![]() |
| Opini Serambi Indonesia, 17 Februari 2017 |
Ramli Cibro
Suatu ketika Seorang pencuri masuk ke sebuah kebun dan mencuri buah-buahan yang ada dalam kebun tersebut. Sang pemilik tiba-tiba ada disana dan menangkap basah sang pencuri. Ia berkata kepada pencuri, “Apakah kamu tidak takut kepada Allah?” Pencuri tersebut menjawab, “Mengapa harus takut? Pohon ini milik Allah, dan buah-buahan ini juga milik Allah. Dan aku adalah hamba Allah. Hamba Allah tidak lain adalah memakan milik Allah.” Kemudian pemilik kebun memerintahkan para pelayannya untuk mengikat pemuda di pohon dengan sebuah tambang. Pencuri kemudian ketakutan dan berteriak, “Mengapa engkau mengikatku? Apakah kamu tidak takut kepada Allah?” Dengan tersenyum, pemilik kebun menjawab, “Mengapa aku harus takut? Ini tongkat Tuhan, tambang inipun milik Tuhan dan kamu adalah hamba Tuhan. Sekarang aku akan memukul hamba Tuhan dengan tongkat Tuhan.” (Javad dalam Nasr xviii:1993)
Kisah tersebut menggambarkan seorang pemuda yang menyalahgunakan faham wahdatul wujud untuk kepentingan pribadi dan laku maksiat. Kisah tersebut mengingatkan kita kepada kebiasaan segelintir manusia untuk menyalahgunakan pemahaman agama untuk melanggengkan kekuasaan dan hasrat pribadi. Berkedok di belakang agama namun justru melanggar nilai-nilai dan esensi agama itu sendiri.
Fenomena yang terjadi hari ini khususnya musim-musim Pilkada berlangsung, begitu banyak kandidat yang mengaku mencalonkan diri demi agama dan karena restu pemuka agama. Begitu banyak pula dalil agama yang diumbar demi memenangkan satu atau beberapa calon tertentu. Sebagian dari kandidat-kandidat itu bahkan dengan elektabilitas yang sangat rendah dan peluang untuk menang juga kecil, namun memaksakan diri untuk menjadi calon. Alasannya, cukup krusial, Putoh i’tikeud sudah dipasang maka kehendak Allah lah yang dikembang. Yah. Demi hasrat politis, Putoh i’tikeud dan keyakinan-pun disalah-artikan.
Hal ini tidak sepenuhnya salah jika kandidat tersebut memang memiliki niat dan i’tikad baik demi kebaikan umat dan kemaslahatan agama. Namun akan menjadi buruk sekali jika agama kemudian hanya sekedar disalah-gunakan dan disalah-niatkan sebagai instrument untuk memperoleh kekuasaan. Karena setelah kekuasaan diperoleh, agama kemudian dibuang sejauh-jauhnya.
Wahdatul Wujud
Ulama tasawuf membagi wahdatul wujud kepada dua yaitu: wahdatul wujud yang diperoleh dengan jalan sufi atau jalan tasawuf, dan wahdatul wujud yang diperoleh dengan jalan belajar atau jalan logika). Wahdatul wujud yang diperoleh dengan jalan tasawuf akan menjauhkan pemiliknya dari wilayah ego dan kepribadian temporal berkat cinta ilahi, dan merenungkan Tuhan melalui penglihatan Tuhan. Namun wahdatul wujud yang diperoleh melalui jalan akal (teoritis) justru memperbesar ego dan menimbulkan masalah secara sosial. Orang-orang seperti ini biasanya cenderung tersesat. Mereka menggunakan fahamnya mengenai wahdatul wujud sebagai alasan untuk memperturutkan hawa nafsu dan syahwat semata (Javad dalam Nasr xvii-xviii: 1993).
Syekh Nuruddin Ar-Raniry menjelaskan bahwa wahdatul wujud yang salah adalah mereka yang meng- i’tiqâd-kan kalimat Lailâha illalâh dengan “Tidak ada wujúdku yang ada hanya wujúd Allah” dan “Kami dan Allah adalah sebangsa dan sewujúd. Sehingga segala tindak tanduk mereka ditandaskan kepada kehendak Allah, bahkan laku maksiat sekalipun juga ditandaskan kepada Allah. (Al Raniry dalam Al Attas, 85-86: 1966). Hal ini tentu jauh dari petunjuk dan tuntunan agama. Karena walaupun secara hakikat semua adalah ketentuan qudrah dan iradah Allah, manusia tidak berhak menyatakan tindakan dan laku jahat-nya sebagai bagian dari kehendak Tuhan. Manusia tidak boleh menjual pemahaman ketauhidan hanya untuk bertindak semena-mena, berbuat kemaksiatan, menindas orang lain, berprilaku korupsi atau meninggalkan kewajiban-kewajiban.
Seringkali terjadi, demi sebuah legitimasi kekuasaan yang diperoleh dengan jalan salah, seorang bahkan rela menjual ketauhidan dan mengobralnya pada masyarakat luas supaya mereka mau berpasrah dengannya.
Mereka percaya bahwa Allah lah yang berkehendak, namun kepercayaan tersebut mereka tandaskan untuk melebarkan kehendak pribadi. Mereka percaya bahwa apapun yang terjadi adalah karena kekuasaan Allah. Namun kekuasaan Allah dijadikan alasan untuk memperbesar kekuasaan Pribadi. Mereka percaya bahwa Allah-lah yang mengatur segalanya. Namun kemudian kepercayaan itu mengantarkan mereka kepada pengaturan yang semena-mena. Hal ini persis seperti riwayat ketika seorang khalifah yang memperoleh kekuasaannya dengan cara yang lalim dikritik oleh Ulama. Khalifah tersebut berkilah dan berkata, “Jika bukan karena kehendak dan izin Allah, sungguh saya tidak akan pernah menjadi khalifah.” (Siraj, 2006:80-81).
Jadi disini jelas bahwa persoalan kebobrokan moral-politik di kalangan bapak-bapak dan pemuda-pemuda kita bukan karena mereka tidak memiliki ketauhidan yang kuat. Sebagian mereka bahkan merupakan haji, tengku dayah atau Ustadz LC. Dan sebagian lagi bahkan merupakan sarjana master, doktor bahkan profesor. Namun karena ketauhidan tidak dibarengi dengan tasawuf, tidak dibarengi dengan pencahayaan hati, maka ketauhidan tersebut menjadi sia-sia bahkan disalahgunakan. Dengan ketauhidannya mereka menjadi semena-mena (menguasai). Dengan ketauhidannya mereka menjadi serakah. Dan dengan ketauhidannya mereka menjadi arogan.
Inilah yang dimaksud dengan wahdatul wujud yang salah. Inilah yang mungkin diperangi oleh Syekh Nur Al Din Al-Raniry di jaman dahulu ketika ia melihat manusia, disatu sisi mengatasnamakan Tuhan namun disisi lain berpaling darinya. Karena faktanya, bukan wahdatul wujud itu yang dimusuhi oleh Al-Raniry akan tetapi wahdatut wujud yang sudah menyimpanglah yang diperangi. Ar-Raniry menyembut kelompok menyimpang sebagai wujudiyah mulhidah atau penganut wahdatul wujud yang sesat.
Jika, wujudiyah muwahhidah (wahdatul wujud yang bertauhid) adalah mereka yang bertanggungjawab secara personal dan tidak menjadikan i’tikad-nya sebagai bamper untuk dia bertindak semena-mena. Sebaliknya, wujudiyah mulhidah (wahdatul wujud yang sesat) adalah mereka yang menjadikan i’tikad-nya, ketauhidannya dan keluasan ilmu agamanya untuk menipu sesama, untuk membangkang Tuhannya, dan untuk merusak bangsanya. Mereka yang menganut ajaran wahdatul wujud secara salah (wujudiyah mulhidah) adalah mereka yang mempermainkan i’tikadnya sendiri dan juga i’tikad orang-orang yang ditipunya. Semoga kita dan pemimpin yang terpilih nanti bukan termasuk orang-orang yang menyalahgunakan agama, i’tikad dan ketauhidannya hanya untuk memperturutkan syahwat dan nafsu akan kekuasaan. Amien.

No comments:
Post a Comment