Tuesday, 30 June 2015

‘KUDETA’ MESJID RAYA DAN DISKRIMINASI SOSIAL

Oleh Ramli
Ramli Cibro
"Tulisan ini hanyalah sumbangan pemikiran dari seorang yang masih sedang belajar. Tulisan ini telah dimuat pada tajuk Opini,, harian Waspada Medan, Rabu, 24 Juni 2014. Tentu saja tulisan ini masih amburadul dan jauh dari kaedah-kaedah penulisan yang baik, dan lebih penting lagi, masih jauh dari kebenaran sejati. Namun tulisan ini adalah washilah dan proses bagi kami untuk terus 'mencari kebenaran.'
 
Sistem pembangunan yang berlaku di Aceh, baik ketika masih menjadi provinsi biasa, provinsi istimewa sampai mendapat pengakuan otonomi khusus, jarang berbicara tentang ‘nilai,’ atau ‘substansi,’ dari apa yang terjadi di masa lalu. Tapi lebih dari itu, pembicaraan, pembahasan maupun perundang-undangan sering berkaitan dengan wacana-wacana praktis yang dangkal dan jauh dari nilai-nilai filosofis. Misalnya seperti akhir-akhir ini, bukannya mempersoalkan masalah pengangguran dan kebodohan, pemuka-pemuka Aceh malah sibuk mengatur peraturan tentang bendera, posisi politis dan praktis lembaga-lembaga dan seperangkat ritual adat beserta fasilitas-fasilitasnya. Di beberapa wilayah misalnya, pemerintah bukannya memikirkan persoalan peningkatan ekonomi rakyat, tapi malah sibuk mengurus persoalan-persoalan spele seperti safari subuh, ngangkang style, daster, dan lain-lain. 

Bukan berarti bahwa semua itu tidak penting, namun peraturan dan kebijakan daerah maupun ‘kecenderungan’ masyarakat mestilah seimbang. Ketika pemerintah hanya sibuk mengurusi hal-hal praktis yang bernilai ‘aksesoris’ bagaimana Aceh dapat maju dan berkembang. Padahal kesejahteraan masyarakat tidak akan tiba-tiba datang tanpa diusahakan.
Lebih memprihatinkan lagi di Bulan Ramdhan ini, beberapa tokoh Aceh bukannya memikirkan persoalan bagaimana masyarakat dapat menjalankan ibadah puasa dengan tenang dan tidak risau dengan persoalan sembako dan listrik. Mereka malah sibuk mempersoalkan rakaat shalat taraweh, i’adah zuhur, tongkat khatib, azan dua kali, hingga qunut di waktu subuh di Mesjid Raya dan mesjid-mesjid lainnya. Padahal persoalannya ada yang masih berstatus khilafiah, ada yang ‘bertaraf’ sunnat bahkan jika dilihat dari substansi-nya ada yang masih sangat kondisional. Masalah azan dua kali misalnya, di zaman ketika umat Islam sudah banyak namun belum ada pengeras suara yang memadai, umat Islam melakukan azan dua kali. Tentu konteksnya berbeda dengan hari ini. Dan kalaupun ada yang azan dua kali, bukan berarti itu menjadi suatu keharusan, apalagi menjadi syarat sah jum’at. Setiap mesjid dan manajemennya berhak memilih untuk azan dua kali atau satu kali, tergantung kebutuhan warga setempat.
Hanya karena hal-hal ‘kecil’ tadi dianggap sebagai identitas kesyafi’iahan dan ahlussunnah waljama’ah lalu mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu kekhidmatan Jum’at dan persatuan ummat. Jika masih hidup, bagaimana Imam Syafi’i akan mencerna jika qunut menjadi ‘tanda sah’ seorang telah bermadhab Syafi’i, padahal beliau bahkan tidak pernah melakukan qunut jika berada di dekat maqam Imam Malik? Betapa Imam Asy’ari akan kebingungan untuk mencari hubungan antara tarawih 20 rakaat dengan ‘Sifat 20’ yang menjadi magnum opus dari aliran ahlusunnah waljama’ah-nya? 
Kita sibuk meng-‘kudeta mesjid,’ lalu melupakan keragaman, keikhlasan, ukhuwah, kasih sayang dan budaya yang menjadi nilainya. Kita sibuk mencegah orang untuk melaksanakan shalat tarawih delapan rakaat, lalu mengabaikan kenyataan bahwa ketentuan berapa jumlah shalat taraweh sebenarnya, masih perlu diperdebatkan.
Ini adalah cermin betapa kita lebih mabuk kepada persoalan-persoalan praktis lahiriyah, lalu mengabaikan nilai-nilai yang seharusnya dapat diambil untuk menjadi ‘suplemen’ agar tubuh ke-aceh-an kita menjadi tangguh. Ibarat melatih seorang tentara, melatih fisik dan mental, tentu sama pentingnya (atau bahkan lebih penting) daripada mengurusi masalah seragam dan aksesoris lainnya.
Aceh dan Keragaman.
Sejarah mencatat bahwa Aceh adalah suatu daerah yang tingkat heterogenitas masyarakatnya cukup tinggi. Ini bahkan terlihat dari ungkapan hadih majah Sukee lhe reutoh bahwa ada banyak keragaman di Aceh setiap elemen yang beragam tersebut memiliki peran dalam pengembangan masyarakat Aceh. Persoalan madhab keagamaan misalnya, sebelum Ahlussunnah datang, di Aceh telah pernah hidup madhab Syi’ah yang sampai detik ini, mendengar namanya saja masyarakat sudah alergi.
Namun demikian, setidaknya hingga hari ini ada tiga jenis model keagamaan yang berkembang di Aceh, yaitu Pertama, model keagamaan wujudiyah dengan tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani yang membawa ajaran tauhid A’yan Tsabitah. Ajaran ini sudah mulai berkurang sudah mulai berkurang walaupun masih terlihat bekas ajarannya di sekitar wilayah pantai barat dan selatan Aceh.
Kedua, kelompok Ahlussunnah Wal Jama’ah, dengan tokohnya Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf atau Syahkuala. Aliran ini diyakini dianut oleh mayoritas penduduk Aceh walau akhir-akhir ini ada segelintir dari kelompok ini yang juga  sekaligus menganut faham wujudiyah. Dan yang ketiga adalah kelompok pemurnian. Kelompok-kelompok pemurnian yang berkembang di Aceh akhir-akhir ini kebanyakan merupakan turunan dari kelompok pemurnian dari luar Aceh seperti Muhammadiyah dan lain-lain. Meskipun sejarah mencatat bahwa perkembangan pemurnian agama di Aceh telah ada jauh sebelum itu, seperti gerakan pemurnian agama yang ditawarkan oleh Tengku Daud Bereueh.
Dari ketiga kelompok tersebut, kelompok pemurnian adalah kedua terbesar di Aceh sekaligus kelompok yang paling sering berbenturan dengan kelompok mayoritas ahlussunnah (walaupun kedua-duanya sama-sama mengaku ahlussunnah). Kelompok pemurnian banyak diikuti oleh intelektual-intelektual kampus, masyarakat perkotaan, khususnya Banda Aceh, pesantren-pesantren modern, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Secara kasat mata, kelompok terakhir ini banyak melakukan perannya pada pemulihan Aceh pasca tsunami, khususnya dibidang pendidikan, keagamaan dan sosial.  Dan dalam tragedi di Mesjid Raya beberapa waktu lalu, jelas objek yang paling dirugikan adalah kelompok ketiga ini, dimana persoalan azan jum’at dua kali, muwalat khutbah, i’adah shalat zuhur, tongkat, taraweh duapuluh adalah persoalan bersama yang sering berbeda antara ahlussunnah dan kelompok pemurnian agama.
Tindakan pemaksaan yang dilakukan, bukan saja merugikan kelompok pemurnian, namun secara umum, jelas merugikan integritas, persatuan dan kebersamaan masyarakat Aceh. Karena, gerakan permurnian bukan saja merupakan pendatang dari luar Aceh dan pengaruh luar negeri, tapi juga telah berkembang di Aceh pada masa Daud Beureueh. Intimidasi dan diskriminasi terhadap kelompok ini berarti memicu permusuhan terhadap kelompok kedua terbesar di Aceh, dan juga berarti membawa Aceh kepada kemunduran dan mungkin kehancuran.
Aceh tidak dapat dibangun oleh satu golongan saja…
Persoalan keagamaan menjadi semakin rumit ketika ada upaya pemaksaan suatu madhab atau aliran madhab kepada kelompok lain. Pemaksaan satu aliran atau satu praktek remeh (yang bukan substansial) tentu sangat disayangkan dimana Aceh sedang membutuhkan tenaga besar dalam proses pendobrakan dan pembangunan khususnya pasca kehancuran akibat konflik dan tsunami. Monopoli suatu madhab dan praktek keagamaan akan memberi imbas yang tidak sedikit bagi keberlangsungan pembangunan Aceh. Pasca Tsunami misalnya, berapa banyak bantuan kemanusiaan dari kelompok pemurnian dari luar Aceh dan  dari luar negeri? Berapa banyak sekolah-sekolah yang dibangun dan diperbaiki? Berapa banyak orang Aceh yang telah bergaul dan berbaur dengan kelompok ini? Dan berapa banyak pula mereka yang masih ‘bertahan,’ untuk melanjutkan perjuangan kemanusiannya di Aceh? Jika dilihat dari beberapa hal tadi, maka pemaksaan suatu madhab adalah bentuk dari sikap tidak tahu berterima kasih. Apalagi jika dikaitkan dengan sejarah panjang perjuangan keagamaan Tengku Daud Beureueh, maka pemaksaan suatu madhab dapat berarti ketidaktahuan atau ketidakpedulian orang Aceh pada sejarah dan kepahlawanannya sendiri.
Imbasnya, akan timbul perpecahan di kalangan masyarakat Aceh. Di luar sana, dapat saja Aceh akan dikucilkan dari pergaulan bangsa Indonesia dan lebih jauh pergaulan dunia internasional. Dan boleh jadi misalnya, kebencian sebagian masyarakat Aceh kepada Wahabi suatu saat akan membuat pemerintah Arab Saudi geram, dan memberlakukan larangan bagi orang Aceh untuk pergi berhaji. Jika Aceh masih bersikap tidak toleran terhadap keragaman, siap-siap saja bagi pemerintah Aceh untuk ‘dikucilkan’ dari pergaulan nasional dan internasional.

Ramli
Banda Aceh, Rabu 24 Juni 2014



No comments:

Post a Comment