Thursday, 2 July 2015

FILSAFAT CELANA DALAM



Ramli Cibro
Suatu Pagi di sekitar tahun 2013 di sudut kota Jogja
Celana dalam adalah bahasa tabu, namun ia cukup pasaran jika dilihat di pasar. Ia bisa menjadi barang gelap atau barang terang sekalipun. Ada perasaan malu, atau was-was ada yang liat setiap aku membeli celana dalam.Tapi ia dibutuhkan, dijejer rapi dengan bebas di jalan-jalan, dan diiklankan sedemikian rupa, oleh gadis-gadis cantik dan pria-pria gagah. 
Ah... entahlah...
Tanpa kita sadari kita telah memberikan perhatian lebih kepada celana dalam. Perhatian terhadap celana dalam bahkan jauh lebih besar daripada orang-orang di dunia lain, maksud saya di Negara lain. Ini bukan berarti bahwa kita adalah bangsa yang jorok, dan bukan pula bangsa yang ngeres. Tapi perhatian ini menunjukkan pada sensitifitas kita pada persoalan yang paling diributkan, yaitu masalah etika.

Teruskan petualanganmu, Putri Kecil,...



Hai Putri Kecil. Apa Kabarmu?
Aku kenal orang sepertimu yang terlalu sibuk dengan hal-hal sepele dan melupakan hal-hal serius. Aku kenal orang sepertimu yang mengikut arus sekaligus mencoba untuk melawannya. Aku kenal orang sepertimu yang begitu idealis namun tanpa sengaja sering menabrak idealismenya sendiri.
Hampir semua salah di matamu tapi bukan karena kau suka menyalah-nyalahkan. Hanya saja kau terlalu sensitif dan terlalu peka untuk setiap apa yang kau lihat telah penyimpang. Kau terlalu baik, terlalu berempati, hingga terkadang kau terjebak dalam empatimu sendiri. Sering terjadi kau tidak mampu melepaskan diri atau mengakhiri hubungan yang terbentuk tanpa sengaja akibat kecerobohan (persisnya keluguan)mu.