Ramli Cibro
Tahun 2018 sepertinya menjadi tahun yang berat. Tahun dimana bangsa kita dirudung berbagai musibah dan bencana. Bencana yang demikian, selain meninggalkan duka dan kepedihan yang mendalam, juga menyisakan beragam tafsir, spekulasi dan prasangka yang terkadang jauh dari akal sehat. Prasangka yang tidak mencerminkan sikap empati. Prasangka yang justru memperburuk situasi pasca-bencana. Ragam prasangka yang tidak didasarkan pada pembuktian yang adil.
Masih terngiang di telinga, bagaimana gempa Lombok justru dituding muncul akibat sikap politik tokoh tertentu. Atau kemudian rentetan bencana di Sulawesi dijadikan sebagai mortir politik untuk menyerang pemerintah. Bagaimana kemudian kecelakaan pesawat, dan kapal laut, selalu diarahkan pada perkara-perkara eskatologi (kegaiban) secara tidak adil pada persoalan-persoalan politik atau masalah laku maksiat.
Memang benar, al-Qur’an mengatakan bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah tangan manusia (30:41). Memang benar, bahwa Al-Qur’an menyebutkan contoh beberapa kaum yang diazab oleh Allah lantaran laku maksiat mereka (Misalnya 09:70, 50:12 dan 15:78). Namun bukan berarti bahwa sebagian kita kemudian begitu mudah berasumsi, bahwa rentetan bencana yang terjadi di suatu wilayah adalah kutukan bagi wilayah tersebut karena penduduknya suka bermaksiat? Atau bahwa kejadian bencana di suatu wilayah adalah akibat dari peristiwa-peristiwa politik tertentu?
Tidak ada yang tahu bahwa suatu daerah penduduknya lebih banyak berbuat maksiat dari daerah yang lain? Tidak juga ada yang berani memastikan, bahwa bencana tertentu adalah akibat dari peristiwa politik tertentu? Secara eskatologi, sejatinya kita menyerahkan urusan dosa orang lain kepada pengadilan ukhrawi yang akan dibentangkan kelak di padang mahsyar. Sejatinya pula, kita tidak terjebak untuk menuding bencana sebagai akibat dari sikap-sikap politik kelompok-kelompok tertentu.
Karena jelas, tudingan demikian jauh dari prinsip bernalar yang sehat. Ketika dituntut untuk saling tolong menolong (5:2) kita justru melemparkan kecurigaan. Ketika dianjurkan untuk mentadabburi bencana dan belajar darinya, kita justru membawa narasi eskatologi berbumbu politik secara berlebihan.
Padahal, sebagian dari bencana muncul karena memang negeri kita rawan bencana. Indonesia terletak diantara tiga lempeng dan memiliki rangkaian gunung berapi yang disebut cincin api pasifik. Sehingga, walaupun Indonesia kemudian memiliki tanah yang subur dengan sumber daya mineral yang kaya, tapi jelas rawan terhadap bencana. Sedangkan sebagian lagi, bencana muncul akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Jadi, bukan semata-mata karena banyak yang tidak shalat, atau karena banyak yang minum tuak.
Dari Eskatologi ke Empati
Dalam beberapa hadist dikatakan bahwa sebelum kiamat datang, bumi ini akan ditimpa berbagai bencana. Namun bukan berarti kita kemudian menjadi pasrah dan hanya duduk menengadah. Peringatan ini menjadi deteksi bahwa ketika usia bumi menjadi semakin tua, bencana akan semakin sering datang.
Peringatan ini dapat dimaknai betapa eksistensi manusia di muka bumi semakin rapuh. Tidak ada lagi gunanya ketika kita sibuk menimbun harta lalu melupakan persiapan menuju hari akhir. Tidak ada gunanya membangun gedung yang tinggi, ketika struktur tanah sebenarnya lembek dan tidak dapat menahan beban berat. Tidak ada gunanya kemudian menjadi angkuh dengan kekayaan yang dimiliki, karena dapat saja semua itu tiba-tiba menghilang.
Peringatan Nabi mengenai bencana di akhir zaman harus disikapi dengan menumbuhkan sikap empati. Beberapa pengalaman kebencanaan dimana masyarakat kemudian berbondong-bondong menyalurkan bantuan adalah fenomena yang patut disyukuri. Walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan. Untuk itu, empati dapat ditumbuhkan dengan menyalurkan bantuan melalui lembaga-lembaga yang lebih terpercaya.
Dengan demikian, kehadiran bencana dapat menjadi moment untuk memperkuat ukhuwah dan kerjasama antara umat manusia. Sikap egois dan individualis sebagai buah dari kapitalisme, pelan-pelan dapat dihapuskan dan diganti menjadi persatuan yang kokoh, antar sesama umat Islam dan antar sesama umat manusia.
Dari Reaktif ke Budaya Progresif
Upaya tanggap bencana terkadang tidak disertai dengan analisis yang mendalam mengenai pembangunan jangka panjang. Perihal pola pembangunan bagaimana yang cocok diterapkan di daerah rawan bencana? Bagaimana meminimalisir dampak buruk dari bencana yang diprediksi akan terjadi di masa yang akan datang? Bagaimana cara menyembuhkan alam dan memperbaiki lingkungan, jika ternyata bencana yang muncul disebabkan oleh kerusakan lingkungan?
Negara maju seperti Jepang, adalah contoh negara yang menerapkan budaya progresif dalam pembangunannya. Wilayah-wilayah pantai yang berpotensi tsunami hanya didirikan bangunan-bangunan semi permanen. Di wilayah-wilayah demikian, pemerintah membangun kawasan pertanian. Artinya, pola pembangunan di Jepang, disesuaikan dengan potensi bencana yang diprediksi akan timbul di masa depan.
Eksploitasi sumber daya alam, juga harus mempertimbangkan dampak-dampak lingkungan. Tidak semua emas harus digali. Tidak semua batu bara harus ditambang. Tidak semua minyak bumi harus dikuras. Dan tidak semua gunung harus dikeruk. Ada saat ketika semua itu harus dibiarkan tetap tersimpan di dalam tanah. Yakni ketika, resiko buruk yang ditimbulkan dari penambangan tersebut diyakini jauh lebih besar dari hasil yang akan diperoleh. Yakni ketika dampak lingkungan yang ditimbulkan diyakini lebih besar (mudharat) daripada manfaat yang akan diperoleh. Pengetahuan-pengetahuan demikian tentu di dapat melalui analisa lingkungan, observasi dan kajian-kajian ilmiah yang lebih serius.
Akhirnya, Kita memang harus melihat bencana dari kacamata yang adil. Bahwa sejatinya daerah kita merupakan daerah yang rawan bencana, sehingga konsep pembangunan harus disesuaikan dengan situasi lingkungan rawan bencana. Bukan sekedar ikut-ikutan atau asal membangun tanpa perencanaan.
Begitupun pada persoalan kerusakan lingkungan. Tentu dalam beberapa kasus, bencana yang timbul adalah akibat dari tangan-tangan jahil yang merusak hutan, mengotori sungai dan lautan atau tindakan penambangan (baik legal maupun ilegal) yang tidak mengindahkan efek negatif atau kerusakan lingkungan.
Terakhir, untuk menjadi semakin adil dalam melihat bencana, setidaknya ada tiga pola transformasi pemikiran yang harus dilakukan. Yakni, pertama berpindah dari cara berfikir mistis menuju pikiran-pikiran rasional dan mendahulukan akal sehat. Kedua, berpindah dari cara-cara berfikir menghakimi dengan menuding orang lain telah melakukan tindakan maksiat, menuju cara berfikir empati, berupa respon dan bantuan bagi mereka yang diuji dengan bencana. Ketika, melanjutkan pemikiran empati menuju pemulihan dan pembangunan daerah yang berkesesuaian dengan kondisi lingkungan yang rawan bencana.
Ramli Cibro, Dosen Ilmu Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Hamzah Fansuri Subulussalam.
Artikel ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia 07 November 2018
No comments:
Post a Comment