelahku. Ia terus berjalan dengan gagah, melupakan tuannya yang meradangi
sakit seubun-ubun.
Selter
demi selter kami lalui. Tidak ada lagi pos pendakian yang terlihat sejak pos
pertama meminta uang 25 ribu. Beberapa kali kami harus berhenti, menunggu dan
ditunggu. Kami mendaki pelan, melewati jurang kiri dan kanan dan terus
berpegangan dengan tokat yang kami buat dari ranting pohon kecil. Inilah
pengalaman pertamaku, setidaknya selama hidupku. Mendaki Gunung.
Tepat
menjelang sore kami sampai di tebing paling tinggi. Menapai jalan yang hanya
berdiameter limapuluh senti. Terlihat tali dipasang disepajang jalan
kecil itu. Kami berhenti sejenak dan melihat dari kejauhan, indah sebuah danau
yang terlihat seperti bendungan di atas bukit. Di sisinya berjejer rapi
rumah-rumah yang seolah tampak seperti kampung kecil. Kata teman, itu adalah
Barak Militer Kopassus.
“Semoga
mereka tidak melemparkan rudal ke sini, “pikirku.
Aku
terus menerus menarik nafas dalam, merasakan rasa lelah yang sejak tadi bercokol
di ubun.
Aku
heran pada jalan setapak yang kiri kanannya jurang menganga siap menelan mereka
yang terjatuh. Jalan setapak yang hanya berdiameter 40 centi ini muncul dan
memanjang seolah memang disediakan untuk membantu pendaki menyeberangi perbukitan.
Ranting yang menjuntai-juntai dari atas jalan terjal begitu mudah digapai
tangan. Akar yang menyebul kepermukaan menjadi pijakan yang kokoh, menahan kaki
dari tergelincir. Pohon yang berbaris bisa menjadi tongkat yang menopang
keseimbangan dan berat tubuh kami. Semua yang ada disana seolah menyiratkan
satu hal yang naïf, “Gunung di ciptakan untuk di daki.”
Menjelang
Dhuhur, hujan turun lagi. Walau tidak deras, cukup membuat kakiku hampir
tergelincir lantaran sepatu yang tidak matching dengan situasi. Sepatu kuliahku
yang putih itu, jadi berwarna kuning lantaran lumpur yang membalurnya.
Pukul
03.30 kami sampai di Puncak. Disana sudah ada sekelompok pendaki yang baru
makan siang. Bertepatan dengan kedatangan kami, mereka sudah bersiap-siap
berangkat. Jadilah puncak yang hanya berdiameter 20 meter itu dikuasai
sepenuhanya oleh kelompok “Cicunguk,” Tasawuf Psikoterapi.
Setelah
mendirikan tenda, beberapa pendaki yang mulai berdatangan terpaksa turun lagi
karena lapak yang sudah pull. Mereka ada yang langsung pulang, ada juga
yang mendirikan tenda di dua selter bawah yang memang letaknya berdekatan
dengan selter puncak. Diatas 2050 dplm, itu kami bermalam dan menikmati rasa
dingin, aku menggigil.
Arlozi
Eger-ku sudah menunjukkan angka 12:15 AM, Minggu, 12 Mei 2013 ketika
sejak 3 jam yang lalu aku memejamkan mata. Aku tidak bisa tidur barang
sedetikpun karena cuaca yang dingin dan angin yang kencang. Entah berapa derjat
suhu malam ini, tapi tenda darurat yang memang hanya diberi alas dan atap tanpa
dinding tidak berguna sama sekali bahkan untuk sekedar mengusir sejarum angin
sekalipun. Aku kedinginan di bawah jaket tiga lapis yang seolah kehilangan pungsi-nya.
Jaket’s itu tak lagi mampu mengusir dingin.
Akhirnya
aku terbangun dan hanya terduduk. Aku
menekuri malam diatas bukit Burangrang dengan pemandangan di kanan bawahku,
gemerlap lautan warna warni, merah, putih dan kuning lampu-lampu kota Bandung.
Aku tersadar betapa luas alam semesta, betapa dingin malam ini, betapa aku
masih mampu untuk bertahan.
Dari
atas bukit ini aku merenungi apa saja yang telah kulakukan. Aku kehilangan rasa
takut pada ketinggian, padahal aku hanya menginjak jalan setapak 30 cm, dengan
jurang kiri kanan dengan kedalamaan ratusan, mungkin seribu meter. Aku
kehilangan rasa cemas ketika pelan-pelan tanjakan 100 derajat yang nampak
berbahaya dan seolah mustahil dilalui oleh sepatu licinku, telah berada di
belakangku. Aku kehilangan rasa cemas ketika mendapati ular menghadang
perjalanan kami. Aku kehilangan rasa takut pada dingin yang mencabik-cabik. Aku
kehilangan semua itu.
Namun
diatas semua kehilangan, aku menemukan sosok diri yang berada beberapa langkah
diatas diriku. “Sosok Ramli Sebelum Pingsan, begitu seorang teman menyebutnya.
Aku merasakan kelelahan luar biasa bahkan di 3 selter pertama. Namun itu hanya
rasa lelah yang menyengat sampai ke ubun dan rasa haus yang mengikat erat
kerongkongan. Karena kakiku terus menapak dan tanganku terus meraih akar, pohon
dan ranting. Aku terus memanjat tanpa henti. Satu hal yang pasti disana, aku kehilangan
diriku yang dulu.
Aku
seolah bertransformasi menjadi makhluk yang baru. Tidak!, bukan itu!. Aku
seperti seorang yang baru terlahir. Diatas bukit ini, aku mencoba mengenali
rasa dingin. Diatas bukit ini aku mencoba mengenali rasa nasi dan mi instan. Di
bukit ini aku mencoba mengenali siang dan malam, Sun Rise dan Sun Set.
Di bukit ini aku mencoba mengenali api, angin dan dingin.
Aku
mencoba mengenali semuanya, bahkan air dingin. Aku bisa merasakan tiap tetes air
yang membasahi tenggorokanku. Terasa begitu berharga, terasa begitu
menyegarkan. Sebelum ke sini, aku bahkan lupa bagaimana rasanya air. Air. Oh
Air.
Betapa
aku telah lupa pada rasa sebutir nasi,
Betapa
aku telah lupa pada rasa setetes air,
Betapa
aku telah lupa pada rasa sebutir biscuit dan pilus,
Betapa
aku telah lupa pada sepercik cahaya api, seteguk kopi dan seisap rokok.
Aku
bahkan telah lupa bagaimana rasanya segelas jus mangga.
Jika
telah banyak rasa kehidupan yang terlupakan, bagaimana aku bisa hidup?
Aku
telah lupa pada jumlah kecil dari semua itu karena telah terbiasa pada jumlah
besar yang aku juga telah lupa rasanya. Tapi disini, diatas puncak hutang yang
belantara ini, aku menghargai semau itu. Aku bisa merasa segelas jus mangga,
yang ada dalam hayalan. “Owh dinginnya, owh segarnya.”
Aku
mencoba mengenali dingin. Seingatku, dingin terakhir yang kulalui adalah di
saat KKN di Sukabumi. Di sana, dingin itu masih bisa di usir dengan jaket tebal
selapis. Namun disini, dinginnya jauh berbeda. Ia sangat dingin hingga mustahil
untuk dilawan. Lalu aku biarkan ia pelan-pelan memasuki tubuhku, kuanggap ia
bagian dari diriku dan aku menghayatinya.
Seorang
teman mengatakan bahwa dingin tidak perlu dilawan. Ia harus di hayati, diresapi
sebagai bagian dari alam, sebagai bagian dari dirimu. Semakin kau mencoba untuk
melawannya, semakin ia terlihat kejam bagimu.
Di
saat aku kelelahan, aku bisa menyadari kewajiban yang kulalaikan dengan
bersantai dan lalai.
Di
saat aku kekurangan air, aku belajar menghargai tiap tetes air yang selama ini
aku abaikan.
Di
saat aku kekurangan makanan, aku belajar menghargai makanan yang masuk ke
perutku.
Dari
gunung aku belajar melawan rasa lelah.
Dari
gunung aku belajar melawan rasa takut.
Dari
gunung aku belajar melawan minder dan ketidak percayaan diri.
Dari
gunung aku belajar membulatkan tekad.
Dari
gunung aku belajar menghargai dan
mensukuri.
Dari
gunung aku belajar arti persahabatan.
Dari
gunung aku belajar pengorbanan dan kesetiaan.
Cibro
Di Puncak
Burangrang, Cimahi, Jawa Barat
07:00 AM,
Minggu 12 Mei 2013
No comments:
Post a Comment