Ada
ungkapan yang mengatakan bahwa orang yang terbiasa menggunakan pisau akan
cenderung menyelesaikan setiap persoalan dengan pisau. Ungkapan tersebut
menunjukkan bahwa cara seseorang dalam menyelesaikan masalah sangat bergantung
pada ‘kebiasaan’ dan keahliannya. Seorang sosiolog akan melihat setiap fenomena
dengan kacamata sosiologi; seorang ustadz akan melihat masalah dengan
pendekatan doktrin normatif agama dan seorang jendral akan cenderung
menyelesaikan masalah ‘ala’ komandan. Namun demikian, tidak setiap metode
penyelesaian dapat dibenarkan sama seperti tidak setiap kecenderungan harus
diizinkan terlebih lagi jika tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
Ketika
misalnya Mantan Kombatan (eks GAM) tidak ditangani atau diarahkan dengan
serius, beberapa dari mereka memiliki kecenderungan kembali untuk mengangkat
senjata. Jika dicermati, mantan kombatan tersebut (terlebih dari kalangan akar
rumput) rata-rata bukanlah mereka yang memiliki keahlian. Sedikit yang pernah
mengecap pendidikan tinggi dan sebagian besar bukanlah ahli-ahli lobi seperti
eks GAM yang duduk di jajaran elit pemerintahan maupun elit partai. Ditengah
persoalan hidup yang semakin menumpuk walhasil mereka kembali terfikir untuk
memanggul senjata.
Kemunculan
Din Minimi yang membentuk kelompok anti-pemerintah Aceh, kemudian Abu Rimba
yang mengklaim sebagai afiliasi dari Din Minimi adalah bentuk jawaban atas
persoalan-persoalan yang tak kunjung selesai.
Sebagian
dari kita mungkin berfikir, mengapa mereka tidak membuat usaha sendiri,
berkebun atau menjadi nelayan? Mengapa eks-GAM harus lagi-lagi memilih untuk
mengangkat senjata? Jawaban pertanyaan tadi menjadi menjadi rumit karena andaipun
mereka ingin melanjutkan usaha, mereka jelas tidak diberi modal dan keahlian.
Jikapun ada, alokasi dan pengerjaannya masih sangat minim. Tugas pemerintah
adalah membina masyarakat dengan terus berkesinambungan hingga mereka mencapai
taraf kemapanan. Namun sejauh mana pemerintah berfikir demikian?
Ada
kesan bahwa pemerintah hanya membiarkan saja aksi-aksi nekat ini dan
menyerahkan sepenuhnya pada aparat penegak hukum. Hasilnya kemudian, konflik
justru pelan-pelan semakin meluas. Padahal yang dibutuhkan disana bukan sekedar
pendekatan hukum dan militeristik, namun juga pendekatan sosial kemanusiaan
termasuk didalamnya pendekatan politik.
Perlakuan
terhadap eks-GAM secara khusus maupun masyarakat korban konflik pada umumnya
masih berkisar pada pemberian santunan. Sedikit sekali upaya pembinaan menyeluruh
baik pembinaan skill, mental maupun agama. Kebanyakan eks-GAM dan korban
konflik yang bukan saja minim keahlian, namun juga minim secara pengetahuan
keagamaan. Misalnya, banyak dari mereka yang belum lancar membaca al-Qur’an dan
belum sempurna pelaksanaan shalatnya.
Pembinaan
tentu tidak cukup jika tidak dibarengi dengan ketulusan sebagian elit
pemerintah untuk memperlihatkan prilaku santun, sederhana dan terpuji. Gaya
hidup hedonis memicu kecenderungan malas dan prilaku korupsi dan tentu saja
menimbulkan kecemburuan dan rasa sakit hati dari masyarakat. Tragedi tahun lalu
dimana uang negara tidak sanggup diserap oleh daerah mengindikasikan
‘ketidakseriusan,’ pemerintah untuk bekerja mensejahterakan rakyat. Terlebih
lagi sikap sebagian elit yang mempertontonkan kemewahan dan prilaku boros
ditengah masyarakat yang sedang sekarat dan menderita kemiskinan.
Pembinaan
yang dilakukan dapat meliputi pembinaan skill, kepribadian (mental), agama dan
pembinaan ruhani. Pemerintah juga mesti mengupayakan para pakar yang kompeten
dibidangnya untuk melatih keahlian, pakar pembimbing strategi pemasaran, pakar
dibidang agama dan juga para pembina ruhani. Untuk pembinaan tersebut,
pemerintah juga dapat memanfaatkan tenaga-tenaga lokal dari kalangan profesional,
akademisi, ahli agama, hingga ulama-ulama dayah.
Jika
selama ini pemerintah hanya memposisikan diri sebagai pemberi santunan, maka
hari ini pemerintah harus siap menjadi mitra rakyat Aceh. Dalam pembangunan,
yang menjadi sasaran adalah rakyat, otomatis kebijakan-kebijakan juga harus
disesuaikan dengan kebutuhan rakyat.
Pembinaan
menyeluruh juga harus seiring dengan kebijakan pasar dan ekonomi. Jika disatu
sisi pemerintah hanya sibuk memancing produktifitas namun disisi lain tidak ada
pembelaan khusus berkaitan dengan pemasaran dari hasil-hasil produksi yang
dikelola oleh masyarakat misalnya, tentu hasilnya juga maksimal. Pemerintah
harus mengkondisikan keadaan dan melindungi ekonomi rakyat dari praktek-praktek
pasar yang tidak sehat. Kalau perlu pengadaan kebutuhan-kebutuhan pemerintah
juga melibatkan industri rakyat dan pasar tradisional. Inilah yang diharapkan
dari pemerintah. Sebuah pemberdayaan, perlindungan, pembinaan dan kerjasama.
Rakyat
juga mesti dilibatkan dalam setiap kebijakan dan pembangunan. Karena yang mesti
dibangun, bukanlah rumah pribadi atau rekening yang semakin membuncit. Yang
dipersiapkan adalah Aceh yang akan menjadi warisan dan kebanggaan untuk anak
cucu kita di tahun-tahun yang akan datang. Jangan sampai kita seperti orang
yang ingin mengusir tikus namun lumbung padi dibakar. Artinya, hanya karena
mengejar kekayaan pribadi yang tidak seberapa, masa depan bangsa Aceh dikorbankan.
Dimasa depan, ketika kehancuran telah menimpa, yang menjadi malu bukan cuma
rakyat jelata, namun juga anak dan cucu dari para elit yang mungkin sudah
terbang kemana-mana. Bahwa kakek-kakek mereka dulu, tidak becus dalam menangani
dan membangun tanah kebanggaan endatu, yaitu Aceh.
No comments:
Post a Comment