Friday, 12 August 2016

BOOK REVIEW ; Islam Syari’at Reproduksi Islam Salafiah di Indonesia,

Islam Syari'at Haedar Nashir

Oleh Ramli Cibro


Book Review
Mengupas Plus Minus Perjuangan Syari’at Ideologis
Haedar Nashir,  Islam Syari’at; Reproduksi Islam Salafiah di Indonesia, Mizan, Bandung, 2013, 680 pages.
Abstract:
Kajian ini hendak mencoba mengupas perkembangan syari’at ideologis yang mulai tumbuh subur sejak era reformasi tahun 1998. Haedar Nashir dalam buku ini sepertinya sedikit mengesampingkan basisnya sebagai salah satu kelompok pergerakan salafiah ideologis. Kehadiran tulisan ini berbarengan dengan isu syari’at Islam di berbagai wilayah dan formalisasi syari’at di Provinsi Aceh. Seperti yang kita ketahui, ada arus baru perkembangan Muhammadiyah yang dikomandoi oleh beberapa tokoh senior seperti Syafi’i Ma’arif dan termasuk di dalam nya Haedar Nashir. Ada upaya untuk menancapkan ‘akar keindonesiaan,’ dalam tubuh Muhammadiyah yang selama ini cenderung dianggap tidak memiliki akar keindonesiaan. Ada upaya dari sekelompok orang-orang Muhammadiyah untuk mengeluarkan Muhammadiyah dari kukungan Salafi Ideologi dengan argumentasi bahwa Dahlan pun tidak terlalu terlibat dalam wacana-wacana politik dan ideologis. Kelompok kecil ini ingin mengatakan bahwa Muhammadiyah juga termasuk dalam rumpun Islam Nusantara, yaitu suatu Islam yang bertoleransi terhadap budaya dan kearifan lokal nusantara sembari meniupkan nilai, roh dan semangat keislaman di dalamnya. Kelompok kecil ini juga ingin mengatakan bahwa konsep negara demokrasi yang telah dibentuk oleh para pendahulu negeri tidak sepantasnya dirombak ulang secara radikal karena selain tidak efektif, juga sangat rentan terhadap narasi kekerasan. Sejarahnya memang, upaya formatisasi syari’ah selalu gagal dan berakhir dengan kekerasan demi kekerasan. 

Kata Kunci: Syari’at Ideologi, Salafiah, Hukum Islam  dan Negara Islam.
Buku ini ingin menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama, Apa yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa dan ulama-ulama terdahulu sudah sangat sesuai dengan Islam. Yang perlu dilakukan hanya ‘pembenahan,’ dan penyempurnaan kecil saja. Kedua, bahwa nyaris setiap upaya formatisasi syari’at harus berujung pada intoleransi, kekerasan dan ketidakadilan. Karena dasar agama yang memang plural harus ditandaskan dalam satu wujud ideologis yang sama.
Meskipun Haedar Nashir sendiri merupakan Ketua Umum Muhammadiyah, namun pemikiran ‘unik’ ini tidak bisa dianggap mencerminkan ‘mayoritas,’ pendapat kalangan Muhammadiyah. Ini merupakan paradigma terbaru dalam pemikiran Muhammadiyah khususnya 20 tahun terakhir ketika dirasakan perjuangan ideologisasi Islam dalam bentuk negara hanya menimbulkan kelabilan, menguras energi serta tidak sesuai dengan ruh keislaman yang berbasis nusantara.
Menurut Haidar, ada hubungan antara upaya pendirian Negara Islam dengan upaya memasukkan Syari’at Islam dalam formulasi hukum negara. Menurutnya, Jika dikaitkan dalam konteks sejarah ke belakang, perjuangan kelompok Islam untuk memasukkan syari’at ke dalam saluran institusi negara tersebut tampaknya memiliki kaitan semangat dengan perjuangan ideologis di kalangan Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar sebagai dsara negara atau sebagaimana kompromi dalam Piagam Jakarta. (55)
Buku ini yang merupakan Disertasi Penulis di Jurusan Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini ditulis sebanyak 5 Bab, diluar Pendahuluan dan Kesimpulan. Bab Pertama, Pandangan Dunia dan Gerakan Orientasi Islam, dimulai dengan menjabarkan konsep pandangan dunia Islam (the subjective meaning) yang menjadi landasan bagi gerakan perjuangan berorientasi keislaman. Bab Kedua, Dinamika Islamisasi dan Ideologisasi Islam merupakan penjabaran gerakan keislaman sejak pasca kolonialisme (pan-Islamisme), pemberontakan DI/ TII, Kemerdekaan hingga Era Revormasi. Kesuburan partai-partai Islam yang membayang-bayangi gerakan Rezim Orde Lama hingga ketidakmampuan Orde Baru mematahkan secara total gerakan keislaman (dengan mengizinkan PPP mendapat kursi yang signifikan dalam setiap pemilu) adalah wujud dan kenyataan bahwa perjuangan gerakan keislaman tidak akan pernah berhenti. Ketiga, Penerapan Syari’at Islam di Daerah; Islamisasi Jalur Bawah. Upaya ini menurut Haidar Nashir memiliki hubungan dan kaitan dengan Islamisai Jalur Atas. Namun hal ini bisa dibantah karena pergerakan keislaman di wilayah justru digerakkan oleh kekuatan-kekuatan lokal. Sementara keberadaan kelompok-kelompok ideologis baik yang berbentuk ormas lokal, ormas transnasional maupun partai politik berbasis Islam hanya sekedar ‘pendukung pasif.’ Bab Keempat, Gerakan Hizbuttahrir dan Majelis Mujahidin; Islamisasi Jalur Atas. Bab ke Lima Islam Syari’at dan Reproduksi “Salafiah Ideologis,” merupakan inti dari pembahasan. Bab terakhir ini hendak mencari titik sama karakteristik Islam Syari’at, mulai dari pola fikir, pergerakan, model, perda syari’at, kampaye-kampanye ‘ideologis,’ agama dan ras (identifikasi agama melalui ras), jihad,’kekerasan atas nama agama hingga agama trend dan da’i-da’i televisi. Kesemua itu dalam sebuah bangunan ingin dicobatemukan untuk menemukan model baru bagi pergerakan keislaman ideologis di Indonesia.
Haidar menyimpulan bahwa gerakan Syari’at Ideologis adalah akibat dari kegagalan Islam arus utama (NU dan Muhammadiyah) dalam mengisi dan menjawab kevakuman kekuasaan karismatik pasca lengsernya Soeharto. Syari’at Ideologis menurut Haidar menunjukkan militansi yang tinggi karena adanya sistem keyakinan (believe system), pandangan dunia (word-view), dan mode serba syari’at (Syar’isme) yang menepatkan syariat sebagai tujuan utama. Bagi anggota kelompok ini, setiap yang menolak atau mengkritisi syari’at ideologis atau setiap yang ‘setuju,’ dengan ideologi demokrasi, negara kebangasaan dan pancasila sebagai orang yang tunduk pada ‘sistem kuffar.’ Dan pada kondisi tertentu layak diperangi. (590)
Namun demikian, model ini bukan merupakan jalan yang tepat. Menurut Haidar, perlu ada kekuatan baru dari Islam arus utama, untuk menyelamatkan keislaman dari upaya-upaya ideologisasi yang jauh dari nilai dan tujuan asaly dari keislaman itu sendiri. Haidar menaruh harapan terhadap gerakan modernisme Islam untuk mencoba merespon pergerakan ideologis yang mengarah pada radikalisme yang melihat kebenaran sebagai wacana hitam putih. Selain itu tentu saja gerakan modernis diharapkan mampu menyelamatkan umat Islam dari kemiskinan, keterpurukan, aliran sesat, penyimpangan, eksploitasi dan penindasan.
Fuad Zakaria (1927) seorang ulama Mesir pernah menyatakan bahwa bagi sebagian mereka yang memaksakan hukum syari’at percaya bahwa keberadaan syari’at akan sendirinya menyelesaikan persoalan dan penderitaan ummat. Bagaimana caranya? Tidak ada yang tahu. Namun, kebanyakan dari mereka tampaknya begitu yakin bahwa ‘kuasa langit’ akan sendirinya membantu menyelesaikan persoalan-persoalan duniawiyah jika kita melaksanakan syari’at. (Charles Kurzman, 2000:xliv) Seolah, hanya dengan pemberlakuan perda-perda syariat, Maka persoalan listrik, kebobrokan moral, kesulitan para petani, kemiskinan, penindasan, kebodohan, visi-visi masa depan dan pelayanan publik akan selesai begitu saja.

No comments:

Post a Comment