Monday, 27 March 2017

MENCEGAH KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK




Oleh Ramli Cibro
Akhir-akhir ini kekerasan seksual kepada anak semakin merebak. Orang-orang biasa menyebut mereka yang suka menyerang anak secara seksual sebagai predator anak. Faller menyebutkan bahwa penganiayaan seksual pada anak lebih sering dilakukan oleh anggota keluarga daripada oleh orang yang tak dikenal, tetapi anak perempuan lebih rentan dari pada anak laki-laki untuk mengalami penganiayaan seksual dari anggota keluarga atau dari orang yang dikenal (Jefrey S.Nevid, dkk 2003: II,227). Knudsen menyebutkan pola penganiayaan seksual pada anak mencakup kisaran aksi-aksi seksual seperti pelukan, ciuman, ekshibisionisme, perabaan genital, seks oral, persetubuhan anal, dan pada anak-anak perempuan, persetubuhan vaginal. Jefrey S. Nevad, dkk 2003: II,227) 
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah peningkatan sanksi hukum (seperti wacana pemberlakuan hukum kebiri) saja cukup? Atau ada hal-hal lain yang lebih penting yang mesti dilakukan?

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Fa’bud rabbaka hatta ya’tika al-yaqiin.” Artinya, Sembahlah Tuhanmu hingga datang keyakinan dalam dirimu. Ayat ini menjelaskan bahwa ‘keyakinan’ atau ‘kesadaran’ adalah sesuatu yang muncul belakangan setelah dilakukan upaya dan latihan kedisiplinan terus menerus. Yang terpenting adalah peribadatan lahir dan kedisiplinan dan baru setelah itu ‘kesadaran’ dan ‘kebiasaan’ akan datang.
Dalam persoalan mengatasi kejahatan seksual pada anak, ayat tersebut juga dapat kita fahami sebagai sebuah upaya latihan dan pengkondisian harus lebih diutamakan daripada melakukan kampanye-kampanye mengutuk pelaku kekerasan seksual dan menuntut kesadaran semata pada saat semua telah terjadi. Upaya-upaya sinergis dari semua pihak kenyataannya jauh lebih dibutuhkan. Siaran-siaran televisi, informasi-informasi internet dan keadaan-keadaan dimana sang anak lepas dari pengawasan telah memicu berbagai peristiwa kekerasan. Padahal Islam bukan sekedar mengajarkan tuntutan moral (nasehat) semata, akan tetapi di dalam Islam sendiri telah ada anjuran-anjuran praktis yang bersifat mengkondisikan, mengarahkan dan mengontrol (syari’at).

Menurut Freud sebelum “nilai” itu masuk kedalam jiwa seseorang dan membentuk keyakinan, ia terlebih dahulu digerakkan oleh lingkungan dan pengawasan orang lain. Setelah itu, terjadilah proses introjeksi yang nantinya menjadikan “nilai”tersebut masuk kedalam mekanisme kepribadian manusia dan menjadi bagian dari diri sendiri. Hasilnya prilaku dan sikap “bermoral” akan dilakukan secara sengaja dan sadar, walaupun tidak ada yang menstimulus atau yang mengawasi (lihat Sumadi Suryabrata, 2006;127-128).
Dengan pengkondisian lingkungan secara Islami, hal pertama yang diharapkan ialah pencegahan terhadap prilaku menyimpang dan selanjutnya diharapkan “nilai-nilai” Islam yang terbentuk dalam proses pengkondisian, akan meresap (terinternalisasi) ke dalam mekanisme super ego; sistem kepribadian si orang tua. Hasilnya, manusia bermoral baik bukan saja karena “dukungan lingkungan”, akan tetapi karena nilai moral yang baik itu, telah menjadi bagian dari kepribadian yang tidak selalu terikat oleh hukuman dan tinjauan sosial semata.
Salah satu yang membedakan mazhab psikologi behavioristik dengan psikoanalisa adalah tanggapan keduanya mengenai pembiasaan dan kebiasaan. Menurut psikologi behavioristik, pembiasaan terus menerus akan menciptakan ‘kebiasaan’ mekanistik. Yaitu ketika kebiasaan telah menjadi semacam ‘ketidaksengajaan.’ Misalnya, seorang anak yang dikondisikan untuk tidak mencuri maka akan terjadi ketidaknyamanan fisik ketika ia mencuri, walau pada akhirnya ia akan tetap mencuri. Namun menurut psikoanalisa, pembiasaan yang terus menerus akan memunculkan rasionalisasi (pemasuk-akalan). Contoh ketika kita mengkondisikan si anak untuk terus menerus melakukan shalat, maka akan tercipta kesadaran dia untuk melaksanakan shalat. Ketika pengawasan luput, alam bawah sadarnyalah yang akan mengingatkan dia untuk shalat. Ketika orang bertanya, mana lebih baik melakukan shalat atau tidak melakukan shalat, ia akan menjawab sebagai hasil rasionalisasi akibat pembiasaan, “Shalat jauh lebih baik!”
Hal yang sama juga terjadi sebaliknya, ketika seseorang disuguhi dengan kondisi-kondisi tidak bermoral seperti tontonan, pergaulan, lingkungan dan pengajaran negatif maka kondisi-kondisi tersebut – dalam tinjauan psikoanalisa – akan terasionalisasi. Artinya, bagi si anak kondisi-kondisi tidak bermoral tersebut adalah wajar dan masuk akal, bahkan dianggap baik. Pernah kita melihat bagaimana anak-anak tiba-tiba merasa bangga ketika mengisap rokok? Atau tiba-tiba mereka lebih merasa bersemangat main bola setelah mengisap rokok terlebih dahulu daripada ketika belum mengisap rokok? Ini lagi-lagi menunjukkan, pengkondisian lingkungan, iklan televisi dan pergaulan telah mengarahkan ‘akal’ si anak pada konklusi sesat, “Merokok adalah hal yang wajar, sehat, jantan dan baik.”
Ada beberapa kondisi yang membuat si anak rentan terhadap kejahatan seksual. Pertama tentu saja karena kurangnya pengawasan orang tua karena sibuk bekerja. Ketika di dalam rumah atau sepulang dari sekolah si anak tidak ada yang menjemput dan malah pulang pergi sekolah dengan teman-temannya melewati jalan-jalan yang sepi, otomatis si anak menjadi rentan terhadap kekerasan seksual. Alasannya cukup klasik. Sebagian orang tua mengaku sibuk bekerja, ada lagi yang mempercayakan anaknya seratus persen pada pembantu. Ada juga yang karena merasa tidak punya solusi lain, malah membiarkan saja anaknya diantar ke sekolah oleh tetangga yang baru kenal beberapa hari, atau pemuda yang lewat naik motor.
Kedua, tidak cukupnya pendidikan agama dan kehati-hatian kepada anak. Anak-anak terkadang dibiarkan berprilaku tidak sopan, dibiarkan (bahkan terkadang dianjurkan) berpakaian terbuka, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Padahal ada batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan Islam, berkenaan dengan hal tersebut.
Ketiga dan merupakan persoalan paling pokok adalah komunikasi yang buruk antara anak dan orang tua. Biasanya orang tua hanya akan mau memberi perintah dan mendengar cerita-cerita yang baik dari sang anak. Orang tua cenderung cepat memarahi dan menyalahkan anak jika yang dilaporkan adalah hal-hal yang tidak baik. Misalnya orang tua akan bersikap agresif ketika mengetahui sang anak nilai rapornya jelek, atau mencuri permen atau ketahuan memukul anak orang. Orang tua terkadang juga ‘mengabaikan’ begitu saja ketika si anak bercerita atau ingin memberi tahu sesuatu. Lebih sering komunikasi antara orang tua dan anak tidak terjalin dengan baik. Lebih sering orang tua tidak meluangkan waktu khusus untuk mendengarkan anak atau mendengarkan pasangannya sebagai partner dalam keluarga dengan alasan sibuk dan capek. Padahal, komunikasi yang baik antara anak dan orang tua, suami-dan istri, keluarga kecil dan keluarga besar akan memberi manfaat yang sangat besar bagi hubungan yang sehat dalam keluarga.
Sering kita dengar kasus kekerasan seksual terungkap bukan pada kali pertama namun setelah beberapa kali kejadian. Penyerangan seksualpun lebih sering terjadi dengan direncanakan lebih dahulu. Misalnya, pelaku akan merayu dan mendekati si anak beberapa hari sebelumnya. Artinya, jika ada pola komunikasi yang bagus antara anak dan orang tua, anak tidak akan enggan memberi tahu jika ia merasa terancam. Lebih jauh lagi, andaipun kekerasan tersebut memang sudah terjadi, si anak akan berani melaporkan kepada orang tua pada saat kejadian pertama, tidak menunggu diketahui atau tidak perlu menunggu terjadi infeksi. Dalam beberapa kasus, ketika telah terjadi insiden kekerasan, si orang tua malah memarahi sang anak, lingkungan pun memberi kesan negatif dan tidak ada dukungan sama sekali. Padahal, pasca trauma kekerasan penting sekali dukungan dan suport baik dari orang tua, sekolah maupun lingkungan karena ketika itu posisi mental psikologis maupun fisik si anak berada dalam titik terendah.
Akhirnya dapat disimpulkan pertama, perlu ada pengkondisian yang terus menerus dalam rumah tangga dan lingkungan untuk mengarahkan masyarakat pada prilaku-prilaku positif dan menghalangi gerak kejahatan. Tentu saja keterlibatan pemerintah juga sangat menentukan. Kedua, perlu ada peningkatan kembali pemahaman-pemahaman agama, baik kepada masyarakat maupun anak-anak sekolah. Ketiga, perlu ada kewaspadaan dari orang tua untuk melihat pergerakan sang anak. Kemana ia pergi, dengan siapa ia pergi? Apakah ia pergi dengan aman? Keempat, perlu komunikasi yang intens dalam keluarga. Si orang tua harus meluangkan waktu untuk mendengarkan segala cerita si anak dan membiasakan untuk tidak reaktif ketika mendengar cerita yang kurang menyenangkan hatinya. Poin keempat ini menjadi sangat penting bagaimana si orang tua melatih keterbukaan anak dalam mengungkapkan setiap permasalahannya. Kelima, mari kita kembali berdo’a dan meningkatkan ibadah kepada Tuhan semoga keluarga kita, masyarakat kita, bangsa kita dan keseluruhan manusia diberi perlindungan, kedamaian dan hidayah oleh Allah Yang Maha Berkehendak.




No comments:

Post a Comment