Oleh Ramli
Ramli Cibro
"Tulisan ini hanyalah sumbangan pemikiran dari seorang yang masih sedang belajar. Tulisan ini telah dimuat pada tajuk Opini,, harian Waspada Medan, Rabu, 24 Juni 2014. Tentu saja tulisan ini masih amburadul dan jauh dari kaedah-kaedah penulisan yang baik, dan lebih penting lagi, masih jauh dari kebenaran sejati. Namun tulisan ini adalah washilah dan proses bagi kami untuk terus 'mencari kebenaran.'


Sistem pembangunan yang berlaku di Aceh, baik
ketika masih menjadi provinsi biasa, provinsi istimewa sampai mendapat
pengakuan otonomi khusus, jarang berbicara tentang ‘nilai,’ atau ‘substansi,’
dari apa yang terjadi di masa lalu. Tapi lebih dari itu, pembicaraan,
pembahasan maupun perundang-undangan sering berkaitan dengan wacana-wacana
praktis yang dangkal dan jauh dari nilai-nilai filosofis. Misalnya seperti
akhir-akhir ini, bukannya mempersoalkan masalah pengangguran dan kebodohan,
pemuka-pemuka Aceh malah sibuk mengatur peraturan tentang bendera, posisi
politis dan praktis lembaga-lembaga dan seperangkat ritual adat beserta
fasilitas-fasilitasnya. Di beberapa wilayah misalnya, pemerintah bukannya
memikirkan persoalan peningkatan ekonomi rakyat, tapi malah sibuk mengurus
persoalan-persoalan spele seperti safari subuh, ngangkang style, daster,
dan lain-lain.
Bukan berarti bahwa semua itu tidak penting, namun peraturan dan kebijakan daerah maupun ‘kecenderungan’ masyarakat mestilah seimbang. Ketika pemerintah hanya sibuk mengurusi hal-hal praktis yang bernilai ‘aksesoris’ bagaimana Aceh dapat maju dan berkembang. Padahal kesejahteraan masyarakat tidak akan tiba-tiba datang tanpa diusahakan.
Lebih memprihatinkan lagi di Bulan Ramdhan ini,
beberapa tokoh Aceh bukannya memikirkan persoalan bagaimana masyarakat dapat
menjalankan ibadah puasa dengan tenang dan tidak risau dengan persoalan sembako
dan listrik. Mereka malah sibuk mempersoalkan rakaat shalat taraweh, i’adah
zuhur, tongkat khatib, azan dua kali, hingga qunut di waktu subuh di Mesjid
Raya dan mesjid-mesjid lainnya. Padahal persoalannya ada yang masih berstatus khilafiah,
ada yang ‘bertaraf’ sunnat bahkan jika dilihat dari substansi-nya ada yang masih
sangat kondisional. Masalah azan dua kali misalnya, di zaman ketika umat Islam
sudah banyak namun belum ada pengeras suara yang memadai, umat Islam melakukan
azan dua kali. Tentu konteksnya berbeda dengan hari ini. Dan kalaupun ada yang
azan dua kali, bukan berarti itu menjadi suatu keharusan, apalagi menjadi
syarat sah jum’at. Setiap mesjid dan manajemennya berhak memilih untuk azan dua
kali atau satu kali, tergantung kebutuhan warga setempat.
Hanya karena hal-hal ‘kecil’ tadi dianggap
sebagai identitas kesyafi’iahan dan ahlussunnah waljama’ah lalu
mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu kekhidmatan Jum’at dan
persatuan ummat. Jika masih hidup, bagaimana Imam Syafi’i akan mencerna jika qunut
menjadi ‘tanda sah’ seorang telah bermadhab Syafi’i, padahal beliau bahkan
tidak pernah melakukan qunut jika berada di dekat maqam Imam Malik? Betapa Imam
Asy’ari akan kebingungan untuk mencari hubungan antara tarawih 20 rakaat dengan
‘Sifat 20’ yang menjadi magnum opus dari aliran ahlusunnah waljama’ah-nya?
Kita sibuk meng-‘kudeta mesjid,’ lalu
melupakan keragaman, keikhlasan, ukhuwah, kasih sayang dan budaya yang menjadi
nilainya. Kita sibuk mencegah orang untuk melaksanakan shalat tarawih delapan
rakaat, lalu mengabaikan kenyataan bahwa ketentuan berapa jumlah shalat taraweh
sebenarnya, masih perlu diperdebatkan.
Ini adalah cermin betapa kita lebih mabuk
kepada persoalan-persoalan praktis lahiriyah, lalu mengabaikan
nilai-nilai yang seharusnya dapat diambil untuk menjadi ‘suplemen’ agar tubuh
ke-aceh-an kita menjadi tangguh. Ibarat melatih seorang tentara, melatih fisik
dan mental, tentu sama pentingnya (atau bahkan lebih penting) daripada
mengurusi masalah seragam dan aksesoris lainnya.
Aceh dan
Keragaman.
Sejarah mencatat bahwa Aceh adalah suatu daerah
yang tingkat heterogenitas masyarakatnya cukup tinggi. Ini bahkan terlihat dari
ungkapan hadih majah Sukee lhe reutoh bahwa ada banyak keragaman di Aceh
setiap elemen yang beragam tersebut memiliki peran dalam pengembangan
masyarakat Aceh. Persoalan madhab keagamaan misalnya, sebelum Ahlussunnah
datang, di Aceh telah pernah hidup madhab Syi’ah yang sampai detik ini,
mendengar namanya saja masyarakat sudah alergi.
Namun demikian, setidaknya hingga hari ini ada
tiga jenis model keagamaan yang berkembang di Aceh, yaitu Pertama, model
keagamaan wujudiyah dengan tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani
yang membawa ajaran tauhid A’yan Tsabitah. Ajaran ini sudah mulai
berkurang sudah mulai berkurang walaupun masih terlihat bekas ajarannya di sekitar
wilayah pantai barat dan selatan Aceh.
Kedua, kelompok Ahlussunnah Wal Jama’ah,
dengan tokohnya Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf atau Syahkuala. Aliran
ini diyakini dianut oleh mayoritas penduduk Aceh walau akhir-akhir ini ada
segelintir dari kelompok ini yang juga
sekaligus menganut faham wujudiyah. Dan yang ketiga adalah kelompok
pemurnian. Kelompok-kelompok pemurnian yang berkembang di Aceh akhir-akhir ini kebanyakan
merupakan turunan dari kelompok pemurnian dari luar Aceh seperti Muhammadiyah dan
lain-lain. Meskipun sejarah mencatat bahwa perkembangan pemurnian agama di Aceh
telah ada jauh sebelum itu, seperti gerakan pemurnian agama yang ditawarkan
oleh Tengku Daud Bereueh.
Dari ketiga kelompok tersebut, kelompok
pemurnian adalah kedua terbesar di Aceh sekaligus kelompok yang paling sering
berbenturan dengan kelompok mayoritas ahlussunnah (walaupun kedua-duanya
sama-sama mengaku ahlussunnah). Kelompok pemurnian banyak diikuti oleh
intelektual-intelektual kampus, masyarakat perkotaan, khususnya Banda Aceh,
pesantren-pesantren modern, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Secara
kasat mata, kelompok terakhir ini banyak melakukan perannya pada pemulihan Aceh
pasca tsunami, khususnya dibidang pendidikan, keagamaan dan sosial. Dan dalam tragedi di Mesjid Raya beberapa
waktu lalu, jelas objek yang paling dirugikan adalah kelompok ketiga ini,
dimana persoalan azan jum’at dua kali, muwalat khutbah, i’adah shalat
zuhur, tongkat, taraweh duapuluh adalah persoalan bersama yang sering
berbeda antara ahlussunnah dan kelompok pemurnian agama.
Tindakan pemaksaan yang dilakukan, bukan saja
merugikan kelompok pemurnian, namun secara umum, jelas merugikan integritas,
persatuan dan kebersamaan masyarakat Aceh. Karena, gerakan permurnian bukan
saja merupakan pendatang dari luar Aceh dan pengaruh luar negeri, tapi juga
telah berkembang di Aceh pada masa Daud Beureueh. Intimidasi dan diskriminasi
terhadap kelompok ini berarti memicu permusuhan terhadap kelompok kedua
terbesar di Aceh, dan juga berarti membawa Aceh kepada kemunduran dan mungkin
kehancuran.
Aceh
tidak dapat dibangun oleh satu golongan saja…
Persoalan keagamaan menjadi semakin rumit
ketika ada upaya pemaksaan suatu madhab atau aliran madhab kepada kelompok
lain. Pemaksaan satu aliran atau satu praktek remeh (yang bukan
substansial) tentu sangat disayangkan dimana Aceh sedang membutuhkan tenaga
besar dalam proses pendobrakan dan pembangunan khususnya pasca kehancuran
akibat konflik dan tsunami. Monopoli suatu madhab dan praktek keagamaan akan
memberi imbas yang tidak sedikit bagi keberlangsungan pembangunan Aceh. Pasca
Tsunami misalnya, berapa banyak bantuan kemanusiaan dari kelompok pemurnian dari
luar Aceh dan dari luar negeri? Berapa
banyak sekolah-sekolah yang dibangun dan diperbaiki? Berapa banyak orang Aceh
yang telah bergaul dan berbaur dengan kelompok ini? Dan berapa banyak pula
mereka yang masih ‘bertahan,’ untuk melanjutkan perjuangan kemanusiannya di
Aceh? Jika dilihat dari beberapa hal tadi, maka pemaksaan suatu madhab adalah
bentuk dari sikap tidak tahu berterima kasih. Apalagi jika dikaitkan
dengan sejarah panjang perjuangan keagamaan Tengku Daud Beureueh, maka
pemaksaan suatu madhab dapat berarti ketidaktahuan atau ketidakpedulian orang
Aceh pada sejarah dan kepahlawanannya sendiri.
Imbasnya, akan timbul perpecahan di kalangan
masyarakat Aceh. Di luar sana, dapat saja Aceh akan dikucilkan dari pergaulan
bangsa Indonesia dan lebih jauh pergaulan dunia internasional. Dan boleh jadi
misalnya, kebencian sebagian masyarakat Aceh kepada Wahabi suatu saat akan
membuat pemerintah Arab Saudi geram, dan memberlakukan larangan bagi orang Aceh
untuk pergi berhaji. Jika Aceh masih bersikap tidak toleran terhadap keragaman,
siap-siap saja bagi pemerintah Aceh untuk ‘dikucilkan’ dari pergaulan nasional
dan internasional.
Ramli
Banda Aceh, Rabu 24 Juni 2014
No comments:
Post a Comment