Islam sebagai agama universal sejalan dengan prinsip Islam
rahmatan lil alamin. Namun, penerjemahan rahmatan lil alamin menjadi
berbeda dalam berbagai konteks ruang dan waktunya. Sebagian kita memaknai
rahmatan lil alamin, sebagai misi agresi bahwa semua umat manusia harus
diislamkan supaya ia dapat merasakan rahmatan lil alamin. Sebagian lagi
menganggap rahmatan lil alamin akan terwujud sendiri jika kaum muslimin
menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh. Artinya dengan penegakan syari’at
Islam, otomatis persoalan lainnya akan selesai begitu saja. Namun sebagian lagi
menyatakan bahwa rahmatan lil alamin adalah misi nilai, dimana
nilai-nilai Islam harus menjadi sistem peradaban dan menjadi inspirasi bagi
semua umat manusia. Bagi kelompok terakhir ini, islam rahmatan lil alamin
diterjemahkan sebagai kemampuan Islam untuk menjawab dan mewarnai persoalan-persoalan
global seperti Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Gender, Tekhnologi dan Rekayasa
Genetika.
Persoalan umat Islam hari ini justru munculnya sikap eksklusif yang
paradoks dengan arus globalisasi dan informasi yang menabrak sekat-sekat
ketabuan. Seorang Arab di balik dinding-dinding rumahnya dapat saja dengan
leluasa menyaksikan Film Korea dengan segala Aksesorisnya. Sekelompok Gadis
Turki meliuk-liuk menirukan Tari Ranup Lampuan yang ia akses dari Youtube. Atau
klakson Bus dari Indonesia bahkan menginspirasi beberapa DJ beken tingkat dunia
untuk membuat inovasi re-mixnya.
Sejatinya, tabrakan-tabrakan global ini harus disikapi dengan jitu,
elegan dan jantan. Islam tidak bisa menghindar apalagi berencana menutup diri. Islam
harus mewarnai, bukan dengan kerisauan, bukan dengan kerusuhan apalagi dengan
perang dan Bom. Kita harus mewarnai globalitas dengan ide-ide cemerlang yang
kita terjemahkan dari nilai-nilai Islam. Jika kita memang masih percaya bahwa
Islam sejatinya adalah agama solutif yang mampu memberi jawaban dalam segala
tempat dan waktu. Islam harus berani menghargai, berani memberikan pendapat
bernas dalam berbagai persoalan.
Persoalan HAM misalnya harus mampu diterjemahkan, bukan malah
membenturkan kata HAM dengan ajaran Islam. Pradoksal yang terlihat antara HAM
dan Nilai Islam dimulai sejak awal mula kemunculan HAM yang kemudian ditanggai
secara reaktif oleh umat Islam. “Untuk apa HAM? Islam lebih HAM dari HAM itu
sendiri.” Kira-kira begitulah reaksi umat Islam. Akibatnya, isu HAM dirangkul
dan didefenisikan oleh orang lain dan nilai Islam yang berharga-pun tidak dapat
masuk dan mewarnai defenisi HAM itu sendiri. Akhirnya, ketika terminologi HAM
dirasa mulai mengganggu, namun disisi lain ia telah menjadi bagian dari
paradigma berbangsa, muncul keinginan untuk menghapus HAM atau membuat HAM
tandingan. Padahal seharusnya sejak awal pemikir-pemikir Islam terlibat aktif
dalam membangun HAM bukan malah membiarkannya seolah Islam tidak memiliki
tanggung jawab atas HAM itu sendiri.
Hal yang sama juga berlaku pada isu kesetaraan gender. Lagi-lagi
sikap reaktif diajukan untuk menjadi jawabannya. “Islam sudah mengatur hubungan
antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak perlu konsep gender.” Dan lagi-lagi
umat Islam menyerahkan makna “gender” kepada orang lain karena merasa tidak
perlu. Demikian pula pesoalan AIDS, Teknologi, Nuklir atau LGBT. Umat seolah
terpaku pada euphoria masa lalu dan enggan merespon isu-isu modern dengan
menterjemahkan Islam dan memberi jawaban solutif. Umat Islam begitu menutup
diri dan merasa cukup dengan segala kekurangannya. Akhirnya, Islam tidak pernah
berkesempatan untuk menjawab AIDS lebih dari sekedar memakai kondom. Atau Islam
tidak mampu memberi warna pada isu-isu seperti Tekhnologi, Nuklir dan LBGT.
Padahal sebagai agama Universal, Islam semestinya terlibat lebih jauh dan
memberikan jawaban-jawaban solutif yang lebih global, bukan sekedar jawaban
untuk kepentingan umat Islam semata. Umat Islam harus benar-benar menjadi
rahmat bagi seluruh dunia.
Akhir-akhir ini umat Islam kembali diuji dengan re-defenisi atas
makna Nasionalisme. Ketika sebagaian orang tergelitik ingin kembali
menterjemahkan, “What the meaning of nasionalism?” Lagi-lagi umat Islam
absen dalam pertarungan defenisi ini. Lagi-lagi umat Islam menutup diri dan
menganggap bahwa nasionalisme atau NKRI bukan bagian dari Islam. Bahkan
sebagian mengatakan bahwa Islam lebih penting dari NKRI, karena NKRI tidak
dibawa ke akhirat. Atau ada wacana yang lebih konyol lagi, “NKRI tidak penting,
yang penting adalah Khilafah.”
Atau ketika ada umat yang disatu sisi menyerukan slogan “Bela Tanah
Air” atau “Bela NKRI” namun disisi lain justru memicu kerapuhan, menafikan
perbedaan dan memaksakan kehendak dalam mengontrol hukum dan pemerintah. Tindakan-tindakan
konyol seperti ini justru melemahkan Islam itu sendiri, meminggirkan Islam dari
pertarungan dan mempersempit makna Islam. Untungnya intelektual muslim seperti KH
Said Agil Siraj dan rekan-rekannya menyadari hal ini. Beliau akhirnya
melibatkan diri dalam wacana-wacana kebangsaan, menterjemahkan Islam dalam
kaitannya dengan NKRI dan mampu memberi warna bagi makna kebangsaan yang beliau
ambil dari penggalian terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Beliau menjelaskan
bahwa perjuangan kebangsaan adalah bagian dari substansial dari perjuangan
Islam itu sendiri.
Ini adalah terjemahan yang serius. Memang, perjuangan defenisi
nasionalisme Said Agil Siraj tidak terlalu terlihat pada generasi hari ini.
Namun ia akan terasa lima tahun atau sepuluh tahun mendatang. Ketika makna NKRI
mengandung nilai-nilai universalitas Islam sehingga ketika orang mendengar kata
NKRI yang terbayang adalah kasih sayang Islam yang mewarnai pluralitas
kebangsaan. Kebesaran hati umat Islam dalam melayani dan mencintai sesama.
Cinta Islam pada keutuhan dan keberlangsungan persaudaraan sebangsa dan setanah
air.
Akhirnya, umat Islam harus membongkar sekat-sekat premodialnya dan
memberi warna cerdas bagi tantangan dan isu-isu global. Karena misi Islam
sesungguhnya adalah rahmatan lil alamin. Ruh kasih sayang Islam harus
menyebar ke segala lini dan potensi. Ruh Islam harus terlibat dalam wacana gender.
Ruh Islam harus mewarnai upaya perlindungan kaum minoritas. Ruh Islam harus
mewarnai solusi AIDS, Perang Nuklir dan LBGT. Ruh Islam harus menyinari
keharmonisan, kasih sayang dan persaudaraan umat manusia seluruh dunia.
Ramli Cibro, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
No comments:
Post a Comment