Akhir-akhir
ini, Hiruk pikuk politik mendominasi perhatian kita. Seolah-olah satu-satunya
perkara di Aceh hanyalah perkara politik. Padahal, di tengah itu semua, masih
ada elemen-elemen lain yang luput dari perhatian. Ada banyak persoalan lain
yang juga tidak kalah pentingnya dari euphoria politik. Dan salah satu dari
persoalan penting tersebut adalah persoalan keilmuan, persoalan intelektual.
Di
saat aktivitas politik seolah menguasa media dan isu, Di Sudut bangunan UIN
sana, terdapat aktivitas lain yang berusaha mempertegas posisi intelektual Aceh
dimata dunia. Terdapat orang yang sedang berusaha memperkenalkan Aceh dengan
cara Aceh (meu-Aceh). Berusaha memberi
tahu orang Aceh tentang identitas, tentang sejarah, tentang kebudayaan dan
tentang masa depannya.
Di
sudut UIN sana, terdapat benih intelektualitas keacehan yang melihat Aceh dari Kosmologi
Aceh yaitu dari cara orang Aceh melihat Tuhannya, cara orang Aceh melihat
Alamnya, cara orang Aceh melihat sejarahnya dan cara orang Aceh melihat
sesamanya. Aktivitas demikian, narasi yang demikian, pekerjaan yang demikian,
dinamai oleh penulisnya (Kamaruzzaman Bustamam - Ahmad) sebagai Acehnologi,
yang artinya ilmu tentang bagaimana orang Aceh melihat Aceh dengan cara
meu-Aceh.
![]() |
Ramli Cibro sedang merenung... |
Ada anekdot yang mengatakan bahwa orang Aceh itu memandang dirinya seperti adik kandung Yahudi namun kecintaannya terhadap pengetahuan seperti Anak tiri Yahudi. Anekdot ini, walaupun membuat panas telinga, namun sedikit banyak ada benarnya. Kebanggaan orang Aceh akan identitas dan endatu memang tidak ada duanya, namun kecintaan mereka pada pengetahuan masih memprihatinkan. Betapa banyak orang Aceh hari ini sangat lemah daya intelektualnya dan sangat kurang motivasinya dalam belajar dan menuntut ilmu. Maka Acehnologi hadir sebagai sebuah upaya untuk mencoba menggugah narasi intelektual masyarakat Aceh.
Memprihatinkan….
Sejarah
telah membuktikan betapa orang Aceh di masa dahulu terkenal dengan gairah
keilmuan yang tidak tanggung-tanggung. Kita mengenal sosok Hamzah Fansuri, Syamsuddin
As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurra’uf Al-Singkili. Pasca
bergabung dengan RI kita juga mengenal Ali Hasjimi, Abu Bakar Atjeh dan Hasbi
Ash-Shiddiqie. Narasi perkembangan Sejarah Islam di Indonesia selalu dimulai dari
Aceh, berikut ulama-ulamanya yang berpengaruh. Hamzah Fansuri misalnya sangat
berpengaruh di wilayah Banten dan Buton, berikut memberi inspirasi bagi
perkembangan mistik Islam di Pulau Jawa.
Acehnologi
hadir untuk mempertegas ‘keagungan masa lalu’, yang bukan cuma sekedar haba-romantis
yang tidak memiliki landasan filosofis atau argumentasi sejarah. Tapi lebih dari itu, Acehnologi telah
menampilkan narasi-narasi intelektual yang tidak terbantahkan mengenai
bagaimana kiprah negeri Aceh di masa dahulu dan bagaimana orang Aceh hari ini
mengembalikan ‘wibawa intelektual’nya yang tergerus dan kalah pamor oleh
ilmu-ilmu Jawa dan ilmu-ilmu Amerika (Barat).
Acehnologi
dimulai dengan menapaki jejak-jejak spirit (ruh) keacehan melalui berbagai
fondasi, yaitu: Pertama, hubungan manusia Aceh dengan Tuhannya, bagaimana
orientasi keacehan selalu berkaitan dengan orientasi ketuhanan. Bahwa menjadi
pribadi Aceh adalah menjadi pribadi yang bertuhan. Maka tidak ada cerita orang
Aceh menjadi atheis atau menjadi orang yang mengabaikan Tuhan (Han geu
meukafee ureung Aceh nyan..,Ralfy). Kedua, menggali falsafah Insan Kamil untuk
mencapai manifestasi Manusia Aceh sebagai khalifah (alam saghir) di bumi Aceh.
Ketiga, Epistimologi ‘Irfani yaitu suatu kajian yang menyoal bagaimana orang
Aceh di jaman dahulu memperoleh ilmu dan hikmah dalam bentuk hadih majah
dan nasehat-nasehat sufistik. Kajian-kajian ini kemudian akan menjadi landasan
etis dan meta-fisika, bagaimana orang Aceh membangun identitas dan
kebanggaanya? Bagaimana orang Aceh melihat dirinya? Bagaimana orang Aceh
membangun dunianya? Dan Keempat, Narasi Hamzah Ke Hegel yang membawa
pesan sederhana, bahwa bagaimanapun, perkawinan keilmuan antara Timur dan Barat
adalah sebuah keniscayaan. Dan bahwa Hikmah dan Iman adalah dua hal yang tak
boleh didikotomikan. Seperti kata Iqbal, “Filsuf Barat memperkuat sendi
hikmahku, dan Sufi Timur menerangi rumah jiwaku” Maka hari ini, filsafat
Timur dan Barat akan kembali hadir untuk memperkuat sendi-sendi keacehan.
Melanglang
Buana
Acehnologi
ditulis oleh putra asli Aceh, yang telah mengalami berbagai peristiwa-peristiwa
dramatis yang menegangkan dimasa lalu. Ia juga telah melanglang buana
keberbagai belahan dunia, mencari dan men-cerap ilmu dan hikmah dari Timur dan
Barat hingga kemudian kembali ke Aceh, kembali kepada diri. Perjalanan ini
mengingatkan kita pada penggalan sya’ir, “Hamzah Fansuri di negeri Makkah;
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah; Dari Barus ke Qudus terlalu payah; Akhirnya dapat
di dalam rumah. Sebuah narasi pengembaraan yang kemudian memperkuat
identitas diri. Bukan seperti pengembaraan yang dipraktekkan oleh beberapa
oknum Aceh, yang rajin mengembara ke luar namun kemudian menjadi ‘lupa diri.’
Narasi
“Mengembara, kemudian kembali kepada diri” adalah tradisi bagaimana
orang-orang Aceh dimasa lalu melanglang buana untuk menuntut ilmu lalu kemudian
kembali membangun kampung halaman dan memperkuat identitas kedirian bukan malah
memaksa “Aceh” untuk menjadi “orang lain.” Yang kita lihat hari ini adalah
Alumni Jawa memaksa Aceh menjadi “Jawa,” Alumni Timteng memaksa Aceh menjadi
“Arab” dan Alumni Barat memaksa Aceh menjadi “Eropa” atau “Amerika.”
Akhirnya,
Acehnologi, walaupun sering dibiarkan berjalan sendiri, telah mengajarkan kita
tentang satu hal, bahwa satu-satunya cara mencintai Aceh adalah dengan mengenal
Aceh dari teropong dan sudut pandang keacehan (meu-Aceh). Jika hadits Nabi
menegaskan sebuah kongklusi “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, Siapa
yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.” Maka Acehnologi
menterjemahkan hal ini dalam tatanan yang lebih kosmis-lebih luas. Bahwa orang
Aceh tidak akan sampai kepada Tuhannya sampai ia mengenal diri Aceh-nya, dan
melihat serta memperlakukan Aceh dengan cara-cara yang meu-Aceh.
Terlepas
dari keterbatasan dan kekurangannya, Acehnologi tetaplah menjadi sebuah “Arti”
bagaimana orang Aceh harus melihat diri, dan bagaimana Aceh mempertahankan
identitas di tengah pertarungan materialisme, hedonisme dan globalisme yang
semakin mematikan Akar-akar keacehan. Acehnologi mengingatkan orang Aceh bahwa
untuk bisa maju, orang Aceh tidak perlu menjadi orang lain. Dan untuk bisa
disegani dunia, orang Aceh tidak perlu menjadi Amerika. Cukup menjadi Aceh
saja…
No comments:
Post a Comment