![]() |
Agama Borjuis Nur Khalik Ridwan |
Oleh Ramli Cibro (Ustadz Pensiun)
Book Review
“Benarkah perjuangan Islam Murni,
benar-benar ‘murni’ untuk kepentingan Islam?”
Ramli Cibro (Mantan Ustadz)
Nur Khalik Ridwan Agama Borjuis; Kritik Atas Nalar Islam
Murni, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2004, 460 pages.
Abstract:
Nur Kholik Ridwan, bicara dari ke-NU-annya.
Kenyataan bahwa diskurus ke-NU-an sempat mengendap khususnya sebelum
kebangkitan era Nurcholis Majid, membuat posisi NU menjadi terbelakang dan
sering dianggap sebagai kaum tertinggal. Kenyataannya kemudian model kemajuan
ala Islam Murni, menduduki peringkatnya. Nur Kholik setidaknya memulai
diskursusnya dengan mengajukan tiga kronologi kebangkitan Islam Murni yaitu
Peristiwa Paderi (Abad 18), Muhammadiyah (Abad 19) dan Persis (Abad 20). Yang
menjadi catatan utama dalam kajian ini adalah sikap kontradiksi yang pragmatik
yang ditampilkan oleh kelompok Islam Murni, khususnya dalam persoalan
perdagangan dan politik. Ada kesan bahwa keberadaan dan perjuangan kelompok
Islam Murni selalu berhubungan dengan kepentingan dagang, kekuasaan dan model
individualisme masyarakat urban. Walaupun kita juga harus mempertimbangkan
‘Nalar-NU’ seorang Nur Kholik, namun kita tidak bisa menolak sebuah pertanyaan
klise, “Benarkah perjuangan Islam Murni, benar-benar ‘murni’ untuk
kepentingan Islam?”
Kata Kunci, Islam Murni, Kaum Pedagang,
Kekuasaan dan Kekerasan.
Buku ini - seperti yang ditulis oleh
penulisnya – mencoba membaca apa yang tidak terbaca, membedah yang tidak
terlihat dipermukaan. Kelebihan buku ini adalah bahwa ‘cara membaca,’ maupun
‘hasil bacaan,’ dari subjek yang dibaca memiliki nilai urgensi yang sama. Akan
lebih utuh jika review dilakukan dengan dua fokus yang berbeda antara ‘cara membaca’
dan ‘hasil bacaan.’ Dan untuk mempersingkat pembahasan, tulisan ini hanya akan
mencoba mereview ‘cara membaca,’ si penulis.
Model bacaan yang dikembangkan disebutkan
sebagai ‘tipologi pembebasan,’ dimana –seperti model bacaan liberal – ia
meyakini pluralitas makna teks dan menolak keberadaan makna tunggal. Namun
bedanya dengan model bacaan liberal adalah bahwa bacaan liberal ‘diyakini,’
hanya memfokuskan bacaan pada ‘kepentingan pribadi,’ walaupun tetap mengakui
keberadaan ‘pluralitas makna.’
Keduanya berbeda dengan model bacaan
konserfatif yang kaku, hanya melihat dari satu ketunggalan makna, namun
‘memihak,’ pada kepentingan diri sendiri dan menolak makna lain. Model ini
disebut oleh penulis sebagai Tipologi Borjuis. Jika model bacaan liberal,
mengakui eksistensi makna plural namun tetap memihak kepada diri sendiri, maka
model bacaan ‘tipologi pembebasan,’ justru untuk membebaskan dan membela
kepentingan orang miskin, orang tertindas dan kelompok masyarakat lemah. (33)
Buku ini membagi kajian ke dalam tiga
kelompok judul yaitu Pertama, kelompok bab metodologi yang hanya terdiri dari
satu bab. Dalam bab ini dijelaskan bahwa alasan menulis buku ini adalah karena
wujud dari Islam Murni telah berubah menjadi semacam ‘ancaman,’ dimana disana
tidak ada pilihan dan keragaman serta pluralitas yang menjadi kekuatan utama
umat Islam. Penulis menunjukkan bahaya model kebenaran tunggal ala Islam murni
yang dapat mengancam pluralitas, membunuh kreativitas, mematikan nalar dan
meletakkan wahyu dalam bingkai non sejarah (21).
Nalar Islam Murni itu sendiri adalah adalah
Nalar yang mencoba merekonstruksi hanya ada satu kebenaran dalam memahami
Islam. Karena hanya ada satu kebenaran, maka hanya ada satu keselamatan pula
dalam beragama, yaitu keselamatan yang ada dalam nalar beragama Islam Murni.
Orang-orang yang mengikutinya adalah orang-orang yang dipandang soleh, dan hal
ini mengimplikasikan bahwa: Upaya mewujudkan simbol-simbol Islam adalah sebuah
kesalehan, dan memberantas kebebasan berfikir adalah sebuah kesalehan. Tidak
sukar akhirnya bila dikatakan bahwa mencapai keselamatan dalam nalar Islam
Murni dipandang hanya satu, dan itu adalah Islam Murni itu sendiri. (189)
Buku ini sendiri memiliki tiga agenda
besar, melacak akar sejarah dan perkembangan Islam Murni, melacak struktur
nalar Islam Murni serta melakukan pembongkaran dan kritik atas wacana Islam
Murni. Dengan model kritik Foucaulian, ia mencoba menelanjangi misi-misi
borjuasi Kaum Islam Murni, entah itu dari aspek kesengajaan mereka maupun dari
ketidaksengajaan mereka sebagai implikasi dari nalar pemurnian mereka yang
rawan penyimpangan dan ketidakstabilan.
Dari kritik atas “kuasa” wacana Foucult
misalnya ia melihat gagasan dengan asumsi bahwa apapun itu merupakan alat untuk
mengagregasikan kepentingan, termasuk mereka yang ingin keluar dari kemiskinan
structural yang merupakan bagian dari kepentingan. (40) Ia menggunakan tesis
Michael Pecheux yang ‘agak berbeda’ dengan Foucault. Karena jika menurut Foucault pengetahuan lahir dari “kuasa,” maka
menurut Nur Kholik kuasa justru di lahirkan oleh “posisi.” Konsep Borjuis dan
Kesadaran Borjuis sendiri menurut Nur Kholik adalah dua hal yang berbeda.
Disatu sisi Borjuis adalah keadaan seorang yang berada dalam posisi mapan, maka
“Kesadaran Borjuis,” adalah kesadaran seseorang untuk bertindak dan mengambil
sikap “untuk mempertahankan” posisisnya sebagai “Borjuis.” (40-41)
Dari “Kesadaraan Borjuis” inilah penulis
mengarahkan teropong pengamatannya. Dan darisana ia menemukan berbagai kasus
yang begitu mudah menyimpang dan menyimpan kepentingan. Diantara yang ia kaji
adalah slogan “kembali kepada al-qur’an dan hadits,” kontradiksi “Non-Madhab
dan Majelis Tarjih,” Perjuangan menegakkan Negara Islam yang kemudian lenyap
tanpa ada alasan yang jelas dan perubahan-perubahan posisi politik (seperti
dukungan Amin Rais atas Gusdur) yang menunjukkan bahwa tidak ada dasar yang baku
dan ‘kejujuran,’ kecuali ‘hanya untuk mempertahankan kepentingan.”
No comments:
Post a Comment