Sunday, 26 March 2017

Jama' dan Faraq



Sang sufi sedang mengamalkan konsep Jama' dan Farq dalam kehidupan politiknya
Oleh Ramli Cibro
Dalam buku Tasawuf Risalah Al-Qushairiyah, ada istilah tekhnis dalam tasawuf yang menggambarkan dua kondisi spiritual yang harus dijaga oleh seorang hamba. Kedua kondisi tersebut adalah Jama' (Penyatuan) dan Fara' (Pemisahan). Kedua nama ini merupakan istilah tekhnis dalam tasawuf yang menjelaskan tentang bagaimana seorang hamba beriman sekaligus beramal shaleh. Artinya, dua kondisi ini menjadi syarat bagi terciptanya kesempurnaan pengabdian dan kesadaran. Dengan jama' seorang hamba harus senantiasa merasakan penyatuan spiritual dan dengan fara' seorang hamba akan merasakan kefaan diri dalam keterpisahan.  Dengan kedua terminologi ini, seseorang harus menyembah kepada Allah sekaligus memohon kepadanya, menjadi hamba sekaligus menjadi kekasih Allah. 
Imam Al-Qushairi al-Naisaburi dalam kitab tersebut menjelaskan bahwa jama’ dan faraq adalah dua kutub sinergi yang saling melengkapi. Ketika seorang Hamba berusaha menyembah Tuhan dengan sebaik-baiknya dan dengan kesungguhan hati maka ketika itu si hamba berada dalam keadaan faraq. Dan ketika seorang hamba dianugerahi keihsanan, kekhusyu’an, kedamaian hati dan cinta rabbani, maka ketika itu si hamba berposisi sebagai jama’. 
Jika kita menghubungkan keduanya dengan prinsip-prinsip ke-transendensi-an (keterpisahan) dan ke-imanensi-an (kebersatuan) Tuhan, maka sejatinya jama' berada pada posisi imanen dan fara' berada dalam posisi transenden. Seorang hamba mesti memoderasi faham dan imannnya tentang Tuhan antara meng-imanen-kan Tuhan dan men-transendesi-kannya. Dengan jama' seorang hamba memastikan ke-fana-an diri dalam ke-baqa-an-nya dan dengan fara' hamba tersebut mensucikan kebaqa'annya dari kefana-an diri.
Jama’ dan Faraq juga merupakan kondisi hati yang harus dijaga oleh seorang Hamba. Kondisi Jama’ adalah kondisi dimana hamba menyadari hakikat kediriannya dan hakikat kedirian Tuhannya. Sedangkan kondisi Faraq adalah kondisi dimana hamba menyembah kepada Tuhannya.
Seorang hamba yang tidak berposisi Jama’ akan cenderung abai dari memandang hakikat Tuhan. Ia akan memandang bahwa keridhaan Allah, balasan surga dan pahala adalah semata-mata karena perbuatan dan amal ibadah dirinya, bukan karena anugerah Allah. Sedangkan hamba yang tidak berposisi Faraq, akan akan lalai dari ibadah dan mengabaikan persoalan-persoalan syari’at karena terlalu hanyut dalam perenungan tentang makna hakikat secara berlebihan.
 
Jika kita hanya memahami Tuhan sebagai wujud keterpisahan (faraq) maka yang ditemukan adalah ketergesa-gesaan dan ketidaksabaran ketika berhadapan dengan perbedaan dan penyimpangan. Namun jika kita membarengi sikap terpisah tadi dengan wujud penyatuan (jama’) dalam bentuk kesadaran hakikat, bahwa segalanya merupakan kehendak, kekuasaan dan implementasi dari kekayaan Tuhan, maka kita akan sedikit bersabar dan bersifat toleransi. Kita akan menyadari bahwa tidak ada yang memiliki kuasa selain Allah, tidak ada hikmah dan kebijaksanaan terbesar selain hikmah dan kebijaksanaan Allah, dan tidak ada yang akan memperoleh hidayah walaupun kita bertukus-lumus mendakwahinya selain daripada izin Allah SWT. Hal ini sesuai dengan perintah Allah bahwa Muhammad sejatinya tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang ia cintai kecuali hanya Allahlah yang memberi hidayah itu. Jika kita bersikap seperti ini, maka tidak akan ada lagi pemaksaan yang melebihi batas kewajaran. Tidak akan ada lagi “fatwa-fatwa” yang bersegera menghukumi munafik orang lain yang tidak se faham-politik dengan kita. Tidak akan ada lagi kekerasan atas nama agama. 
Karena kita sepenuhnya sadar bahwa selain upaya kita dalam mendakwahi manusia (aspek fara') juga ada kehendak dan ketentuan Allah (aspek jama') yang mengendalikan segala gerak dan hasil yang kita terima....

Bersambung... 

No comments:

Post a Comment