Monday, 27 March 2017

MENJENGUK ACEHNOLOGI


Opini Harian Serambi Indonesia, 27 Maret 2017
Ramli Cibro
Akhir-akhir ini, Hiruk pikuk politik mendominasi perhatian kita. Seolah-olah satu-satunya perkara di Aceh hanyalah perkara politik. Padahal, di tengah itu semua, masih ada elemen-elemen lain yang luput dari perhatian. Ada banyak persoalan lain yang juga tidak kalah pentingnya dari euphoria politik. Dan salah satu dari persoalan penting tersebut adalah persoalan keilmuan, persoalan intelektual.
Di saat aktivitas politik seolah menguasa media dan isu, Di Sudut bangunan UIN sana, terdapat aktivitas lain yang berusaha mempertegas posisi intelektual Aceh dimata dunia. Terdapat orang yang sedang berusaha memperkenalkan Aceh dengan cara Aceh (meu-Aceh).  Berusaha memberi tahu orang Aceh tentang identitas, tentang sejarah, tentang kebudayaan dan tentang masa depannya.
Di sudut UIN sana, terdapat benih intelektualitas keacehan yang melihat Aceh dari Kosmologi Aceh yaitu dari cara orang Aceh melihat Tuhannya, cara orang Aceh melihat Alamnya, cara orang Aceh melihat sejarahnya dan cara orang Aceh melihat sesamanya. Aktivitas demikian, narasi yang demikian, pekerjaan yang demikian, dinamai oleh penulisnya (Kamaruzzaman Bustamam - Ahmad) sebagai Acehnologi, yang artinya ilmu tentang bagaimana orang Aceh melihat Aceh dengan cara meu-Aceh.
Ramli Cibro sedang merenung...

Ada anekdot yang mengatakan bahwa orang Aceh itu memandang dirinya seperti adik kandung Yahudi namun kecintaannya terhadap pengetahuan seperti Anak tiri Yahudi. Anekdot ini, walaupun membuat panas telinga, namun sedikit banyak ada benarnya. Kebanggaan orang Aceh akan identitas dan endatu memang tidak ada duanya, namun kecintaan mereka pada pengetahuan masih memprihatinkan. Betapa banyak orang Aceh hari ini sangat lemah daya intelektualnya dan sangat kurang motivasinya dalam belajar dan menuntut ilmu. Maka Acehnologi hadir sebagai sebuah upaya untuk mencoba menggugah narasi intelektual masyarakat Aceh.
Memprihatinkan….
Sejarah telah membuktikan betapa orang Aceh di masa dahulu terkenal dengan gairah keilmuan yang tidak tanggung-tanggung. Kita mengenal sosok Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurra’uf Al-Singkili. Pasca bergabung dengan RI kita juga mengenal Ali Hasjimi, Abu Bakar Atjeh dan Hasbi Ash-Shiddiqie. Narasi perkembangan Sejarah Islam di Indonesia selalu dimulai dari Aceh, berikut ulama-ulamanya yang berpengaruh. Hamzah Fansuri misalnya sangat berpengaruh di wilayah Banten dan Buton, berikut memberi inspirasi bagi perkembangan mistik Islam di Pulau Jawa.
Acehnologi hadir untuk mempertegas ‘keagungan masa lalu’, yang bukan cuma sekedar haba-romantis yang tidak memiliki landasan filosofis atau argumentasi sejarah.  Tapi lebih dari itu, Acehnologi telah menampilkan narasi-narasi intelektual yang tidak terbantahkan mengenai bagaimana kiprah negeri Aceh di masa dahulu dan bagaimana orang Aceh hari ini mengembalikan ‘wibawa intelektual’nya yang tergerus dan kalah pamor oleh ilmu-ilmu Jawa dan ilmu-ilmu Amerika (Barat).
Acehnologi dimulai dengan menapaki jejak-jejak spirit (ruh) keacehan melalui berbagai fondasi, yaitu: Pertama, hubungan manusia Aceh dengan Tuhannya, bagaimana orientasi keacehan selalu berkaitan dengan orientasi ketuhanan. Bahwa menjadi pribadi Aceh adalah menjadi pribadi yang bertuhan. Maka tidak ada cerita orang Aceh menjadi atheis atau menjadi orang yang mengabaikan Tuhan (Han geu meukafee ureung Aceh nyan..,Ralfy). Kedua, menggali falsafah Insan Kamil untuk mencapai manifestasi Manusia Aceh sebagai  khalifah (alam saghir) di bumi Aceh. Ketiga, Epistimologi ‘Irfani yaitu suatu kajian yang menyoal bagaimana orang Aceh di jaman dahulu memperoleh ilmu dan hikmah dalam bentuk hadih majah dan nasehat-nasehat sufistik. Kajian-kajian ini kemudian akan menjadi landasan etis dan meta-fisika, bagaimana orang Aceh membangun identitas dan kebanggaanya? Bagaimana orang Aceh melihat dirinya? Bagaimana orang Aceh membangun dunianya? Dan Keempat, Narasi Hamzah Ke Hegel yang membawa pesan sederhana, bahwa bagaimanapun, perkawinan keilmuan antara Timur dan Barat adalah sebuah keniscayaan. Dan bahwa Hikmah dan Iman adalah dua hal yang tak boleh didikotomikan. Seperti kata Iqbal, “Filsuf Barat memperkuat sendi hikmahku, dan Sufi Timur menerangi rumah jiwaku” Maka hari ini, filsafat Timur dan Barat akan kembali hadir untuk memperkuat sendi-sendi keacehan.
Melanglang Buana
Acehnologi ditulis oleh putra asli Aceh, yang telah mengalami berbagai peristiwa-peristiwa dramatis yang menegangkan dimasa lalu. Ia juga telah melanglang buana keberbagai belahan dunia, mencari dan men-cerap ilmu dan hikmah dari Timur dan Barat hingga kemudian kembali ke Aceh, kembali kepada diri. Perjalanan ini mengingatkan kita pada penggalan sya’ir, “Hamzah Fansuri di negeri Makkah; Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah; Dari Barus ke Qudus terlalu payah; Akhirnya dapat di dalam rumah. Sebuah narasi pengembaraan yang kemudian memperkuat identitas diri. Bukan seperti pengembaraan yang dipraktekkan oleh beberapa oknum Aceh, yang rajin mengembara ke luar namun kemudian menjadi ‘lupa diri.’
Narasi “Mengembara, kemudian kembali kepada diri” adalah tradisi bagaimana orang-orang Aceh dimasa lalu melanglang buana untuk menuntut ilmu lalu kemudian kembali membangun kampung halaman dan memperkuat identitas kedirian bukan malah memaksa “Aceh” untuk menjadi “orang lain.” Yang kita lihat hari ini adalah Alumni Jawa memaksa Aceh menjadi “Jawa,” Alumni Timteng memaksa Aceh menjadi “Arab” dan Alumni Barat memaksa Aceh menjadi “Eropa” atau “Amerika.”
Akhirnya, Acehnologi, walaupun sering dibiarkan berjalan sendiri, telah mengajarkan kita tentang satu hal, bahwa satu-satunya cara mencintai Aceh adalah dengan mengenal Aceh dari teropong dan sudut pandang keacehan (meu-Aceh). Jika hadits Nabi menegaskan sebuah kongklusi “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.” Maka Acehnologi menterjemahkan hal ini dalam tatanan yang lebih kosmis-lebih luas. Bahwa orang Aceh tidak akan sampai kepada Tuhannya sampai ia mengenal diri Aceh-nya, dan melihat serta memperlakukan Aceh dengan cara-cara yang meu-Aceh.
Terlepas dari keterbatasan dan kekurangannya, Acehnologi tetaplah menjadi sebuah “Arti” bagaimana orang Aceh harus melihat diri, dan bagaimana Aceh mempertahankan identitas di tengah pertarungan materialisme, hedonisme dan globalisme yang semakin mematikan Akar-akar keacehan. Acehnologi mengingatkan orang Aceh bahwa untuk bisa maju, orang Aceh tidak perlu menjadi orang lain. Dan untuk bisa disegani dunia, orang Aceh tidak perlu menjadi Amerika. Cukup menjadi Aceh saja…

No comments:

Post a Comment