![]() |
Islam Syari'at Haedar Nashir |
Oleh Ramli Cibro
Book Review
Book Review
Mengupas Plus Minus Perjuangan Syari’at
Ideologis
Haedar Nashir, Islam Syari’at; Reproduksi Islam Salafiah
di Indonesia, Mizan, Bandung, 2013, 680 pages.
Abstract:
Kajian ini hendak mencoba mengupas
perkembangan syari’at ideologis yang mulai tumbuh subur sejak era reformasi
tahun 1998. Haedar Nashir dalam buku ini sepertinya sedikit mengesampingkan
basisnya sebagai salah satu kelompok pergerakan salafiah ideologis. Kehadiran
tulisan ini berbarengan dengan isu syari’at Islam di berbagai wilayah dan
formalisasi syari’at di Provinsi Aceh. Seperti yang kita ketahui, ada arus baru
perkembangan Muhammadiyah yang dikomandoi oleh beberapa tokoh senior seperti
Syafi’i Ma’arif dan termasuk di dalam nya Haedar Nashir. Ada upaya untuk
menancapkan ‘akar keindonesiaan,’ dalam tubuh Muhammadiyah yang selama ini
cenderung dianggap tidak memiliki akar keindonesiaan. Ada upaya dari sekelompok
orang-orang Muhammadiyah untuk mengeluarkan Muhammadiyah dari kukungan Salafi
Ideologi dengan argumentasi bahwa Dahlan pun tidak terlalu terlibat dalam
wacana-wacana politik dan ideologis. Kelompok kecil ini ingin mengatakan bahwa
Muhammadiyah juga termasuk dalam rumpun Islam Nusantara, yaitu suatu Islam yang
bertoleransi terhadap budaya dan kearifan lokal nusantara sembari meniupkan
nilai, roh dan semangat keislaman di dalamnya. Kelompok kecil ini juga ingin
mengatakan bahwa konsep negara demokrasi yang telah dibentuk oleh para
pendahulu negeri tidak sepantasnya dirombak ulang secara radikal karena selain
tidak efektif, juga sangat rentan terhadap narasi kekerasan. Sejarahnya memang,
upaya formatisasi syari’ah selalu gagal dan berakhir dengan kekerasan demi
kekerasan.
Kata Kunci: Syari’at Ideologi, Salafiah, Hukum
Islam dan Negara Islam.
Buku ini ingin menunjukkan setidaknya dua
hal. Pertama, Apa yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa dan ulama-ulama
terdahulu sudah sangat sesuai dengan Islam. Yang perlu dilakukan hanya ‘pembenahan,’
dan penyempurnaan kecil saja. Kedua, bahwa nyaris setiap upaya formatisasi
syari’at harus berujung pada intoleransi, kekerasan dan ketidakadilan. Karena
dasar agama yang memang plural harus ditandaskan dalam satu wujud ideologis
yang sama.
Meskipun Haedar Nashir sendiri merupakan Ketua
Umum Muhammadiyah, namun pemikiran ‘unik’ ini tidak bisa dianggap mencerminkan
‘mayoritas,’ pendapat kalangan Muhammadiyah. Ini merupakan paradigma terbaru
dalam pemikiran Muhammadiyah khususnya 20 tahun terakhir ketika dirasakan
perjuangan ideologisasi Islam dalam bentuk negara hanya menimbulkan kelabilan,
menguras energi serta tidak sesuai dengan ruh keislaman yang berbasis
nusantara.
Menurut Haidar, ada hubungan antara upaya
pendirian Negara Islam dengan upaya memasukkan Syari’at Islam dalam formulasi
hukum negara. Menurutnya, Jika dikaitkan dalam konteks sejarah ke belakang,
perjuangan kelompok Islam untuk memasukkan syari’at ke dalam saluran institusi
negara tersebut tampaknya memiliki kaitan semangat dengan perjuangan ideologis
di kalangan Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar sebagai dsara negara
atau sebagaimana kompromi dalam Piagam Jakarta. (55)
Buku ini yang merupakan Disertasi Penulis
di Jurusan Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini ditulis
sebanyak 5 Bab, diluar Pendahuluan dan Kesimpulan. Bab Pertama, Pandangan
Dunia dan Gerakan Orientasi Islam, dimulai dengan menjabarkan konsep
pandangan dunia Islam (the subjective meaning) yang menjadi landasan
bagi gerakan perjuangan berorientasi keislaman. Bab Kedua, Dinamika
Islamisasi dan Ideologisasi Islam merupakan penjabaran gerakan keislaman
sejak pasca kolonialisme (pan-Islamisme), pemberontakan DI/ TII, Kemerdekaan
hingga Era Revormasi. Kesuburan partai-partai Islam yang membayang-bayangi
gerakan Rezim Orde Lama hingga ketidakmampuan Orde Baru mematahkan secara total
gerakan keislaman (dengan mengizinkan PPP mendapat kursi yang signifikan dalam
setiap pemilu) adalah wujud dan kenyataan bahwa perjuangan gerakan keislaman
tidak akan pernah berhenti. Ketiga, Penerapan Syari’at Islam di Daerah;
Islamisasi Jalur Bawah. Upaya ini menurut Haidar Nashir memiliki hubungan
dan kaitan dengan Islamisai Jalur Atas. Namun hal ini bisa dibantah
karena pergerakan keislaman di wilayah justru digerakkan oleh kekuatan-kekuatan
lokal. Sementara keberadaan kelompok-kelompok ideologis baik yang berbentuk
ormas lokal, ormas transnasional maupun partai politik berbasis Islam hanya
sekedar ‘pendukung pasif.’ Bab Keempat, Gerakan Hizbuttahrir dan Majelis
Mujahidin; Islamisasi Jalur Atas. Bab ke Lima Islam Syari’at dan
Reproduksi “Salafiah Ideologis,” merupakan inti dari pembahasan. Bab
terakhir ini hendak mencari titik sama karakteristik Islam Syari’at, mulai dari
pola fikir, pergerakan, model, perda syari’at, kampaye-kampanye ‘ideologis,’
agama dan ras (identifikasi agama melalui ras), jihad,’kekerasan atas nama
agama hingga agama trend dan da’i-da’i televisi. Kesemua itu dalam sebuah
bangunan ingin dicobatemukan untuk menemukan model baru bagi pergerakan keislaman
ideologis di Indonesia.
Haidar menyimpulan bahwa gerakan Syari’at
Ideologis adalah akibat dari kegagalan Islam arus utama (NU dan Muhammadiyah)
dalam mengisi dan menjawab kevakuman kekuasaan karismatik pasca lengsernya
Soeharto. Syari’at Ideologis menurut Haidar menunjukkan militansi yang tinggi
karena adanya sistem keyakinan (believe system), pandangan dunia (word-view),
dan mode serba syari’at (Syar’isme) yang menepatkan syariat sebagai
tujuan utama. Bagi anggota kelompok ini, setiap yang menolak atau mengkritisi
syari’at ideologis atau setiap yang ‘setuju,’ dengan ideologi demokrasi, negara
kebangasaan dan pancasila sebagai orang yang tunduk pada ‘sistem kuffar.’ Dan
pada kondisi tertentu layak diperangi. (590)
Namun demikian, model ini bukan merupakan
jalan yang tepat. Menurut Haidar, perlu ada kekuatan baru dari Islam arus
utama, untuk menyelamatkan keislaman dari upaya-upaya ideologisasi yang jauh
dari nilai dan tujuan asaly dari keislaman itu sendiri. Haidar menaruh harapan
terhadap gerakan modernisme Islam untuk mencoba merespon pergerakan ideologis
yang mengarah pada radikalisme yang melihat kebenaran sebagai wacana hitam
putih. Selain itu tentu saja gerakan modernis diharapkan mampu menyelamatkan
umat Islam dari kemiskinan, keterpurukan, aliran sesat, penyimpangan,
eksploitasi dan penindasan.
Fuad Zakaria (1927) seorang ulama Mesir pernah menyatakan bahwa
bagi sebagian mereka yang memaksakan hukum syari’at percaya bahwa keberadaan
syari’at akan sendirinya menyelesaikan persoalan dan penderitaan ummat.
Bagaimana caranya? Tidak ada yang tahu. Namun, kebanyakan dari mereka tampaknya
begitu yakin bahwa ‘kuasa langit’ akan sendirinya membantu menyelesaikan
persoalan-persoalan duniawiyah jika kita melaksanakan syari’at. (Charles
Kurzman, 2000:xliv) Seolah, hanya dengan pemberlakuan perda-perda syariat, Maka
persoalan listrik, kebobrokan moral, kesulitan para petani, kemiskinan,
penindasan, kebodohan, visi-visi masa depan dan pelayanan publik akan selesai
begitu saja.
No comments:
Post a Comment