Akhir-akhir ini kekerasan seksual kepada anak semakin merebak.
Orang-orang biasa menyebut mereka yang suka menyerang anak secara seksual
sebagai predator anak. Faller menyebutkan bahwa penganiayaan seksual pada anak
lebih sering dilakukan oleh anggota keluarga daripada oleh orang yang tak
dikenal, tetapi anak perempuan lebih rentan dari pada anak laki-laki untuk
mengalami penganiayaan seksual dari anggota keluarga atau dari orang yang
dikenal (Jefrey S.Nevid, dkk 2003: II,227). Knudsen
menyebutkan pola penganiayaan seksual pada anak mencakup kisaran aksi-aksi
seksual seperti pelukan, ciuman, ekshibisionisme, perabaan genital, seks oral,
persetubuhan anal, dan pada anak-anak perempuan, persetubuhan vaginal. Jefrey
S. Nevad, dkk 2003: II,227)
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah peningkatan sanksi hukum
(seperti wacana pemberlakuan hukum kebiri) saja cukup? Atau ada hal-hal lain
yang lebih penting yang mesti dilakukan?
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Fa’bud rabbaka hatta
ya’tika al-yaqiin.” Artinya, Sembahlah Tuhanmu hingga datang keyakinan
dalam dirimu. Ayat ini menjelaskan bahwa ‘keyakinan’ atau ‘kesadaran’ adalah
sesuatu yang muncul belakangan setelah dilakukan upaya dan latihan kedisiplinan
terus menerus. Yang terpenting adalah peribadatan lahir dan kedisiplinan dan
baru setelah itu ‘kesadaran’ dan ‘kebiasaan’ akan datang.
Dalam persoalan mengatasi kejahatan seksual pada anak, ayat
tersebut juga dapat kita fahami sebagai sebuah upaya latihan dan pengkondisian
harus lebih diutamakan daripada melakukan kampanye-kampanye mengutuk pelaku
kekerasan seksual dan menuntut kesadaran semata pada saat semua telah terjadi.
Upaya-upaya sinergis dari semua pihak kenyataannya jauh lebih dibutuhkan.
Siaran-siaran televisi, informasi-informasi internet dan keadaan-keadaan dimana
sang anak lepas dari pengawasan telah memicu berbagai peristiwa kekerasan.
Padahal Islam bukan sekedar mengajarkan tuntutan moral (nasehat) semata, akan
tetapi di dalam Islam sendiri telah ada anjuran-anjuran praktis yang bersifat
mengkondisikan, mengarahkan dan mengontrol (syari’at).
Menurut Freud sebelum “nilai” itu masuk kedalam jiwa seseorang dan
membentuk keyakinan, ia terlebih dahulu digerakkan oleh lingkungan dan
pengawasan orang lain. Setelah itu, terjadilah proses introjeksi yang nantinya
menjadikan “nilai”tersebut masuk kedalam mekanisme kepribadian manusia dan menjadi
bagian dari diri sendiri. Hasilnya prilaku dan sikap “bermoral” akan dilakukan
secara sengaja dan sadar, walaupun tidak ada yang menstimulus atau yang
mengawasi (lihat Sumadi Suryabrata, 2006;127-128).
Dengan pengkondisian lingkungan secara Islami, hal pertama yang
diharapkan ialah pencegahan terhadap prilaku menyimpang dan selanjutnya
diharapkan “nilai-nilai” Islam yang terbentuk dalam proses pengkondisian, akan
meresap (terinternalisasi) ke dalam mekanisme super ego; sistem kepribadian si
orang tua. Hasilnya, manusia bermoral baik bukan saja karena “dukungan
lingkungan”, akan tetapi karena nilai moral yang baik itu, telah menjadi bagian
dari kepribadian yang tidak selalu terikat oleh hukuman dan tinjauan sosial semata.
Salah satu yang membedakan mazhab psikologi behavioristik dengan
psikoanalisa adalah tanggapan keduanya mengenai pembiasaan dan kebiasaan.
Menurut psikologi behavioristik, pembiasaan terus menerus akan menciptakan
‘kebiasaan’ mekanistik. Yaitu ketika kebiasaan telah menjadi semacam
‘ketidaksengajaan.’ Misalnya, seorang anak yang dikondisikan untuk tidak
mencuri maka akan terjadi ketidaknyamanan fisik ketika ia mencuri, walau pada
akhirnya ia akan tetap mencuri. Namun menurut psikoanalisa, pembiasaan yang
terus menerus akan memunculkan rasionalisasi (pemasuk-akalan). Contoh
ketika kita mengkondisikan si anak untuk terus menerus melakukan shalat, maka
akan tercipta kesadaran dia untuk melaksanakan shalat. Ketika pengawasan luput,
alam bawah sadarnyalah yang akan mengingatkan dia untuk shalat. Ketika orang
bertanya, mana lebih baik melakukan shalat atau tidak melakukan shalat, ia akan
menjawab sebagai hasil rasionalisasi akibat pembiasaan, “Shalat jauh lebih baik!”
Hal yang sama juga terjadi sebaliknya, ketika seseorang disuguhi
dengan kondisi-kondisi tidak bermoral seperti tontonan, pergaulan, lingkungan
dan pengajaran negatif maka kondisi-kondisi tersebut – dalam tinjauan
psikoanalisa – akan terasionalisasi. Artinya, bagi si anak kondisi-kondisi
tidak bermoral tersebut adalah wajar dan masuk akal, bahkan dianggap baik.
Pernah kita melihat bagaimana anak-anak tiba-tiba merasa bangga ketika mengisap
rokok? Atau tiba-tiba mereka lebih merasa bersemangat main bola setelah
mengisap rokok terlebih dahulu daripada ketika belum mengisap rokok? Ini
lagi-lagi menunjukkan, pengkondisian lingkungan, iklan televisi dan pergaulan
telah mengarahkan ‘akal’ si anak pada konklusi sesat, “Merokok adalah hal yang
wajar, sehat, jantan dan baik.”
Ada beberapa kondisi yang membuat si anak rentan terhadap kejahatan
seksual. Pertama tentu saja karena kurangnya pengawasan orang tua karena sibuk
bekerja. Ketika di dalam rumah atau sepulang dari sekolah si anak tidak ada
yang menjemput dan malah pulang pergi sekolah dengan teman-temannya melewati
jalan-jalan yang sepi, otomatis si anak menjadi rentan terhadap kekerasan
seksual. Alasannya cukup klasik. Sebagian orang tua mengaku sibuk bekerja, ada
lagi yang mempercayakan anaknya seratus persen pada pembantu. Ada juga yang
karena merasa tidak punya solusi lain, malah membiarkan saja anaknya diantar ke
sekolah oleh tetangga yang baru kenal beberapa hari, atau pemuda yang lewat
naik motor.
Kedua, tidak cukupnya pendidikan agama dan kehati-hatian kepada
anak. Anak-anak terkadang dibiarkan berprilaku tidak sopan, dibiarkan (bahkan
terkadang dianjurkan) berpakaian terbuka, baik di dalam rumah maupun di luar
rumah. Padahal ada batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan Islam,
berkenaan dengan hal tersebut.
Ketiga dan merupakan persoalan paling pokok adalah komunikasi yang
buruk antara anak dan orang tua. Biasanya orang tua hanya akan mau memberi
perintah dan mendengar cerita-cerita yang baik dari sang anak. Orang tua
cenderung cepat memarahi dan menyalahkan anak jika yang dilaporkan adalah
hal-hal yang tidak baik. Misalnya orang tua akan bersikap agresif ketika
mengetahui sang anak nilai rapornya jelek, atau mencuri permen atau ketahuan
memukul anak orang. Orang tua terkadang juga ‘mengabaikan’ begitu saja ketika
si anak bercerita atau ingin memberi tahu sesuatu. Lebih sering komunikasi
antara orang tua dan anak tidak terjalin dengan baik. Lebih sering orang tua
tidak meluangkan waktu khusus untuk mendengarkan anak atau mendengarkan
pasangannya sebagai partner dalam keluarga dengan alasan sibuk dan capek.
Padahal, komunikasi yang baik antara anak dan orang tua, suami-dan istri,
keluarga kecil dan keluarga besar akan memberi manfaat yang sangat besar bagi
hubungan yang sehat dalam keluarga.
Sering kita dengar kasus kekerasan seksual terungkap bukan pada
kali pertama namun setelah beberapa kali kejadian. Penyerangan seksualpun lebih
sering terjadi dengan direncanakan lebih dahulu. Misalnya, pelaku akan merayu
dan mendekati si anak beberapa hari sebelumnya. Artinya, jika ada pola
komunikasi yang bagus antara anak dan orang tua, anak tidak akan enggan memberi
tahu jika ia merasa terancam. Lebih jauh lagi, andaipun kekerasan tersebut
memang sudah terjadi, si anak akan berani melaporkan kepada orang tua pada saat
kejadian pertama, tidak menunggu diketahui atau tidak perlu menunggu terjadi
infeksi. Dalam beberapa kasus, ketika telah terjadi insiden kekerasan, si orang
tua malah memarahi sang anak, lingkungan pun memberi kesan negatif dan tidak
ada dukungan sama sekali. Padahal, pasca trauma kekerasan penting sekali
dukungan dan suport baik dari orang tua, sekolah maupun lingkungan karena
ketika itu posisi mental psikologis maupun fisik si anak berada dalam titik
terendah.
Akhirnya dapat disimpulkan pertama, perlu ada pengkondisian yang
terus menerus dalam rumah tangga dan lingkungan untuk mengarahkan masyarakat
pada prilaku-prilaku positif dan menghalangi gerak kejahatan. Tentu saja
keterlibatan pemerintah juga sangat menentukan. Kedua, perlu ada peningkatan
kembali pemahaman-pemahaman agama, baik kepada masyarakat maupun anak-anak
sekolah. Ketiga, perlu ada kewaspadaan dari orang tua untuk melihat pergerakan
sang anak. Kemana ia pergi, dengan siapa ia pergi? Apakah ia pergi dengan aman?
Keempat, perlu komunikasi yang intens dalam keluarga. Si orang tua harus
meluangkan waktu untuk mendengarkan segala cerita si anak dan membiasakan untuk
tidak reaktif ketika mendengar cerita yang kurang menyenangkan hatinya. Poin keempat
ini menjadi sangat penting bagaimana si orang tua melatih keterbukaan anak
dalam mengungkapkan setiap permasalahannya. Kelima, mari kita kembali berdo’a dan
meningkatkan ibadah kepada Tuhan semoga keluarga kita, masyarakat kita, bangsa
kita dan keseluruhan manusia diberi perlindungan, kedamaian dan hidayah oleh Allah
Yang Maha Berkehendak.
No comments:
Post a Comment