Thursday, 2 July 2015

FILSAFAT CELANA DALAM



Ramli Cibro
Suatu Pagi di sekitar tahun 2013 di sudut kota Jogja
Celana dalam adalah bahasa tabu, namun ia cukup pasaran jika dilihat di pasar. Ia bisa menjadi barang gelap atau barang terang sekalipun. Ada perasaan malu, atau was-was ada yang liat setiap aku membeli celana dalam.Tapi ia dibutuhkan, dijejer rapi dengan bebas di jalan-jalan, dan diiklankan sedemikian rupa, oleh gadis-gadis cantik dan pria-pria gagah. 
Ah... entahlah...
Tanpa kita sadari kita telah memberikan perhatian lebih kepada celana dalam. Perhatian terhadap celana dalam bahkan jauh lebih besar daripada orang-orang di dunia lain, maksud saya di Negara lain. Ini bukan berarti bahwa kita adalah bangsa yang jorok, dan bukan pula bangsa yang ngeres. Tapi perhatian ini menunjukkan pada sensitifitas kita pada persoalan yang paling diributkan, yaitu masalah etika.

Kita selalu berkeyakinan bahwa celana dalam adalah salah satu indikator bagi tinggi rendahnya etika suatu bangsa.Semakin bebas peredaran celana dalam, semakin tidak bermoral bangsa tersebut (katanya).
Persoalan celana dalam tidak hanya terkait pada persoalan etika semata. Ia juga mencakup aspek identitas, sosial, budaya dan tentu saja, Mode. Celana dalam, misalnya dapat menjadi sebuah cerminan identitas sosial. Tidak percaya, anda bisa membuktikannya dengan mendatangi pusat-pusat perbelanjaan atau pasar tradisional. Disana dijual celana dalam berbagai merk,  dengan kualitas yang hampir sama namun dengan selisih harga yang cukup tajam.
Artinya apa? Walaupun tidak untuk diperlihatkan ke tetangga, orang akan tetap menjaga gengsi dan selera dengan membeli celana dalam yang mahal, yang bermerek; walaupun ada yang beralasan demi ‘kualitas barang,’ dan faktor kenyamanan.
Identitas Sosial misalnya, dapat diukur dari dimana seorang menjemur celana dalamnya.  Celana dalam merek terkenal akan dikibar dengan bangga di depan rumah. Ia menjadi identitas yang mewakili rumah dan pemiliknya. Ia dikibar angkuh dalam sebuah philosofi, ‘Jika kamu merasa kaya, kamu berhak memperlihatkannya!’.
Berbeda dengan celana dalam merek sedang yang dikibar di atas loteng. Celana dalam jenis ini, biasanya dimiliki oleh para penghuni ruko, atau rumah susun yang ga miskin-miskin amat. Ia terkadang digantung di jendela, di depan pintu, dipagar dan tidak akan dibiarkan tergantung dibelakang rumah. Karena, walaupun tidak mahal, tetap saja pemiliknya akan kerepotan kalau celana dalam tersebut sempat hilang. Celana dalam jenis ini, dimiliki oleh golongan menengah.
Adapun celana dalam murahan akan dikibarkan dibelakang rumah, di dekat kandang ayam, dengan sebuah konsekwensi yang rumit, ‘Jatuh ga apa-apa, hilang-pun tak masalah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa celana dalam juga menunjukan status gender, tingkatan usia bahkan profesi. Ketika melihat ke atas loteng atau ke halaman rumah di siang hari, anda akan melihat umbul-umbul berkibar semarak dan sesekali menebarkan aroma pewangi pakaian. Bentuk-nya kecil persegi tiga dan biasa disebut dengan celana dalam. Biasanya dijemur berjajar, dipasang jepitan agar tetap gagah berkibar dan tidak jatuh ke tanah.
Celana Dalam milik wanita, umumnya berwarna cerah, seperti pink, kuning dan cream. Sedangkan celana dalam milik pria biasanya berwarna gelap seperti, hitam, biru dan coklat tua. Kalau yang ada gambar 'Spongs Bob' atau gambar balon-balon berwarna-warni, biasanya untuk anak kecil atau untuk bayi. Ada juga  warna hijau yang biasanya dicuci dipagi hari untuk dipakai lagi dinas malam oleh  siluman Kolor Ijo. 
Kalau ada celana dalam belang atau loreng, mungkin itu milik serdadu!
 Celana Dalam juga memiliki makna preposisi. Celana dalam boleh dipakai secara tunggal di kolam renang, di pantai dan di dalam kamar. Namun ia tidak boleh dipakai secara tunggal di mall, di pasar, di sekolah dan ditempat peribadatan. Celana dalam juga diharuskan dipakai sebelum memakai celana luar kecuali untuk beberapa super hero. Disinilah indikasi professional celana dalam ditelisik. Demi tujuan profesionalitas, tak masalah kalau super hero menggunakan celana dalam, di luar.
Walau banyak yang menyanggah, pastinya tetap ada orang yang percaya bahwa celana dalam masih merupakan indikator tinggi rendahnya etika suatu bangsa. Moral suatu bangsa misalnya, di ukur dari seberapa banyak orang keluar rumah hanya dengan mengenakan celana dalam. Orang akan menilai moral seorang wanita misalnya dari seberapa mirip celana yang ia gunakan dengan celana dalam. Bagi beberapa orang, itu sudah lumrah dan mereka menyebutnya, “hot,” mereka menyebutkan, “sexy”. Namun bagi sebagian yang lain, mereka akan membelalakan mata dan berkata, “wow,”…. Atau “Kasihanilah kami.”
Walau seorang musisi pernah berkata bahwa akhlak dan moral (etika) adalah urusan masing-masing, etika bagi sebagian filsuf memiliki makna universal dan logis. Biasanya yang berkata seperti ini adalah filsuf yang sudah gaek, ujur namun tercerahkan oleh pandangan spiritual. Mereka adalah kawan-kawan Imanuel Kant. Mereka percaya manusia memiliki etika yang seragam dimanapun ia berada.
Oleh Ramli
Bandung, 26 Juni 2012

1 comment:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete