Saturday, 4 February 2017

ISLAM DAN MISI UNIVERSAL

Ramli Cibro


Islam sebagai agama universal sejalan dengan prinsip Islam rahmatan lil alamin. Namun, penerjemahan rahmatan lil alamin menjadi berbeda dalam berbagai konteks ruang dan waktunya. Sebagian kita memaknai rahmatan lil alamin, sebagai misi agresi bahwa semua umat manusia harus diislamkan supaya ia dapat merasakan rahmatan lil alamin. Sebagian lagi menganggap rahmatan lil alamin akan terwujud sendiri jika kaum muslimin menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh. Artinya dengan penegakan syari’at Islam, otomatis persoalan lainnya akan selesai begitu saja. Namun sebagian lagi menyatakan bahwa rahmatan lil alamin adalah misi nilai, dimana nilai-nilai Islam harus menjadi sistem peradaban dan menjadi inspirasi bagi semua umat manusia. Bagi kelompok terakhir ini, islam rahmatan lil alamin diterjemahkan sebagai kemampuan Islam untuk menjawab dan mewarnai persoalan-persoalan global seperti Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Gender, Tekhnologi dan Rekayasa Genetika.

Persoalan umat Islam hari ini justru munculnya sikap eksklusif yang paradoks dengan arus globalisasi dan informasi yang menabrak sekat-sekat ketabuan. Seorang Arab di balik dinding-dinding rumahnya dapat saja dengan leluasa menyaksikan Film Korea dengan segala Aksesorisnya. Sekelompok Gadis Turki meliuk-liuk menirukan Tari Ranup Lampuan yang ia akses dari Youtube. Atau klakson Bus dari Indonesia bahkan menginspirasi beberapa DJ beken tingkat dunia untuk membuat inovasi re-mixnya.
Sejatinya, tabrakan-tabrakan global ini harus disikapi dengan jitu, elegan dan jantan. Islam tidak bisa menghindar apalagi berencana menutup diri. Islam harus mewarnai, bukan dengan kerisauan, bukan dengan kerusuhan apalagi dengan perang dan Bom. Kita harus mewarnai globalitas dengan ide-ide cemerlang yang kita terjemahkan dari nilai-nilai Islam. Jika kita memang masih percaya bahwa Islam sejatinya adalah agama solutif yang mampu memberi jawaban dalam segala tempat dan waktu. Islam harus berani menghargai, berani memberikan pendapat bernas dalam berbagai persoalan.
Persoalan HAM misalnya harus mampu diterjemahkan, bukan malah membenturkan kata HAM dengan ajaran Islam. Pradoksal yang terlihat antara HAM dan Nilai Islam dimulai sejak awal mula kemunculan HAM yang kemudian ditanggai secara reaktif oleh umat Islam. “Untuk apa HAM? Islam lebih HAM dari HAM itu sendiri.” Kira-kira begitulah reaksi umat Islam. Akibatnya, isu HAM dirangkul dan didefenisikan oleh orang lain dan nilai Islam yang berharga-pun tidak dapat masuk dan mewarnai defenisi HAM itu sendiri. Akhirnya, ketika terminologi HAM dirasa mulai mengganggu, namun disisi lain ia telah menjadi bagian dari paradigma berbangsa, muncul keinginan untuk menghapus HAM atau membuat HAM tandingan. Padahal seharusnya sejak awal pemikir-pemikir Islam terlibat aktif dalam membangun HAM bukan malah membiarkannya seolah Islam tidak memiliki tanggung jawab atas HAM itu sendiri.
Hal yang sama juga berlaku pada isu kesetaraan gender. Lagi-lagi sikap reaktif diajukan untuk menjadi jawabannya. “Islam sudah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak perlu konsep gender.” Dan lagi-lagi umat Islam menyerahkan makna “gender” kepada orang lain karena merasa tidak perlu. Demikian pula pesoalan AIDS, Teknologi, Nuklir atau LGBT. Umat seolah terpaku pada euphoria masa lalu dan enggan merespon isu-isu modern dengan menterjemahkan Islam dan memberi jawaban solutif. Umat Islam begitu menutup diri dan merasa cukup dengan segala kekurangannya. Akhirnya, Islam tidak pernah berkesempatan untuk menjawab AIDS lebih dari sekedar memakai kondom. Atau Islam tidak mampu memberi warna pada isu-isu seperti Tekhnologi, Nuklir dan LBGT. Padahal sebagai agama Universal, Islam semestinya terlibat lebih jauh dan memberikan jawaban-jawaban solutif yang lebih global, bukan sekedar jawaban untuk kepentingan umat Islam semata. Umat Islam harus benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh dunia.
Akhir-akhir ini umat Islam kembali diuji dengan re-defenisi atas makna Nasionalisme. Ketika sebagaian orang tergelitik ingin kembali menterjemahkan, “What the meaning of nasionalism?” Lagi-lagi umat Islam absen dalam pertarungan defenisi ini. Lagi-lagi umat Islam menutup diri dan menganggap bahwa nasionalisme atau NKRI bukan bagian dari Islam. Bahkan sebagian mengatakan bahwa Islam lebih penting dari NKRI, karena NKRI tidak dibawa ke akhirat. Atau ada wacana yang lebih konyol lagi, “NKRI tidak penting, yang penting adalah Khilafah.”
Atau ketika ada umat yang disatu sisi menyerukan slogan “Bela Tanah Air” atau “Bela NKRI” namun disisi lain justru memicu kerapuhan, menafikan perbedaan dan memaksakan kehendak dalam mengontrol hukum dan pemerintah. Tindakan-tindakan konyol seperti ini justru melemahkan Islam itu sendiri, meminggirkan Islam dari pertarungan dan mempersempit makna Islam. Untungnya intelektual muslim seperti KH Said Agil Siraj dan rekan-rekannya menyadari hal ini. Beliau akhirnya melibatkan diri dalam wacana-wacana kebangsaan, menterjemahkan Islam dalam kaitannya dengan NKRI dan mampu memberi warna bagi makna kebangsaan yang beliau ambil dari penggalian terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Beliau menjelaskan bahwa perjuangan kebangsaan adalah bagian dari substansial dari perjuangan Islam itu sendiri.
Ini adalah terjemahan yang serius. Memang, perjuangan defenisi nasionalisme Said Agil Siraj tidak terlalu terlihat pada generasi hari ini. Namun ia akan terasa lima tahun atau sepuluh tahun mendatang. Ketika makna NKRI mengandung nilai-nilai universalitas Islam sehingga ketika orang mendengar kata NKRI yang terbayang adalah kasih sayang Islam yang mewarnai pluralitas kebangsaan. Kebesaran hati umat Islam dalam melayani dan mencintai sesama. Cinta Islam pada keutuhan dan keberlangsungan persaudaraan sebangsa dan setanah air.
Akhirnya, umat Islam harus membongkar sekat-sekat premodialnya dan memberi warna cerdas bagi tantangan dan isu-isu global. Karena misi Islam sesungguhnya adalah rahmatan lil alamin. Ruh kasih sayang Islam harus menyebar ke segala lini dan potensi. Ruh Islam harus terlibat dalam wacana gender. Ruh Islam harus mewarnai upaya perlindungan kaum minoritas. Ruh Islam harus mewarnai solusi AIDS, Perang Nuklir dan LBGT. Ruh Islam harus menyinari keharmonisan, kasih sayang dan persaudaraan umat manusia seluruh dunia. 
Ramli Cibro, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

No comments:

Post a Comment