-Mantan Santri-
Suatu
pagi yang dingin, suasana belum begitu ramai ketika aku bergegas menuju kampus.
Belum banyak yang lalu lalang, kecuali
para security, petugas kebersihan dan para penjaga yang sibuk berbenah,
mempersiapkan kampus supaya nyaman dikunjungi. Hari ini tidak ada kuliah pagi
dan memang tujuanku ke kampus bukan untuk kuliah. Aku ke kampus pagi-pagi
sekali mempunyai satu misi sangat penting. Aku ingin ke toilet UIN karena kamar mandi di asramaku,
airnya sedang kosong.
Aku
pergi ke salah satu gedung dan bergegas menuju kamar mandi. Tapi malangnya,
kamar mandi tersebut terkunci. Akhirnya akupun menyeberangi jalan menuju gedung
sebelahnya. Aku gembira melihat pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Akupun
mencoba masuk. Aku sempat terkejut ketika membaca tulisan yang tertera di daun
pintu, “WC KHUSUS DOSEN”. Aku terhenti sejenak namun karena kebelet yang
semakin menjadi-jadi, akhirnya akupun menerobos masuk. Brak!!! Pintu dikunci
dan Brot!!!Broot!!! Brooooot (Ahk, lega
rasanya).
Sambil
jongkok dan menunggu cemplungan
berikutnya, aku melamun, merenungi kalimat yang tertera di pintu kamar mandi, “WC
KHUSUS DOSEN”.
Secara
kasat mata, tulisan tersebut terlihat biasa saja dan tidak perlu
dipermasalahkan. Namun jika ditilik lebih lanjut, ada banyak tanda tanya yang
tersirat disana. Ada banyak hal yang bisa direnungkan sebagai bahan acuan dari
titik persoalan yang sedang menimpa kampus ini. Mungkin kalimat itulah menginspirasi
berbagai faham dan aliran-aliran sosial. Bisa jadi, Adolf Hitler, Benito Mussolini, Immanuel Kant, Karl
Mark dan Napoleon bahkan Imam Ghazaly serta Ibnu Taimiyah, diutus ke dunia untuk mengurai
ketimpangan yang terjadi karena masalah Toilet.
Aku
pernah bertanya kepada Socrates. “Kenapa anda begitu gencar menyuarakan
kebenaran sampai-sampai anda harus mendapatkan hukuman meminum racun?”.
“Aku
tidak sedang menyuarakan kebenaran,” jawab beliau. “Aku hanya ingin bertanya,
kenapa toilet mahasiswa dan toilet dosen harus dipisah?”.
Aku
hanya diam mendengarkan.
“Ah,
kenapa masalah sekecil itu harus kupersoalkan ?”. Beliau malah bertanya kepada
dirinya sendiri. “Bukankah the war of
gods (perang para tuhan) juga berawal dari keengganan para dewa untuk
berbagi Toilet Surga dengan kaum
Titan yang suka berlama-lama kalau lagi buang air?” Beliau membatin.
“Tuhan?”
sinis Nietzsche, seorang filsuf Jerman.
“Ia
hanyalah dongeng para pendeta untuk melanggengkan kekuasaan atas toilet
gereja!” Dengan kesal ia tiba-tiba berteriak. Mungkin ia kesal pada mereka.
“Kenapa
sich, toilet mesjid juga ikut-ikutan ditutup!!!?”, akupun ikut-ikutan
berteriak.
“Maaf,
Toiletnya-nya sedang
rusak”, ujar Ketua DKM
“Tapi
khan masih baru?” sergahku melihat beberapa toilet itu pintunya di kunci.
“Semakin
banyak toilet yang di buka, semakin banyak toilet yang akan kotor,” tiba-tiba
suara entah darimana, menyeringaiku.
Jika
ditelusuri, madhab kapitalis mungkin muncul dari keengganan sebagian elit untuk berbagi lubang kotoran dengan rakyat jelata (baca; mahasiswa). Mereka
menuntut hak-hak istimewa sebagai konsekwensi dari strata sosial tinggi yang
telah dicapai. Mereka adalah pengagum faham seleksi alam Charles Darwin. Menurut mereka, manusia diciptakan
untuk berlomba dan saling mengalahkan satu sama lain. Yang menang, layak
mendapatkan hak-hak istimewa dan yang kalah tidak perlu berurai air mata,
karena memang, inilah toilet. Maaf, maksudku, inilah dunia.
Faham
sosialis komunis bahkan muncul sebagai anti-tesis
dari faham-faham sebelumnya. Ketika kaum borjuis mendapatkan berbagai hak-hak
istimewa sementara kaum buruh terperas dan menderita, muncul sekelompok orang
menelurkan ide-ide persamaan derajat, sama
rasa dan sama rata. Mereka kemudian melakukan perlawanan, menuntut
persamaan hak dan kewajiban termasuk persamaan ‘hak guna pakai’ atas toilet
umum. Walau pada akhirnya harapan mereka hanyalah isapan jempol karena stratifikasi
toilet merupakan hukum alam yang tidak bisa dibantah.
“Pemimpin yang baik, adalah pemimpin yang mau
memberikan teladan, bagaimana cara menggunakan toilet yang baik dan benar serta
menyediakan toilet buat rakyat”, Konfusius, seorang filsuf Cina bersabda.
Kalau
begitu, aku ingin membangun Toilet yang nyaman untuk rakyatku,”Presiden
Venezuela, Hugo Chavez berpidato.
“Anda
benar”, ujar Lao Tze, guru bijaksana yang kabarnya telah menjelma menjadi
seorang dewa. ”Pemimpin yang baik memang seharusnya melayani, bukan minta
dilayani, apalagi meminta hak istimewa atas penggunaan toilet”. Tambahnya.
“Tapi
aku gagal”, Fidel Castro, Presiden Kuba mengeluh.
“Gara-gara
kebijakanku menetapkan persamaan hak atas penggunaan toilet, banyak orang kaya
yang tidak sudi. Mereka lari dan membawa toiletnya ke Miami”. Terangnya.
Baiklah…
Boleh jadi, berbagai ajaran tasawuf semisal zuhud dan wara’ juga
muncul dari stratifikasi toilet. Ia
muncul sebagai peringatan bagi mahasiswa supaya tidak makan secara berlebihan karena nanti mereka akan
kesulitan mencari toilet. Mereka harus sadar, bahwa selain karena pengkhususan Toilet Dosen, juga ada beberapa toilet
yang digembok agar tidak dikotori
oleh mahasiswa.
Hal
ini bukan mengada-ada. Dalam sejarah terbukti bahwa kemunculan Al-Ghozaly
berbarengan dengan prilaku eksklusif
para penguasa Islam. Dimasa itu mulai muncul istilah “mesjid pribadi” atau “mesjid
di dalam rumah” sebagai indikasi keengganan
penguasa untuk duduk berdampingan melaksanakan jama’ah dengan rakyat jelata.
Untungnya,
kampus ini belum mempunyai fakultas kedokteran. Jika hal ini benar-benar ada, teori
pertama yang akan muncul di kampus hijau ini adalah,
“Mahasiswa lebih rentan terkena penyakit
karena makanan yang kurang bergizi dan tempat tidur yang kurang empuk. Supaya
penyakit mahasiswa tidak menular kepada dosen, salah satu alternatifnya ialah
memisahkan toilet dosen dan toilet mahasiswa”.
Akhirnya
frase Toilet Dosen tidak bisa
dianggap sepele. Ia mengandung berbagai makna dan filosofi. Dia menyirat arti pemaksaan, kekuasaan, kasta,
kapitalisme, sosialisme, agama, kesehatan bahkan pendidikan. Ia merupakan
cerminan dari berbagai peristiwa dan tuntutan keadilan. Bahkan beberapa
revolusi dan kudeta besar dalam sejarah, juga dimulai dari adanya garis pemisah
antara toilet mahasiswa dengan toilet dosen.
Apakah
anda tahu kenapa Tembok Cina dibangun?
Itu
karena Bangsa Tartar suka memakai toilet orang-orang Cina tanpa meminta izin
terlebih dahulu!
Lalu
apakah anda tahu kenapa Tembok Berlin dihancurkan?
Kalau
yang satu ini, tidak ada hubunganya dengan toilet!
Jika
anda ingin merenungkan kenapa bangsa ini begitu kacau. Merenunglah di dalam
toilet yang ada tulisan WC Khusus Dosen.
Bukannya mengajak anda untuk memberontak. Anjuran ini saya berikan agar otak
anda dapat bersintesis karena ada aura kecerdasan yang tertinggal di dalam toilet sebelum anda masuk. Aura kecerdasan
dosen yang masuk sebelum anda. Huuuuuuuuuuuuum,,,,… wangiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…………
“Cut!”
“Action!”
Belum
sempat aku berfikir jauh, tiba-tiba pintu toilet digedor oleh seseorang.
“Cepetan,
donk!”
“Ya,
bentar lagi! Tanggung, nih” Jawabku dari dalam. “Kedengarannya seperti suara
mahasiswa,” pikirku.
“Ke
Iqomah, yuk!”. Terdengar suara yang lain. Mungkin itu temannya.
“Ah,
di sana kita juga harus ngantri, “tolak mahasiswa tersebut sambil tetap memilih
untuk menunggu.
“Tapi
ini khan, Toilet Dosen?”
No comments:
Post a Comment