![]() |
Opini Harian Serambi Indonesia 17 Mei 2017 |
Pagi
15 Mei 2017 di UIN Ar-Raniry Banda Aceh diadakan seminar bertema Mengukuhkan
Titik Nol Islam Nusantara. Seminar yang mendatangkan Mantan Rektor UIN
Jakarta, Azyumardi Azra tersebut seolah mengisi kehausan narasi intelektual rakyat
Aceh yang merasa didhalimi oleh peletakan titik Nol Islam Nusantara di Barus.
Padahal semua orang tahu, sejarah pun tahu bahwa Aceh adalah titik pertama
Islam berkembang di Nusantara. Seminar Nasional di ruangan yang hanya muat 140
peserta tersebut sedikit menghibur hati. Setidaknya ada satu pengukuhan
psikologis bahwa memang benarlah tanoh endatu mereka sebagai batu
loncatan bagi penyebaran Islam di Negeri ini.
Uniknya,
seminar yang hanya diisi oleh pemateri dari intelektual di bidang sejarah
tersebut justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda-benda satu sama lain.
Prof. Dr. Azyumardi Azra berpendapat bahwa Islam Nusantara bermula dari Pasai.
Sedangkan Prof. Dr. Farid Wajdi berpendapat bahwa Islam Nusantara muncul di
Peurlak. Sedangkan Husaini Ibrahim, seorang sejarawan Aceh meyakini bahwa Islam
Nusantara lahir di Lamuri. Walaupun berbeda pendapat, ketiga sejarawan tersebut
setidaknya meyakini bahwa bahwa Islam Nusantara bermula di Aceh, bukan di Barus
(walaupun konon Barus dulunya juga bagian dari imperial Aceh)
Jika
merujuk kebelakang, sejatinya diskursus Islam Nusantara bukanlah produk
historis semata. Ia hadir dari sebuah perdebatan mengenai model apa yang cocok
digunakan untuk menjadi model keislaman di Nusantara guna membendung
radikalisme dan ekstrimisme. Memang, jika semata-mata menggunakan pendekatan
sejarah, posisi Aceh tidak akan dapat digantikan oleh siapapun. Namun persoalan
Islam Nusantara bukan persoalan sejarah. Ia adalah narasi intelektual, sebuah
diskurus filosofis; kajian ilmiah hermeneutis dan fenomenologis yang ingin
menegaskan kapan dan dimana kematangan diskursus perkawinan antara keislaman
dan ke nusantaraan itu terjadi. (Ramli Cibro, Titik Nol Islam Nusantara;
Mengapa Bukan Aceh? Serambi, 31/03/2017)
Lagipula,
jika merujuk kepada asal mula terminologi Islam Nusantara. Kita semua tahu
bahwa Islam Nusantara pada mulanya digembar-gemborkan oleh masyarakat NU di
Jawa sana. Pada mulanya ada tudingan bahwa narasi Islam Nusantara adalah tipu
muslihat kaum JIL (Jama’ah Islam Liberal) dan JIN (Jama’ah Islam Nusantara).
Katanya mereka ingin menjadikan Brobudur sebagai ka’bahnya dan kain batik
sebagai kafannya. Begitulah yang beredar di meme-meme media sosial.
Tak
terkecuali di Aceh. Wacana Islam Nusantara juga pernah di respon secara negatif.
Sebagian mengatakan Islam Aceh lebih baik daripada Islam Nusantara, sebagian
lagi mengatakan bahwa tidak ada Islam Nusantara yang ada hanya Islam saja.
Perdebatan panas sempat terjadi ketika Affan Ramli misalnya merepson isu Islam
Nusantara lewat tulisan Islam Nusantara Fansurian (Serambi, 31 Juli 2015). Ia menawarkan sebuah konstruk Weltanschauung-lehre
Fansurian. Ia menyatakan bahwa perlu untuk mereset ulang ajaran Hamzah
Fansuri (sebagai representasi Islam Nusantara) dan merumuskan dua kelompok
konstruksi bangunan keacehan yaitu kelompok pertama Mabahisul wujud (ontologi) dan
nadhariyatul makrifat (Epistimologi). Kemudian di level kedua harus disusun
kerangka Ushul Fiqih dan Ushul Tadhbiq atau metode tekhnis yang tidak boleh
keluar dari kerangka pertama. Namun kemudian Zulkhairi dalam opini Islam
Nusantara vs Islam Aceh (Serambi, 07 Agustus 2015) menolak rancangan
tersebut. Menurutnya, Islam Nusantara tidak lebih dari perpanjangan tangan
pergerakan kaum Islam Liberal sehingga ia menawarkan Islam Aceh dan “menolak”
Islam Nusantara.
Azyumardi
Azra juga pernah menuliskan bahwa proses asimilasi Islam ke wilayah Nusantara
adalah proses asimilasi sufistik (Akar Keislaman, 2013). Seharusnya beliau
menyadari bahwa kata “sufistik” bukanlah diskursus historis. Ia adalah
pengejawantahan filosofis atas nilai-nilai keislaman. Sufististik adalah
nilai-nilai dialektis antara keislaman dan kemanusiaan, antara agama, budaya
dan masyarakat. Islam Sufistik adalah Islam yang lebih mengedepankan essensi
dan substansi daripada sekedar atribut, perangkat dan simbol semata.
Oleh
karenanya, sejarah peradaban Islam di Nusantara di masa lampu lebih kepada
transformasi kebudayaan dalam bentuk pemikiran-pemikiran teo-suf. Peradaban
Islam Nusantara tidak didominasi oleh warisan-warisan artefak, seni ukir atau
istana-istana raja. Peradaban tersebut justru dilihat dari warisan-warisan
sistem kebudayaan dan kitab-kitab masa lampau.
Peradaban
Islam Nusantara daripada mewariskan bangunan fisik, lebih mewariskan sistem
nilai, sistem berfikir dan sistem berbudaya. Sistem nilai artinya masyarakat
nusantara memiliki prinsip-prinsip, norma-norma dan nilai kebudayaan yang
dianut. Sedangkan sistem berfikir adalah pola-pola pemikiran lebih di dominasi
oleh model tasawuf falsafi atau dalam bahasa Abuya Amran Waly sebagai Tauhid
Tasawuf. Sedangkan sistem berbudaya dalam masyarakat Aceh adalah bahwa
praktek-praktek kebudayaan, tradisi, dan amalan sehari-hari masyarakat muslim
di Indonesia bersumber dari spirit sufisme yang mengakar. Hanya saja kemudian
praktek-praktek seperti ini dianggap bid’ah dan khurafat oleh mereka yang
datang terkemudian.
Mulyadi
dalam tesisnya yang berjudul Islam Nusantara prespektif Syed Mohammad Naquib
Al-Attas menyebutkan bahwa proses penyatuan Islam dengan nilai-nilai
kebudayaan Nusantara bukan meletakkan animisme dan dinamisme sebagai dasar
konseptualisasinya. Akan tetapi disana ada konstruksi wujud yang memancarkan
cahaya ketauhidan, kesatuan dan keharmonisan dalam corak-corak sastra sufistik
yang tinggi. (Mulyadi, 2016)
Narasi
Islam bercorak teo-sufi dikembangkan secara sempurna oleh Hamzah Fansuri hingga
menjadi model keislaman yang berkembang di Nusantara hingga saat ini. Dengan
kata lain bahwa Islam yang ada di Nusantara ini, dari Aceh hingga Maluku
(Bahkan Papua) termasuk wilayah-wilayah lainnya di Asia Tenggara adalah Islam
yang bercorak teo-sufi yang dikembangkan pertama kali oleh Hamzah Fansuri.
Sehingga boleh dikatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah peletak dasar bagi model
keislaman yang berkembang di Nusantara.
Barus
dan Hamzah Fansuri
Barus
adalah kota penghasil khamper bahkan sejak sebelum masehi. Seiring berjalannya
waktu,di kota tersebut kemudian berkembang ajaran Islam-Mistik yang dibawa oleh
Hamzah Fansuri. Abdul Hadi W.M menduga bahwa Hamzah Fansuri menghabiskan sisa
hidupnya di Barus. Yaitu ketika kota tersebut mulai sepi dan ditinggalkan oleh
pelancong kalah pengaruh dengan kota-kota lainnya di wilayah Aceh. Sebelum
ditaklukkan, Barus juga merupakan kerajaan kecil yang merdeka dan makmur. (Abdul
Hadi W.M 1995)
Barus
kemudian memunculkan begitu banyak ulama sufi yang berusaha mengkonstruk
keislaman corak tasawuf-falsafi. Beberapa diantaranya misalnya Hamzah Fansuri,
Abdul Murad dan Burhanpuri. (Hawash Abdullah, 1930). Yang paling besar jasanya
dan yang paling berhasil diantara mereka tentu saja Hamzah Fansuri. Ia berhasil
mengkonstruk corak keislaman dan kebudayaan bercorak teo-sufisme. Ia menjadikan
wujǔd sebagai basis ontologi dari keilmuannya dan meletakkan ma’rifah
sebagai epistimologinya. Artinya ketika ingin menyadari hakikat kefanaan alam
dan keajalian Tuhan, ia menjadikan faham wujǔd sebagai manifestasi
paradigma ketauhidannya. Sedangkan ketika ingin menjadikan perjumpaan dalam
bentuk pengalaman spiritual sebagai dasar bagi segala ibadah, zikir dan amal
baik, ia meletakkan ma’rifah sebagai basis orientasinya. Sama seperti kaum Sufi
yang menafsirkan kata liya’budun (untuk menyembah Allah) dalam Al-Dzâriât
(51:65) menjadi liya’rifun (untuk berma’rifat kepada Allah).
Akhirnya,
narasi Barus sebagai titik Nol Peradaban Islam Nusantara adalah narasi in
memorian pada sosok Hamzah Fansuri yang mampu meletakkan konsep wujud
sebagai basis hakikat ke-hambaan-nya dan ma’rifah sebagai orientasi
peng-hambaan-nya. Hamzah telah mampu mengkonstruk Islam Nusantara berbasis
sufistik yang lebih mengedepankan dimensi batin, pembinaan rohani dan
intelektual. Islam Nusantara berbasis sufistik adalah manifestasi dari
kepercayaan pada pancaran kebenaran yang satu dalam wujud pluralitas dan
toleransi. Sehingga meletakkan Barus sebagai titik Nol Islam Nusantara bukanlah
perkara yang sepenuhnya keliru. Lagipula, bukankah Hamzah Fansuri dan ajarannya
juga pernah diusir keluar dari wilayah Aceh?
No comments:
Post a Comment