Ramli Cibro
Celana dalam adalah bahasa
tabu, namun ia cukup pasaran jika dilihat di pasar. Ia bisa menjadi barang
gelap atau barang terang sekalipun. Ada perasaan malu, atau was-was ada yang
liat setiap aku membeli celana dalam.Tapi ia dibutuhkan, dijejer rapi dengan bebas di jalan-jalan, dan diiklankan sedemikian rupa, oleh gadis-gadis cantik dan pria-pria gagah.
Ah... entahlah...
Suatu Pagi di sekitar tahun 2013 di sudut kota Jogja |
Ah... entahlah...
Tanpa kita sadari kita telah
memberikan perhatian lebih kepada celana dalam. Perhatian terhadap celana
dalam bahkan jauh lebih besar daripada orang-orang di dunia lain, maksud saya
di Negara lain. Ini bukan berarti bahwa kita adalah bangsa yang jorok, dan
bukan pula bangsa yang ngeres. Tapi perhatian ini menunjukkan pada sensitifitas
kita pada persoalan yang paling diributkan, yaitu masalah etika.
Kita selalu berkeyakinan
bahwa celana dalam adalah salah satu indikator bagi tinggi rendahnya etika
suatu bangsa.Semakin bebas peredaran celana dalam, semakin tidak bermoral bangsa tersebut (katanya).
Persoalan celana dalam tidak
hanya terkait pada persoalan etika semata. Ia juga mencakup aspek identitas,
sosial, budaya dan tentu saja, Mode. Celana dalam, misalnya dapat menjadi sebuah
cerminan identitas sosial. Tidak percaya, anda bisa membuktikannya dengan
mendatangi pusat-pusat perbelanjaan atau pasar tradisional. Disana dijual
celana dalam berbagai merk, dengan
kualitas yang hampir sama namun dengan selisih harga yang cukup tajam.
Artinya apa? Walaupun tidak
untuk diperlihatkan ke tetangga, orang akan tetap menjaga gengsi dan selera
dengan membeli celana dalam yang mahal, yang bermerek; walaupun ada yang
beralasan demi ‘kualitas barang,’ dan faktor kenyamanan.
Identitas Sosial misalnya,
dapat diukur dari dimana seorang menjemur celana dalamnya. Celana dalam merek terkenal akan dikibar
dengan bangga di depan rumah. Ia menjadi identitas yang mewakili rumah dan
pemiliknya. Ia dikibar angkuh dalam sebuah philosofi, ‘Jika kamu merasa kaya,
kamu berhak memperlihatkannya!’.
Berbeda dengan celana dalam
merek sedang yang dikibar di atas loteng. Celana dalam jenis ini, biasanya
dimiliki oleh para penghuni ruko, atau rumah susun yang ga miskin-miskin amat.
Ia terkadang digantung di jendela, di depan pintu, dipagar dan tidak akan
dibiarkan tergantung dibelakang rumah. Karena, walaupun tidak mahal, tetap saja
pemiliknya akan kerepotan kalau celana dalam tersebut sempat hilang. Celana
dalam jenis ini, dimiliki oleh golongan menengah.
Adapun celana dalam murahan
akan dikibarkan dibelakang rumah, di dekat kandang ayam, dengan sebuah
konsekwensi yang rumit, ‘Jatuh ga apa-apa, hilang-pun tak masalah.’
Tidak bisa dipungkiri bahwa
celana dalam juga menunjukan status gender, tingkatan usia bahkan profesi. Ketika melihat
ke atas loteng atau ke halaman rumah di siang hari, anda akan melihat
umbul-umbul berkibar semarak dan sesekali menebarkan aroma pewangi pakaian.
Bentuk-nya kecil persegi tiga dan biasa disebut dengan celana dalam. Biasanya
dijemur berjajar, dipasang jepitan agar tetap gagah berkibar dan tidak jatuh ke
tanah.
Celana Dalam milik wanita, umumnya
berwarna cerah, seperti pink, kuning dan cream. Sedangkan celana dalam milik
pria biasanya berwarna gelap seperti, hitam, biru dan coklat tua. Kalau yang
ada gambar 'Spongs Bob' atau gambar balon-balon berwarna-warni, biasanya untuk
anak kecil atau untuk bayi. Ada juga warna hijau yang biasanya dicuci dipagi hari untuk dipakai lagi dinas malam
oleh siluman Kolor Ijo.
Kalau ada celana dalam belang atau loreng, mungkin itu milik serdadu!
Kalau ada celana dalam belang atau loreng, mungkin itu milik serdadu!
Celana Dalam juga memiliki
makna preposisi. Celana dalam boleh dipakai secara tunggal di kolam renang, di
pantai dan di dalam kamar. Namun ia tidak boleh dipakai secara tunggal di mall,
di pasar, di sekolah dan ditempat peribadatan. Celana dalam juga diharuskan
dipakai sebelum memakai celana luar kecuali untuk beberapa super hero.
Disinilah indikasi professional celana dalam ditelisik. Demi tujuan
profesionalitas, tak masalah kalau super hero menggunakan celana dalam, di luar.
Walau banyak yang
menyanggah, pastinya tetap ada orang yang percaya bahwa celana dalam masih
merupakan indikator tinggi rendahnya etika suatu bangsa. Moral suatu bangsa
misalnya, di ukur dari seberapa banyak orang keluar rumah hanya dengan
mengenakan celana dalam. Orang akan menilai moral seorang wanita misalnya dari
seberapa mirip celana yang ia gunakan dengan celana dalam. Bagi beberapa orang,
itu sudah lumrah dan mereka menyebutnya, “hot,” mereka menyebutkan, “sexy”.
Namun bagi sebagian yang lain, mereka akan membelalakan mata dan berkata,
“wow,”…. Atau “Kasihanilah kami.”
Walau seorang musisi pernah
berkata bahwa akhlak dan moral (etika) adalah urusan masing-masing, etika bagi sebagian filsuf
memiliki makna universal dan logis. Biasanya yang berkata seperti ini adalah filsuf
yang sudah gaek, ujur namun tercerahkan oleh pandangan spiritual. Mereka adalah
kawan-kawan Imanuel Kant. Mereka percaya manusia memiliki etika yang seragam
dimanapun ia berada.
Oleh Ramli
Bandung, 26 Juni 2012
Bandung, 26 Juni 2012
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete