Pada tahun 2016, gaung Islam Nusantara
bergema dan di populerkan. Gaung ini setidaknya memiliki pertalian dengan Islam
Post-Modernisme yang digagas oleh Generasi Nurcholis Majid, Pribumisasi Islam
Abdurrahman Wahid hingga Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla dan
kawan-kawan. Gaung ini juga memiliki hubungan dengan pembacaan Al-Qur’an lagam
Jawa (tanggal) di Istana Negara yang membuat presiden Jokowi mengkampanyekan
terminologi Islam Nusantara.
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad melakukan kritik menuliskan
bahwa Islam Nusantara bergeser ke arah yang tidak semestinya. Kamaruzzaman
menuliskan bahwa setidaknya ada tiga arah pergerakan yang mengindikasikan
kerancuan makna Islam Nusantara itu sendiri. Pertama, menguatkan pengaruh NU
bagi upaya defenisi terhadap Islam Nusantara sehingga menapikan pola Islam yang
lain. Kedua, isu Islam dan Kebangsaan (isu nasionalisme) yang menggeser makna
Islam Nusantara dari proses kontak Islam dan Lokalitas menuju kepada makna
Islam dan kebangsaan. Akibatnya, Islam Nusantara justru hegemoni Negara diatas
agama, bukan memposisikan agama sebagai kritik bagi Negara. Yang ketiga,
menguatnya faham reduksi berkenaan dengan Islam Nusantara sebagai agama Islam
yang telah bercampur dengan agama kejawen, yaitu suatu agama yang menurut
Kamaruzzaman memiliki campuran antara Ajaran Hindu, Budha, Kebatinan, Kristen
dan juga Islam.
Oleh karena itu perlu ada acuan khusus yang
ditawarkan sebagai bentuk keislaman Nusantara yang lebih objektif, berkonsep
dan dinamis. Artinya, yang ditawarkan dari Islam Nusantara bukanlah identitas
kenusantaraan yang sayangnya digiring kepada isu NU-isasi, Kebangsaan (Nasionalisme)
dan Agama Jawa (Islam-Kejawen) Namun kepada satu kerangka meta-konsep yang
dinamis dan dapat dipraktekkan disetiap wilayah tanpa harus merusak identitas
dan kearifan wilayah yang bersangkutan dan tanpa harus memaksakan satu karakter
tertentu (seperti karakter Jawa) kepada wilayah tersebut....
Bersambung...
Bersambung...
![]() |
Ikro... Bacalah..,, |
No comments:
Post a Comment