![]() |
Opini Harian Serambi Indonesia, 26 Oktober 2015 |
Ramli Cibro
Robert Frager seorang peneliti sekaligus pengamal tasawuf dari Institute of Transpersoal Psychology, California dalam bukunya Heart, Self and Soul, menuliskan kisah perjalanan pemuda yang ‘alim ke sebuah pulau. Di pulau tersebut ia berjumpa dengan ahli ibadah yang sudah tua sedang merafalkan zikir-zikir tertentu yang konon dapat membuat orang berjalan diatas air. Sarjana ini mendengar si kakek keliru membaca zikir sehingga pemuda itu mengajarinya. Si kakek bercerita bahwa zikir tersebut telah diamalkan selama puluhan tahun. Pemuda kemudian memberi tahu bahwa jika si kakek mampu mengamalkannya dengan baik, ia akan dapat berjalan di atas air.
Akhir kisah kemudian si pemuda kembali dari pulau dengan menggunakan perahu. Tiba-tiba dari arah pulau si kakek berlari di atas air sambil berusaha mengejarnya. Si kakek kemudian berkata, “Tunggu anak muda. Tolong ajari aku sekali lagi bagaimana bacaan zikir yang benar tadi?” Pemuda itu keheranan, bagaimana mungkin bacaan zikir yang belum tepat justru memberi pengaruh kekuatan mampu berjalan di atas air? Sementara si kakek sepertinya juga tidak menyadari bahwa ia sedang berdiri di atas air. (Lihat Robert Frager, 2002:63)
Hikmah dari cerita ini adalah terkadang ‘kekeramatan,’ bukan sekadar persoalan ‘ketepatan bacaan,’ namun juga keseriusan, kesungguhan dan ke-istiqamah-an. Walaupun bacaan zikir si kakek belum tepat, namun ia memperoleh kekeramatan dengan berjalan di atas air karena ke-istiqamahan-nya dalam beramal. Sebaliknya, pemuda tersebut walaupun dia memiliki kemampuan merafalkan bacaan zikir dengan tepat namun ia masih harus duduk di atas perahu karena tidak adanya ke-istiqamah-an dalam mengamalkan ilmu.
Dahulu, sekitar tahun 2010 sampai 2012 ketika masih kuliah S1 di UIN Bandung saya sempat tinggal di pesantren mahasiswa di kawasan yang cukup asri, Pesantren Al-Ihsan, Cibiru Hilir. Pesantren tersebut dipimpin oleh KH, Tantan Taqyuddin, seorang Aswaja Tulen namun banyak menyerap ide-ide perjuangan tokoh salaf seperti Sayyid Qutub, Hasan Al-Bana dan Yusuf Al-Qardhawi.
Hikmah dari cerita ini adalah terkadang ‘kekeramatan,’ bukan sekadar persoalan ‘ketepatan bacaan,’ namun juga keseriusan, kesungguhan dan ke-istiqamah-an. Walaupun bacaan zikir si kakek belum tepat, namun ia memperoleh kekeramatan dengan berjalan di atas air karena ke-istiqamahan-nya dalam beramal. Sebaliknya, pemuda tersebut walaupun dia memiliki kemampuan merafalkan bacaan zikir dengan tepat namun ia masih harus duduk di atas perahu karena tidak adanya ke-istiqamah-an dalam mengamalkan ilmu.
Dahulu, sekitar tahun 2010 sampai 2012 ketika masih kuliah S1 di UIN Bandung saya sempat tinggal di pesantren mahasiswa di kawasan yang cukup asri, Pesantren Al-Ihsan, Cibiru Hilir. Pesantren tersebut dipimpin oleh KH, Tantan Taqyuddin, seorang Aswaja Tulen namun banyak menyerap ide-ide perjuangan tokoh salaf seperti Sayyid Qutub, Hasan Al-Bana dan Yusuf Al-Qardhawi.
Menurutnya, ada kesalahan orang-orang dalam memahami ahlussunnah waljama’ah khususnya dalam lingkup keindonesiaan. Ada pergeseran makna dari kata ahlussunnah yang difahami dalam literatur-literatur Islam dengan term ahlussunnah yang beredar di Masyarakat. Jika dalam literatur-literatur klasik ahlussunnah adalah aliran teologi Abu Hasan Al-Asy'ari maka term yang beredar di Indonesia agak sedikit berbeda. Ahlussunnah (seperti yang sering difahami oleh kelompok-kelompok lain) adalah para pengkaji kitab kuning, yang tajam analisis nahu, shorof, mantiq, ma'ani dan bayan-nya namun kurang serius (untuk tidak dikatakan kurang taat) dalam ibadahnya. Selain itu ahlussunah sering juga dikenal lemah kemampuan tahsin maupun tahfidhul qur'an-nya.
Kenyataannya, sering kita temukan orang-orang yang mengklaim diri sebagai ahlussunnah justru jauh dari nilai dan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Tidak jarang sebagian dari mereka justru malah membenci jenggot dan gaya berpakaian ala Rasul. Sering juga kita temukan mereka yang shalat subuhnya telat, malas berjama'ah apalagi shalat rawatib. Mereka sibuk mencela orang-orang yang ber-tarawih delapan rakaat namun dia sendiri belum tentu melaksanakan shalat tarawih.
Anehnya, justru mereka yang diklaim sebagai orang-orang bukan ahlussunah (secara lahiriyah) terlihat lebih mempraktekkan prilaku-prilaku sunnah Nabi SAW maupun para sahabat. Mereka kemana-mana membawa Al-Qur’an, mulutnya komat-kamit melakukan tahfidh, di labi-labi, di teras-teras mesjid, di kampus dan dimana saja. Mereka juga giat shalat berjama’ah plus rawatib-nya. Rata-rata mereka memiliki target amalan apa yang dia lakukan di hari ini misalnya seperti tilawah setengah juz sehari, bersedekah, shalat dhuha, al-maksurat pagi dan sore dan memelihara wuhdu. Walaupun saking semangatnya ada yang sampai baca al-qur’an tanpa berwudhu.
Orang-orang yang diklaim sebagai non-ahlussunnah malah lebih semangat mengaji dan cenderung berhati-hati terhadap hal-hal yang subhat apalagi yang sampai menjurus kepada keharaman apalagi sampai berbau kemusrikan. Kehati-hatian itu tentu tidak sepenuhnya salah, bukankah hadits mengatakan untuk meninggalkan apa yang kita ragu dan melakukan apa yang tidak diragukan? Ketika mereka meragukan kesahihan beberapa tradisi maka wajar jika kemudian mereka enggan untuk mengamalkannya.
Konsep Ahlussunnah yang ‘Nyunnah’ menurut KH Tantan Taqyuddin adalah mereka yang tidak hanya mempertahankan tradisi-tradisi baik dalam lingkungan Aswaja, namun juga menyerap tradisi-tradisi baik dari luar. Orang-orang Aswaja harus memiliki kesolehan yang sama, kalau perlu kesolehan yang lebih dari yang lain. Orang-orang Aswaja tidak boleh menutup diri dari amalan-amalan soleh karena yang menjadi tinjauan kelak dihari qiamat adalah ketakwaan, bukan sekadar pengetahuan. Ilmu agama mestilah luas, analisis teks Arab juga mesti mumpuni namun semua itu akan terasa nihil jika tidak dibarengi dengan peningkatan amal soleh, tutur kata yang lembut serta menjauhi kesubhatan-kesubhatan.
Aswaja yang baik adalah Aswaja yang mampu menyerap sisi-sisi positif dari mana saja, menghargai perbedaan dan bersikap progresif. Aswaja yang baik adalah ia yang berani tampil sebagai Aswaja professional (Aswaja maksimal), bukan sekedar kedok apalagi ilusi. Seorang Aswaja yang baik adalah ia yang mempertahankan tradisi ‘Cinta Rasul,’ shalawatan dan tradisi-tradisi lainnya serta bersikap kritis dan mampu mengembangkannya menjadi lebih inovatif, lebih santun dan lebih dapat diterima semua kalangan.
Aswaja yang baik adalah Aswaja yang berilmu pengetahuan luas, berprilaku santun, takzim dan hormat pada guru, melek tekhnologi, faham dengan politik dan mudah beradaptasi. Seorang Aswaja yang baik adalah Aswaja yang tawadhu dan menyadari bahwa di atas langit masih ada langit sehingga ia mau belajar dan tidak menutup diri. Seorang Aswaja yang baik adalah Aswaja yang patuh namun kritis, mengikuti hal-hal yang baik dan meninggalkan perkara-perkara buruk, subhat atau yang sia-sia. Semoga.
Kenyataannya, sering kita temukan orang-orang yang mengklaim diri sebagai ahlussunnah justru jauh dari nilai dan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Tidak jarang sebagian dari mereka justru malah membenci jenggot dan gaya berpakaian ala Rasul. Sering juga kita temukan mereka yang shalat subuhnya telat, malas berjama'ah apalagi shalat rawatib. Mereka sibuk mencela orang-orang yang ber-tarawih delapan rakaat namun dia sendiri belum tentu melaksanakan shalat tarawih.
Anehnya, justru mereka yang diklaim sebagai orang-orang bukan ahlussunah (secara lahiriyah) terlihat lebih mempraktekkan prilaku-prilaku sunnah Nabi SAW maupun para sahabat. Mereka kemana-mana membawa Al-Qur’an, mulutnya komat-kamit melakukan tahfidh, di labi-labi, di teras-teras mesjid, di kampus dan dimana saja. Mereka juga giat shalat berjama’ah plus rawatib-nya. Rata-rata mereka memiliki target amalan apa yang dia lakukan di hari ini misalnya seperti tilawah setengah juz sehari, bersedekah, shalat dhuha, al-maksurat pagi dan sore dan memelihara wuhdu. Walaupun saking semangatnya ada yang sampai baca al-qur’an tanpa berwudhu.
Orang-orang yang diklaim sebagai non-ahlussunnah malah lebih semangat mengaji dan cenderung berhati-hati terhadap hal-hal yang subhat apalagi yang sampai menjurus kepada keharaman apalagi sampai berbau kemusrikan. Kehati-hatian itu tentu tidak sepenuhnya salah, bukankah hadits mengatakan untuk meninggalkan apa yang kita ragu dan melakukan apa yang tidak diragukan? Ketika mereka meragukan kesahihan beberapa tradisi maka wajar jika kemudian mereka enggan untuk mengamalkannya.
Konsep Ahlussunnah yang ‘Nyunnah’ menurut KH Tantan Taqyuddin adalah mereka yang tidak hanya mempertahankan tradisi-tradisi baik dalam lingkungan Aswaja, namun juga menyerap tradisi-tradisi baik dari luar. Orang-orang Aswaja harus memiliki kesolehan yang sama, kalau perlu kesolehan yang lebih dari yang lain. Orang-orang Aswaja tidak boleh menutup diri dari amalan-amalan soleh karena yang menjadi tinjauan kelak dihari qiamat adalah ketakwaan, bukan sekadar pengetahuan. Ilmu agama mestilah luas, analisis teks Arab juga mesti mumpuni namun semua itu akan terasa nihil jika tidak dibarengi dengan peningkatan amal soleh, tutur kata yang lembut serta menjauhi kesubhatan-kesubhatan.
Aswaja yang baik adalah Aswaja yang mampu menyerap sisi-sisi positif dari mana saja, menghargai perbedaan dan bersikap progresif. Aswaja yang baik adalah ia yang berani tampil sebagai Aswaja professional (Aswaja maksimal), bukan sekedar kedok apalagi ilusi. Seorang Aswaja yang baik adalah ia yang mempertahankan tradisi ‘Cinta Rasul,’ shalawatan dan tradisi-tradisi lainnya serta bersikap kritis dan mampu mengembangkannya menjadi lebih inovatif, lebih santun dan lebih dapat diterima semua kalangan.
Aswaja yang baik adalah Aswaja yang berilmu pengetahuan luas, berprilaku santun, takzim dan hormat pada guru, melek tekhnologi, faham dengan politik dan mudah beradaptasi. Seorang Aswaja yang baik adalah Aswaja yang tawadhu dan menyadari bahwa di atas langit masih ada langit sehingga ia mau belajar dan tidak menutup diri. Seorang Aswaja yang baik adalah Aswaja yang patuh namun kritis, mengikuti hal-hal yang baik dan meninggalkan perkara-perkara buruk, subhat atau yang sia-sia. Semoga.
No comments:
Post a Comment