Tuesday, 16 June 2015

Mendaki Burangrang

Tulisan ini adalah tulisan lama yang pernah ku-posting di blog http://cucunguktepe.blogspot.com/2013/05/mendaki-burangrang-cimahi-jawa-barat.html, atau nama Kecoa De Cibro, dimana blog tersebut telah menjadi blog liar tak bertuan. Tidak seorangpun dari kami anak-anak coecoengoek yang tau tali kekang passwordnya. Kini blog itu terlunta-lunta di jagat perblog-an,,, tanpa tuan dan tanpa ruh,,,,
inilah tulisannya...


Oleh Ramli Cibro
Tepat jam delapan pagi, Sabtu, 18 Mei 2013, dengan menaiki Damri Tua Tiluribuan, sebelas orang warga Tepe (Tasawuf Psikoterapi) memulai perjalanan menuju Burangrang. Dengan langkah gontai minta pensiun, Kendaraan Tua Hemapiton itu mengantarkan kami  ke Belokan Elang.

Kami segera turun menaiki angkot menuju Gerbang Komando, salah satu pintu masuk ke Puncak Burangrang. Andri, Andi, Hikmat, Reza, Fatah, Oki, Zeki, Habibah dan Hilmi dari Semester 6, Diah dari Semester 2B, dan Aku, Decibro dari semester 8B pada pukul 10.30 sampai di Gerbang Komando dan segera melakukan pendakian.
Setelah beberapa menit melewati perumahan warga, sampailah kami di pos pertama dan terakhir yang akan kami temui. Penjaga pos tersebut mengarahkan kami ke jalan memutar, arah kiri karena arah kanan yang katanya di sana ada danau, sedang dipakai untuk latihan Kopassus. Memang ketika kami melintas, sebuah truk mengangkut tentara sedang berlalu. Dia menakut-nakuti kami bahwa akan ada latihan militer di sana.
Awalnya kami takut dan kami ciut. Kami takut jika tiba-tiba kami disergap oleh Kopassus dan dijadikan objek latihan. Kami juga takut pada peluru dan rudal nyasar yang mungkin muncul dari balik semak dan membelah tubuh kami. Dalam bayangan kami, latihan militer tak ubahnya seperti perang sungguhan. Ini mengerikan dan benar-benar membuat kami berfikir untuk mundur. Namun  pada akhirnya, kata ‘mundur,’ hanya menjadi wacana yang memutari alam pikiran. Tanpa bisa dihindari, kedua kaki yang berbungkus sepatu mengabaikan perintah kecut dari otak. Keduanya terus berjalan, bergerak maju tak tertahan,. menapaki jalan yang awalnya mulus beraspal dan terus melewati sebuah mesjid dan akhirnya sampai ke ladang brokoli.
Kami memisahkan diri kedalam 3 kelompok keci, 4 orang, 4 orang, dan 3 orang sesuai anjuran penjaga pos.
“Agar tidak dicurigai dan ditangkap, kalian harus memisahkan diri ke dalam kelompok kelompok kecil setidaknya sampai melalui belantara pinus,” nasehatnya.
Kami mengangguk takjim. Namun,
“Bayar 25 ribu_tidak kurang!,” tambahnya.
Kami di palak.
***
Kami menapak pelan-pelan, menerobos semak, melintasi pohon pinus dan hutan belatara, melewati padang jerami dan belukar berduri. Kami berjalan dengan langkah terseok-seok namun dengan hati yang penuh nafsu dan ambisi. Kami mendaki, melewati tanah yang membaluti bebatuan yang licin kerena disemir hujan.
Nafasku menghembus kencang, kakiku bergetar pegal luar biasa dan aku hampir menyerah bahkan di seperempat perjalanan yang harus ditempuh. Tubuhku mengabaikanku, mengabaikan rasa lelahku. Ia terus berjalan dengan gagah, melupakan tuannya yang meradangi sakit seubun-ubun.
Selter demi selter kami lalui. Tidak ada lagi pos pendakian yang terlihat sejak pos pertama meminta uang 25 ribu. Beberapa kali kami harus berhenti, menunggu dan ditunggu. Kami mendaki pelan, melewati jurang kiri dan kanan dan terus berpegangan dengan tokat yang kami buat dari ranting pohon kecil. Inilah pengalaman pertamaku, setidaknya selama hidupku. Mendaki Gunung.
Tepat menjelang sore kami sampai di tebing paling tinggi. Menapai jalan yang hanya berdiameter limapuluh senti. Terlihat tali dipasang disepajang jalan kecil itu. Kami berhenti sejenak dan melihat dari kejauhan, indah sebuah danau yang terlihat seperti bendungan di atas bukit. Di sisinya berjejer rapi rumah-rumah yang seolah tampak seperti kampung kecil. Kata teman, itu adalah Barak Militer Kopassus.
“Semoga mereka tidak melemparkan rudal ke sini, “pikirku. 
Aku terus menerus menarik nafas dalam, merasakan rasa lelah yang sejak tadi bercokol di ubun.
Aku heran pada jalan setapak yang kiri kanannya jurang menganga siap menelan mereka yang terjatuh. Jalan setapak yang hanya berdiameter 40 centi ini muncul dan memanjang seolah memang disediakan untuk membantu pendaki menyeberangi perbukitan. Ranting yang menjuntai-juntai dari atas jalan terjal begitu mudah digapai tangan. Akar yang menyebul kepermukaan menjadi pijakan yang kokoh, menahan kaki dari tergelincir. Pohon yang berbaris bisa menjadi tongkat yang menopang keseimbangan dan berat tubuh kami. Semua yang ada disana seolah menyiratkan satu hal yang naïf, “Gunung di ciptakan untuk di daki.”
Menjelang Dhuhur, hujan turun lagi. Walau tidak deras, cukup membuat kakiku hampir tergelincir lantaran sepatu yang tidak matching dengan situasi. Sepatu kuliahku yang putih itu, jadi berwarna kuning lantaran lumpur yang membalurnya.
Pukul 03.30 kami sampai di Puncak. Disana sudah ada sekelompok pendaki yang baru makan siang. Bertepatan dengan kedatangan kami, mereka sudah bersiap-siap berangkat. Jadilah puncak yang hanya berdiameter 20 meter itu dikuasai sepenuhanya oleh kelompok “Cicunguk,” Tasawuf Psikoterapi.
Setelah mendirikan tenda, beberapa pendaki yang mulai berdatangan terpaksa turun lagi karena lapak yang sudah pull. Mereka ada yang langsung pulang, ada juga yang mendirikan tenda di dua selter bawah yang memang letaknya berdekatan dengan selter puncak. Diatas 2050 dplm, itu kami bermalam dan menikmati rasa dingin, aku menggigil.
Arlozi Eger-ku sudah menunjukkan angka 12:15 AM, Minggu, 12 Mei 2013 ketika sejak 3 jam yang lalu aku memejamkan mata. Aku tidak bisa tidur barang sedetikpun karena cuaca yang dingin dan angin yang kencang. Entah berapa derjat suhu malam ini, tapi tenda darurat yang memang hanya diberi alas dan atap tanpa dinding tidak berguna sama sekali bahkan untuk sekedar mengusir sejarum angin sekalipun. Aku kedinginan di bawah jaket tiga lapis yang seolah kehilangan pungsi-nya. Jaket’s itu tak lagi mampu mengusir dingin.
Akhirnya aku terbangun dan  hanya terduduk. Aku menekuri malam diatas bukit Burangrang dengan pemandangan di kanan bawahku, gemerlap lautan warna warni, merah, putih dan kuning lampu-lampu kota Bandung. Aku tersadar betapa luas alam semesta, betapa dingin malam ini, betapa aku masih mampu untuk bertahan.
Dari atas bukit ini aku merenungi apa saja yang telah kulakukan. Aku kehilangan rasa takut pada ketinggian, padahal aku hanya menginjak jalan setapak 30 cm, dengan jurang kiri kanan dengan kedalamaan ratusan, mungkin seribu meter. Aku kehilangan rasa cemas ketika pelan-pelan tanjakan 100 derajat yang nampak berbahaya dan seolah mustahil dilalui oleh sepatu licinku, telah berada di belakangku. Aku kehilangan rasa cemas ketika mendapati ular menghadang perjalanan kami. Aku kehilangan rasa takut pada dingin yang mencabik-cabik. Aku kehilangan semua itu.
Namun diatas semua kehilangan, aku menemukan sosok diri yang berada beberapa langkah diatas diriku. “Sosok Ramli Sebelum Pingsan, begitu seorang teman menyebutnya. Aku merasakan kelelahan luar biasa bahkan di 3 selter pertama. Namun itu hanya rasa lelah yang menyengat sampai ke ubun dan rasa haus yang mengikat erat kerongkongan. Karena kakiku terus menapak dan tanganku terus meraih akar, pohon dan ranting. Aku terus memanjat tanpa henti. Satu hal yang pasti disana, aku kehilangan diriku yang dulu.
Aku seolah bertransformasi menjadi makhluk yang baru. Tidak!, bukan itu!. Aku seperti seorang yang baru terlahir. Diatas bukit ini, aku mencoba mengenali rasa dingin. Diatas bukit ini aku mencoba mengenali rasa nasi dan mi instan. Di bukit ini aku mencoba mengenali siang dan malam, Sun Rise dan Sun Set. Di bukit ini aku mencoba mengenali api, angin dan dingin.
Aku mencoba mengenali semuanya, bahkan air dingin. Aku bisa merasakan tiap tetes air yang membasahi tenggorokanku. Terasa begitu berharga, terasa begitu menyegarkan. Sebelum ke sini, aku bahkan lupa bagaimana rasanya air. Air. Oh Air.
Betapa aku telah lupa pada rasa sebutir nasi,
Betapa aku telah lupa pada rasa setetes air,
Betapa aku telah lupa pada rasa sebutir biscuit dan pilus,
Betapa aku telah lupa pada sepercik cahaya api, seteguk kopi dan seisap rokok.
Aku bahkan telah lupa bagaimana rasanya segelas jus mangga.
Jika telah banyak rasa kehidupan yang terlupakan, bagaimana aku bisa hidup?
Aku telah lupa pada jumlah kecil dari semua itu karena telah terbiasa pada jumlah besar yang aku juga telah lupa rasanya. Tapi disini, diatas puncak hutang yang belantara ini, aku menghargai semau itu. Aku bisa merasa segelas jus mangga, yang ada dalam hayalan. “Owh dinginnya, owh segarnya.”
Aku mencoba mengenali dingin. Seingatku, dingin terakhir yang kulalui adalah di saat KKN di Sukabumi. Di sana, dingin itu masih bisa di usir dengan jaket tebal selapis. Namun disini, dinginnya jauh berbeda. Ia sangat dingin hingga mustahil untuk dilawan. Lalu aku biarkan ia pelan-pelan memasuki tubuhku, kuanggap ia bagian dari diriku dan aku menghayatinya.
Seorang teman mengatakan bahwa dingin tidak perlu dilawan. Ia harus di hayati, diresapi sebagai bagian dari alam, sebagai bagian dari dirimu. Semakin kau mencoba untuk melawannya, semakin ia terlihat kejam bagimu.
Di saat aku kelelahan, aku bisa menyadari kewajiban yang kulalaikan dengan bersantai dan lalai.
Di saat aku kekurangan air, aku belajar menghargai tiap tetes air yang selama ini aku abaikan.
Di saat aku kekurangan makanan, aku belajar menghargai makanan yang masuk ke perutku.
Dari gunung aku belajar melawan rasa lelah.
Dari gunung aku belajar melawan rasa takut.
Dari gunung aku belajar melawan minder dan ketidak percayaan diri.
Dari gunung aku belajar membulatkan tekad.
Dari gunung aku belajar  menghargai dan mensukuri.
Dari gunung aku belajar arti persahabatan.
Dari gunung aku belajar pengorbanan dan kesetiaan.

Cibro
Di Puncak Burangrang, Cimahi, Jawa Barat
07:00 AM, Minggu 12 Mei 2013
 

No comments:

Post a Comment