Orang-orang
yang mempelajari bahasa Arab mengalami sedikit kebingungan tatkala menghadapi
kata “ilmu”. Dalam bahasa Arab, kata al-‘ilm berarti pengetahuan (knowledge),
sedangkan kata “ilmu” dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan
science. Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian dari al-‘ilm
dalam bahasa Arab. Karena itu kata science seharusnya diterjemahkan sain
saja. Maksudnya agar orang yang mengerti bahasa Arab tidak bingung membedakan
kata ilmu (sain) dengan kata al-‘ilm yang berarti knowledge.[1]
Abu Hamid
Al-Ghazaly membagi klasifikasi ilmu (knowledge) kedalam dua bentuk yaitu
wajib ‘ain dan wajib kifayah. Ilmu yang
masuk kategori Wajib ‘Ain berarti bahwa setiap orang wajib mengetahui sebatas
kebutuhan dan tuntutan wajib untuk mengamalkannya. Ilmu Wajib ‘Ain ini meliputi
ilmu ibadah, ilmu mu’amalat dan ilmu mukasyafah (ilmu sufi). Sedangkan wajib
kifayah adalah ilmu yang apabila telah ada sebagian yang menuntutnya maka
terlepas kewajiban bagi yang lain. Ilmu-ilmu yang masuk kedalam kategori ini
termasuk ilmu budaya, pengobatan, politik dan lain. Pada tahapan selanjutnya,
dunia Islam kemudian dikenal ilmu-ilmu agama (syari’ah knowledge) dan
ilmu-ilmu umum (non-syari’ah knowledge). Selain itu mereka juga
mengklasifikasikan ilmu kedalam ilmu-ilmu yang terpuji dan ilmu-ilmu yang
tercela.[2]
Zaman
dahulu orang Arab menganggap bahwa semua yang mendatangkan nilai fungsi
(pragmatis) baik terhadap agama, institusi
politik, moral maupun tekhnologi dapat dikatakan sebagai ilmu. Belum ada
pemisahan yang jelas antara teks wahyu dan hadits, filsafat, logika, mistik dan
lain-lain. Itu semua karena ketika pengetahuan manusia belum sampai pada
tingkat seperti yang terjadi pada masa revolusi industri di Eropa. Namun
demikian, perkembangan ilmu pengetahuan di Arab menjadi batu loncatan bagi
perkembangan pengetahuan di dunia yang sampai saat ini masih dapat dirasakan
pengaruhnya.
Dalam
tradisi menuntut ilmu, orang-orang Islam selalu berdo’a semoga diberikan
ilmu-ilmu yang bermanfaat saja dan dijauhkan dari ilmu-ilmu yang sia-sia
apalagi ilmu-ilmu yang dapat mengantarkan pada kekufuran.
[1]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
Pengetahuan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2013, hal 3.
[2]
Lihat Abu Hamid Muhammad Al-Ghazaly, Ihya Ulumuddin, juz 1, Ihya Kitab
Arabi, Tanpa Kota, Tanpa Tahun, hal 14-42. Lihat juga S Waqar Ahmed Husaini,
Islamic Science, Goodword Book, New Delhi, 2002, hal 35-37.
No comments:
Post a Comment