Ramli Cibro
Sebuah artikel menarik ditulis oleh antroplog kawakan Aceh, Teuku Kemal Pasya. Beliau menulis bahwa wacana peradaban tinggi yang diwicarakan secara ideal, nyatanya tak memberi dampak bagi moral masyarakat. Opini tersebut kemudian ditutup dengan dua pertanyaan, "Apakah peradaban Aceh itu fiksi atau fakta? Dimanakah Acehnologi itu mendapatkan jejaknya?" (Serambi Opini, 13/08/2018). Dua pertanyaan menggelisahkan ini kemudian menggertak nalar Darussalam perihal mengapa pengetahuan yang berkembang disana, tidak memiliki pengaruh yang berarti bagi kemajuan masyarakat?
Jika kita mencoba membuat penyederhanaan, apa batasan antara fiksi dan non fiksi. Secara umum difahami bahwa fiksi adalah cerita hayalan, imajinasi, lebih sering tidak logis dan tentu saja tidak ilmiah. Bagaimana dengan peradaban? Bagaimana kita memastikan sebuah peradaban yang katanya dinarasikan secara berbuih-buih oleh Denys Lombard, Anthony Reid dan lain-lain itu fiksi atau bukan? Maka perlu kita pastikan, apakah cerita itu logis? Apakah penulisan dan penelitian yang dilakukan ketika itu mengikuti jalur-jalur yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Jika iya, berarti cerita tersebut adalah “nyata” di zamannya dan menjadi “pengetahuan sejarah” di hari ini. Dan baik “kenyataan,” maupun “pengetahuan sejarah” keduanya tidak dapat serta-merta dituding sebagai fiksi.
Kedua, jika bukan fiksi, mengapa ia terasa begitu fiktif ketika dihadapkan dengan realitas manusia Aceh hari ini? Mengapa narasi kegemilangan yang mengawang itu terasa asing ketika dihadapkan dengan moral rendah yang dipraktekkan oleh sebagian politisi dan masyarakat?
Bagaimana kita memposisikan pengetahuan sejarah sehingga ia mampu memberi pengaruh sistemik bagi kemajuan dan peradaban? Disinilah sejatinya tugas akademisi dan kamu intelek untuk dapat membuktikan kemanfaatan pengetahuannya. Disinilah sejatinya tugas akademisi dan kaum intelek untuk dapat meramu sebuah sebuah rekonstruksi (atau lebih radikal disebut sebagai rekayasa) untuk menjadi pondasi pembangunan, kemajuan dan peradaban. Jika tugas inipun tidak mampu ditanggung oleh akademisi, khususnya akademisi-akademisi Darussalam, lebih baik mereka pulang saja ke rumah masing-masing.
Pengetahuan dalam dirinya…
Pengetahuan dalam dirinya sendiri, menurut Daoed Joesef dalam sebuah ceramahnya, memiliki kekuatan moralnya sendiri. Dalam pengetahuan ada nilai objektifitas, integritas dan kedisiplinan. Kejelasan metode berfikir memaksa seseorang untuk bersifat objektif, sulit untuk memanipulasi objektivitas pengetahuan. Pengetahuan memaksa manusia untuk berintegritas, berargumentasi dengan kejujuran referensi, dan sedapat mungkin menghindari plagiasi. Karena pengetahuan tak bisa berkembang dari plagiatirisme. Dan bagi kalangan akademik, plagiasi itu lebih berbahaya daripada tersandung kasus korupsi. Seorang profesor yang masuk penjara karena kasus korupsi, belum tentu gelar akademiknya dicopot. Sedangkan jika profesor melakukan plagiasi, hari itu juga gelar profesornya bisa dicabut. Terakhir, pengetahuan, memaksa seseorang untuk disiplin. Dan hanya orang-orang yang disiplin yang dapat memperoleh pengetahuan.
Artinya apa? Artinya bahwa pengetahuan dalam dirinya sendiri, sebenarnya cukup untuk membentuk karakter positif bagi akademisi dan ilmuan, bahkan ketika pengetahuan tersebut belum diaplikasikan di dalam masyarakat. Artinya lagi, pengetahuan tidak akan muncul dari praktek kebohongan, pencurian dan ketidakdispilinan. Dan jika kita menemukan seorang yang mengaku ilmuan atau akademisi tapi masih suka berbohong, suka mencuri apalagi tidak disiplin, silahkan sebut saja dia sebagai “ilmuan fiksi” atau “akademisi fiksi.”
Pengetahuan bagi dunia sekitarnya…
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pengetahuan memberi pengaruh bagi dunia sekitarnya? Kita lagi-lagi mengeluhkan mengapa pengetahuan sejarah tidak memberi dampak bagi kemajuan bangsa Aceh di hari ini?
Saya mengambil beberapa analogi, ketika pertama kali Eropa mencoba menaklukkan Nusantara dengan jalan meriam dan senjata. Kenyataannya kemudian mereka gagal. Hingga, penjajah Eropa mengirim para ilmuan (khususnya antropolog) untuk mempelajari struktur kebudayaan (termasuk didalamnya sejarah) Nusantara. Setelah melakukan pemetaan, akhirnya mereka memberi rekomendasi, dan salah satu dari rekomendasi tersebut adalah apa yang disebut sebagai strategi devide et impera atau politik adu domba. Taktik yang demikian tidak mereka dapatkan begitu saja. Butuh biaya ratusan ribu golden dan waktu puluhan tahun, dengan melibatkan ratusan ilmuan untuk menemukan konsep yang hari ini dianggap sepele itu. Analogi ini kemudian membuktikan bahwa penjajah Eropa mampu menaklukkan Nusantara dan menjajahnya selama puluhan tahun, bukan melalui tangan berotot dari para tentara yang memanggul senjata, tapi tangan kerempeng nan lembek dari para ilmuan yang mengoreskan pena.
Analogi kedua, bagaimana kemudian Hasan Tiro melakukan rekayasa sosial melalui rekonstruksi kesadaran etis dengan merujuk kepada data-data ilmiah (yang notabene ditulis oleh orang-orang Eropa)? Bagaimana kemudian, seperti yang dikatakan oleh Daoed Joeseof, bangsa Indonesia ini juga terbentuk dari hasil pengkajian ilmiah? Hingga bangsa dengan keragaman yang menakjubkkan, dapat bertahan sampai hari ini. Terakhir, bagaimana negara-negara maju kemudian membuat lembaga-lembaga think-thank (sejenis lembaga ilmiah yang memberi rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah). Bagi mereka, pengembangan lembaga think-thank, bahkan lebih penting daripada peralatan militer. Negara maju melandaskan kemajuannya pada pengetahuan, dengan keyakinan bahwa jika mereka mengusai pengetahuan, maka mereka juga menguasai dunia.
Itulah tugas sejati seorang ilmuan atau akademisi ketika mereka dihadapkan dengan data sejarah. Bagaimana ia tetap bangkit dengan pena, mempelajari masa lalu, merekayasa sebuah konstruksi, melawan hegemoni dan berpihak kepada kaum lemah. Itulah tugas seorang ilmuan, bahwa ia harus percaya pada ilmunya, berdiri diatas asas-asas keilmuan, bertindak secara ilmiah, mengagungkan ilmu dan meletakkannya pada punca kemajuan peradaban.
Jangan sampai hanya karena sebagian elit dan masyakarat masih menganggap remeh pengetahuan, kita sebagai akademisi kemudian juga ikut meremehkannya. Mereka meremehkan pengetahuan karena kebodohannya. Dan jika kita meremehkan pengetahuan karena mereka, berarti kita lebih bodoh daripada mereka.
Jangan sampai kepercayaan kita kepada keagungan pengetahuan diperkosa oleh permainan politik, sikap skeptis yang membuat kita terjerembab basah kedalam lubang pragmatisme. Atau sekedar memahami pengetahuan sebagai kum, sertifikasi, dana proyek penelitian, kenaikan pangkat dan gaji. Karena, jika kita sudah berfikir demikian, sama saja kita dengan mereka. Padahal, bukankah Tuhan sendiri berkata “Qul hal yastawil ladziina ya’lamuuna walladziina laa ya’lamun”. Katakanlah olehmu adakah sama antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu? (Al-Zumar, 39:09).
Ramli Cibro adalah Kepala Suku Group Diskusi KPS-Garis Miring dan Dosen Ilmu Agama Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Hamzah Fansuri (STIT-HAFAS) Kota Subulussalam Aceh.
Tulisan ini sudah di publikasikan pada harian serambi Indonesia 18 Agustus 2018
No comments:
Post a Comment