Friday, 26 February 2016

Abu Rimba dan Reproduksi Konflik



Ramli Cibro
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa orang yang terbiasa menggunakan pisau akan cenderung menyelesaikan setiap persoalan dengan pisau. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa cara seseorang dalam menyelesaikan masalah sangat bergantung pada ‘kebiasaan’ dan keahliannya. Seorang sosiolog akan melihat setiap fenomena dengan kacamata sosiologi; seorang ustadz akan melihat masalah dengan pendekatan doktrin normatif agama dan seorang jendral akan cenderung menyelesaikan masalah ‘ala’ komandan. Namun demikian, tidak setiap metode penyelesaian dapat dibenarkan sama seperti tidak setiap kecenderungan harus diizinkan terlebih lagi jika tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.

Ketika misalnya Mantan Kombatan (eks GAM) tidak ditangani atau diarahkan dengan serius, beberapa dari mereka memiliki kecenderungan kembali untuk mengangkat senjata. Jika dicermati, mantan kombatan tersebut (terlebih dari kalangan akar rumput) rata-rata bukanlah mereka yang memiliki keahlian. Sedikit yang pernah mengecap pendidikan tinggi dan sebagian besar bukanlah ahli-ahli lobi seperti eks GAM yang duduk di jajaran elit pemerintahan maupun elit partai. Ditengah persoalan hidup yang semakin menumpuk walhasil mereka kembali terfikir untuk memanggul senjata.
Kemunculan Din Minimi yang membentuk kelompok anti-pemerintah Aceh, kemudian Abu Rimba yang mengklaim sebagai afiliasi dari Din Minimi adalah bentuk jawaban atas persoalan-persoalan yang tak kunjung selesai.
Sebagian dari kita mungkin berfikir, mengapa mereka tidak membuat usaha sendiri, berkebun atau menjadi nelayan? Mengapa eks-GAM harus lagi-lagi memilih untuk mengangkat senjata? Jawaban pertanyaan tadi menjadi menjadi rumit karena andaipun mereka ingin melanjutkan usaha, mereka jelas tidak diberi modal dan keahlian. Jikapun ada, alokasi dan pengerjaannya masih sangat minim. Tugas pemerintah adalah membina masyarakat dengan terus berkesinambungan hingga mereka mencapai taraf kemapanan. Namun sejauh mana pemerintah berfikir demikian?
Ada kesan bahwa pemerintah hanya membiarkan saja aksi-aksi nekat ini dan menyerahkan sepenuhnya pada aparat penegak hukum. Hasilnya kemudian, konflik justru pelan-pelan semakin meluas. Padahal yang dibutuhkan disana bukan sekedar pendekatan hukum dan militeristik, namun juga pendekatan sosial kemanusiaan termasuk didalamnya pendekatan politik.
Perlakuan terhadap eks-GAM secara khusus maupun masyarakat korban konflik pada umumnya masih berkisar pada pemberian santunan. Sedikit sekali upaya pembinaan menyeluruh baik pembinaan skill, mental maupun agama. Kebanyakan eks-GAM dan korban konflik yang bukan saja minim keahlian, namun juga minim secara pengetahuan keagamaan. Misalnya, banyak dari mereka yang belum lancar membaca al-Qur’an dan belum sempurna pelaksanaan shalatnya.
Pembinaan tentu tidak cukup jika tidak dibarengi dengan ketulusan sebagian elit pemerintah untuk memperlihatkan prilaku santun, sederhana dan terpuji. Gaya hidup hedonis memicu kecenderungan malas dan prilaku korupsi dan tentu saja menimbulkan kecemburuan dan rasa sakit hati dari masyarakat. Tragedi tahun lalu dimana uang negara tidak sanggup diserap oleh daerah mengindikasikan ‘ketidakseriusan,’ pemerintah untuk bekerja mensejahterakan rakyat. Terlebih lagi sikap sebagian elit yang mempertontonkan kemewahan dan prilaku boros ditengah masyarakat yang sedang sekarat dan menderita kemiskinan.
Pembinaan yang dilakukan dapat meliputi pembinaan skill, kepribadian (mental), agama dan pembinaan ruhani. Pemerintah juga mesti mengupayakan para pakar yang kompeten dibidangnya untuk melatih keahlian, pakar pembimbing strategi pemasaran, pakar dibidang agama dan juga para pembina ruhani. Untuk pembinaan tersebut, pemerintah juga dapat memanfaatkan tenaga-tenaga lokal dari kalangan profesional, akademisi, ahli agama, hingga ulama-ulama dayah.
Jika selama ini pemerintah hanya memposisikan diri sebagai pemberi santunan, maka hari ini pemerintah harus siap menjadi mitra rakyat Aceh. Dalam pembangunan, yang menjadi sasaran adalah rakyat, otomatis kebijakan-kebijakan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan rakyat.
Pembinaan menyeluruh juga harus seiring dengan kebijakan pasar dan ekonomi. Jika disatu sisi pemerintah hanya sibuk memancing produktifitas namun disisi lain tidak ada pembelaan khusus berkaitan dengan pemasaran dari hasil-hasil produksi yang dikelola oleh masyarakat misalnya, tentu hasilnya juga maksimal. Pemerintah harus mengkondisikan keadaan dan melindungi ekonomi rakyat dari praktek-praktek pasar yang tidak sehat. Kalau perlu pengadaan kebutuhan-kebutuhan pemerintah juga melibatkan industri rakyat dan pasar tradisional. Inilah yang diharapkan dari pemerintah. Sebuah pemberdayaan, perlindungan, pembinaan dan kerjasama.
Rakyat juga mesti dilibatkan dalam setiap kebijakan dan pembangunan. Karena yang mesti dibangun, bukanlah rumah pribadi atau rekening yang semakin membuncit. Yang dipersiapkan adalah Aceh yang akan menjadi warisan dan kebanggaan untuk anak cucu kita di tahun-tahun yang akan datang. Jangan sampai kita seperti orang yang ingin mengusir tikus namun lumbung padi dibakar. Artinya, hanya karena mengejar kekayaan pribadi yang tidak seberapa, masa depan bangsa Aceh dikorbankan. Dimasa depan, ketika kehancuran telah menimpa, yang menjadi malu bukan cuma rakyat jelata, namun juga anak dan cucu dari para elit yang mungkin sudah terbang kemana-mana. Bahwa kakek-kakek mereka dulu, tidak becus dalam menangani dan membangun tanah kebanggaan endatu, yaitu Aceh.

No comments:

Post a Comment