Friday, 12 August 2016

BOOK REVIEW : AGAMA BORJUIS


Agama Borjuis Nur Khalik Ridwan


Oleh Ramli Cibro (Ustadz Pensiun)
Book Review
“Benarkah perjuangan Islam Murni, benar-benar ‘murni’ untuk kepentingan Islam?”
Ramli Cibro (Mantan Ustadz)

Nur Khalik Ridwan  Agama Borjuis; Kritik Atas Nalar Islam Murni, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2004, 460 pages.
Abstract:
Nur Kholik Ridwan, bicara dari ke-NU-annya. Kenyataan bahwa diskurus ke-NU-an sempat mengendap khususnya sebelum kebangkitan era Nurcholis Majid, membuat posisi NU menjadi terbelakang dan sering dianggap sebagai kaum tertinggal. Kenyataannya kemudian model kemajuan ala Islam Murni, menduduki peringkatnya. Nur Kholik setidaknya memulai diskursusnya dengan mengajukan tiga kronologi kebangkitan Islam Murni yaitu Peristiwa Paderi (Abad 18), Muhammadiyah (Abad 19) dan Persis (Abad 20). Yang menjadi catatan utama dalam kajian ini adalah sikap kontradiksi yang pragmatik yang ditampilkan oleh kelompok Islam Murni, khususnya dalam persoalan perdagangan dan politik. Ada kesan bahwa keberadaan dan perjuangan kelompok Islam Murni selalu berhubungan dengan kepentingan dagang, kekuasaan dan model individualisme masyarakat urban. Walaupun kita juga harus mempertimbangkan ‘Nalar-NU’ seorang Nur Kholik, namun kita tidak bisa menolak sebuah pertanyaan klise, “Benarkah perjuangan Islam Murni, benar-benar ‘murni’ untuk kepentingan Islam?
Kata Kunci, Islam Murni, Kaum Pedagang, Kekuasaan dan Kekerasan.
Buku ini - seperti yang ditulis oleh penulisnya – mencoba membaca apa yang tidak terbaca, membedah yang tidak terlihat dipermukaan. Kelebihan buku ini adalah bahwa ‘cara membaca,’ maupun ‘hasil bacaan,’ dari subjek yang dibaca memiliki nilai urgensi yang sama. Akan lebih utuh jika review dilakukan dengan dua fokus yang berbeda antara ‘cara membaca’ dan ‘hasil bacaan.’ Dan untuk mempersingkat pembahasan, tulisan ini hanya akan mencoba mereview ‘cara membaca,’ si penulis.


Model bacaan yang dikembangkan disebutkan sebagai ‘tipologi pembebasan,’ dimana –seperti model bacaan liberal – ia meyakini pluralitas makna teks dan menolak keberadaan makna tunggal. Namun bedanya dengan model bacaan liberal adalah bahwa bacaan liberal ‘diyakini,’ hanya memfokuskan bacaan pada ‘kepentingan pribadi,’ walaupun tetap mengakui keberadaan ‘pluralitas makna.’
Keduanya berbeda dengan model bacaan konserfatif yang kaku, hanya melihat dari satu ketunggalan makna, namun ‘memihak,’ pada kepentingan diri sendiri dan menolak makna lain. Model ini disebut oleh penulis sebagai Tipologi Borjuis. Jika model bacaan liberal, mengakui eksistensi makna plural namun tetap memihak kepada diri sendiri, maka model bacaan ‘tipologi pembebasan,’ justru untuk membebaskan dan membela kepentingan orang miskin, orang tertindas dan kelompok masyarakat lemah. (33)
Buku ini membagi kajian ke dalam tiga kelompok judul yaitu Pertama, kelompok bab metodologi yang hanya terdiri dari satu bab. Dalam bab ini dijelaskan bahwa alasan menulis buku ini adalah karena wujud dari Islam Murni telah berubah menjadi semacam ‘ancaman,’ dimana disana tidak ada pilihan dan keragaman serta pluralitas yang menjadi kekuatan utama umat Islam. Penulis menunjukkan bahaya model kebenaran tunggal ala Islam murni yang dapat mengancam pluralitas, membunuh kreativitas, mematikan nalar dan meletakkan wahyu dalam bingkai non sejarah (21).
Nalar Islam Murni itu sendiri adalah adalah Nalar yang mencoba merekonstruksi hanya ada satu kebenaran dalam memahami Islam. Karena hanya ada satu kebenaran, maka hanya ada satu keselamatan pula dalam beragama, yaitu keselamatan yang ada dalam nalar beragama Islam Murni. Orang-orang yang mengikutinya adalah orang-orang yang dipandang soleh, dan hal ini mengimplikasikan bahwa: Upaya mewujudkan simbol-simbol Islam adalah sebuah kesalehan, dan memberantas kebebasan berfikir adalah sebuah kesalehan. Tidak sukar akhirnya bila dikatakan bahwa mencapai keselamatan dalam nalar Islam Murni dipandang hanya satu, dan itu adalah Islam Murni itu sendiri. (189)
Buku ini sendiri memiliki tiga agenda besar, melacak akar sejarah dan perkembangan Islam Murni, melacak struktur nalar Islam Murni serta melakukan pembongkaran dan kritik atas wacana Islam Murni. Dengan model kritik Foucaulian, ia mencoba menelanjangi misi-misi borjuasi Kaum Islam Murni, entah itu dari aspek kesengajaan mereka maupun dari ketidaksengajaan mereka sebagai implikasi dari nalar pemurnian mereka yang rawan penyimpangan dan ketidakstabilan.
Dari kritik atas “kuasa” wacana Foucult misalnya ia melihat gagasan dengan asumsi bahwa apapun itu merupakan alat untuk mengagregasikan kepentingan, termasuk mereka yang ingin keluar dari kemiskinan structural yang merupakan bagian dari kepentingan. (40) Ia menggunakan tesis Michael Pecheux yang ‘agak berbeda’ dengan Foucault. Karena jika menurut  Foucault pengetahuan lahir dari “kuasa,” maka menurut Nur Kholik kuasa justru di lahirkan oleh “posisi.” Konsep Borjuis dan Kesadaran Borjuis sendiri menurut Nur Kholik adalah dua hal yang berbeda. Disatu sisi Borjuis adalah keadaan seorang yang berada dalam posisi mapan, maka “Kesadaran Borjuis,” adalah kesadaran seseorang untuk bertindak dan mengambil sikap “untuk mempertahankan” posisisnya sebagai “Borjuis.” (40-41)
Dari “Kesadaraan Borjuis” inilah penulis mengarahkan teropong pengamatannya. Dan darisana ia menemukan berbagai kasus yang begitu mudah menyimpang dan menyimpan kepentingan. Diantara yang ia kaji adalah slogan “kembali kepada al-qur’an dan hadits,” kontradiksi “Non-Madhab dan Majelis Tarjih,” Perjuangan menegakkan Negara Islam yang kemudian lenyap tanpa ada alasan yang jelas dan perubahan-perubahan posisi politik (seperti dukungan Amin Rais atas Gusdur) yang menunjukkan bahwa tidak ada dasar yang baku dan ‘kejujuran,’ kecuali ‘hanya untuk mempertahankan kepentingan.”

No comments:

Post a Comment