Saturday, 3 June 2017

Memetakan Narasi Islam Nusantara

Opini Harian Serambi Indonesia 17 Mei 2017
Ramli Cibro

Pagi 15 Mei 2017 di UIN Ar-Raniry Banda Aceh diadakan seminar bertema Mengukuhkan Titik Nol Islam Nusantara. Seminar yang mendatangkan Mantan Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra tersebut seolah mengisi kehausan narasi intelektual rakyat Aceh yang merasa didhalimi oleh peletakan titik Nol Islam Nusantara di Barus. Padahal semua orang tahu, sejarah pun tahu bahwa Aceh adalah titik pertama Islam berkembang di Nusantara. Seminar Nasional di ruangan yang hanya muat 140 peserta tersebut sedikit menghibur hati. Setidaknya ada satu pengukuhan psikologis bahwa memang benarlah tanoh endatu mereka sebagai batu loncatan bagi penyebaran Islam di Negeri ini.
Uniknya, seminar yang hanya diisi oleh pemateri dari intelektual di bidang sejarah tersebut justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda-benda satu sama lain. Prof. Dr. Azyumardi Azra berpendapat bahwa Islam Nusantara bermula dari Pasai. Sedangkan Prof. Dr. Farid Wajdi berpendapat bahwa Islam Nusantara muncul di Peurlak. Sedangkan Husaini Ibrahim, seorang sejarawan Aceh meyakini bahwa Islam Nusantara lahir di Lamuri. Walaupun berbeda pendapat, ketiga sejarawan tersebut setidaknya meyakini bahwa bahwa Islam Nusantara bermula di Aceh, bukan di Barus (walaupun konon Barus dulunya juga bagian dari imperial Aceh)

Jika merujuk kebelakang, sejatinya diskursus Islam Nusantara bukanlah produk historis semata. Ia hadir dari sebuah perdebatan mengenai model apa yang cocok digunakan untuk menjadi model keislaman di Nusantara guna membendung radikalisme dan ekstrimisme. Memang, jika semata-mata menggunakan pendekatan sejarah, posisi Aceh tidak akan dapat digantikan oleh siapapun. Namun persoalan Islam Nusantara bukan persoalan sejarah. Ia adalah narasi intelektual, sebuah diskurus filosofis; kajian ilmiah hermeneutis dan fenomenologis yang ingin menegaskan kapan dan dimana kematangan diskursus perkawinan antara keislaman dan ke nusantaraan itu terjadi. (Ramli Cibro, Titik Nol Islam Nusantara; Mengapa Bukan Aceh? Serambi, 31/03/2017) 
Lagipula, jika merujuk kepada asal mula terminologi Islam Nusantara. Kita semua tahu bahwa Islam Nusantara pada mulanya digembar-gemborkan oleh masyarakat NU di Jawa sana. Pada mulanya ada tudingan bahwa narasi Islam Nusantara adalah tipu muslihat kaum JIL (Jama’ah Islam Liberal) dan JIN (Jama’ah Islam Nusantara). Katanya mereka ingin menjadikan Brobudur sebagai ka’bahnya dan kain batik sebagai kafannya. Begitulah yang beredar di meme-meme media sosial.
Tak terkecuali di Aceh. Wacana Islam Nusantara juga pernah di respon secara negatif. Sebagian mengatakan Islam Aceh lebih baik daripada Islam Nusantara, sebagian lagi mengatakan bahwa tidak ada Islam Nusantara yang ada hanya Islam saja. Perdebatan panas sempat terjadi ketika Affan Ramli misalnya merepson isu Islam Nusantara lewat tulisan Islam Nusantara Fansurian (Serambi, 31 Juli 2015).  Ia menawarkan sebuah konstruk Weltanschauung-lehre Fansurian. Ia menyatakan bahwa perlu untuk mereset ulang ajaran Hamzah Fansuri (sebagai representasi Islam Nusantara) dan merumuskan dua kelompok konstruksi bangunan keacehan yaitu kelompok pertama Mabahisul wujud (ontologi) dan nadhariyatul makrifat (Epistimologi). Kemudian di level kedua harus disusun kerangka Ushul Fiqih dan Ushul Tadhbiq atau metode tekhnis yang tidak boleh keluar dari kerangka pertama. Namun kemudian Zulkhairi dalam opini Islam Nusantara vs Islam Aceh (Serambi, 07 Agustus 2015) menolak rancangan tersebut. Menurutnya, Islam Nusantara tidak lebih dari perpanjangan tangan pergerakan kaum Islam Liberal sehingga ia menawarkan Islam Aceh dan “menolak” Islam Nusantara.
Azyumardi Azra juga pernah menuliskan bahwa proses asimilasi Islam ke wilayah Nusantara adalah proses asimilasi sufistik (Akar Keislaman, 2013). Seharusnya beliau menyadari bahwa kata “sufistik” bukanlah diskursus historis. Ia adalah pengejawantahan filosofis atas nilai-nilai keislaman. Sufististik adalah nilai-nilai dialektis antara keislaman dan kemanusiaan, antara agama, budaya dan masyarakat. Islam Sufistik adalah Islam yang lebih mengedepankan essensi dan substansi daripada sekedar atribut, perangkat dan simbol semata.
Oleh karenanya, sejarah peradaban Islam di Nusantara di masa lampu lebih kepada transformasi kebudayaan dalam bentuk pemikiran-pemikiran teo-suf. Peradaban Islam Nusantara tidak didominasi oleh warisan-warisan artefak, seni ukir atau istana-istana raja. Peradaban tersebut justru dilihat dari warisan-warisan sistem kebudayaan dan kitab-kitab masa lampau.
Peradaban Islam Nusantara daripada mewariskan bangunan fisik, lebih mewariskan sistem nilai, sistem berfikir dan sistem berbudaya. Sistem nilai artinya masyarakat nusantara memiliki prinsip-prinsip, norma-norma dan nilai kebudayaan yang dianut. Sedangkan sistem berfikir adalah pola-pola pemikiran lebih di dominasi oleh model tasawuf falsafi atau dalam bahasa Abuya Amran Waly sebagai Tauhid Tasawuf. Sedangkan sistem berbudaya dalam masyarakat Aceh adalah bahwa praktek-praktek kebudayaan, tradisi, dan amalan sehari-hari masyarakat muslim di Indonesia bersumber dari spirit sufisme yang mengakar. Hanya saja kemudian praktek-praktek seperti ini dianggap bid’ah dan khurafat oleh mereka yang datang terkemudian.
Mulyadi dalam tesisnya yang berjudul Islam Nusantara prespektif Syed Mohammad Naquib Al-Attas menyebutkan bahwa proses penyatuan Islam dengan nilai-nilai kebudayaan Nusantara bukan meletakkan animisme dan dinamisme sebagai dasar konseptualisasinya. Akan tetapi disana ada konstruksi wujud yang memancarkan cahaya ketauhidan, kesatuan dan keharmonisan dalam corak-corak sastra sufistik yang tinggi. (Mulyadi, 2016)
Narasi Islam bercorak teo-sufi dikembangkan secara sempurna oleh Hamzah Fansuri hingga menjadi model keislaman yang berkembang di Nusantara hingga saat ini. Dengan kata lain bahwa Islam yang ada di Nusantara ini, dari Aceh hingga Maluku (Bahkan Papua) termasuk wilayah-wilayah lainnya di Asia Tenggara adalah Islam yang bercorak teo-sufi yang dikembangkan pertama kali oleh Hamzah Fansuri. Sehingga boleh dikatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah peletak dasar bagi model keislaman yang berkembang di Nusantara.
Barus dan Hamzah Fansuri
Barus adalah kota penghasil khamper bahkan sejak sebelum masehi. Seiring berjalannya waktu,di kota tersebut kemudian berkembang ajaran Islam-Mistik yang dibawa oleh Hamzah Fansuri. Abdul Hadi W.M menduga bahwa Hamzah Fansuri menghabiskan sisa hidupnya di Barus. Yaitu ketika kota tersebut mulai sepi dan ditinggalkan oleh pelancong kalah pengaruh dengan kota-kota lainnya di wilayah Aceh. Sebelum ditaklukkan, Barus juga merupakan kerajaan kecil yang merdeka dan makmur. (Abdul Hadi W.M 1995)
Barus kemudian memunculkan begitu banyak ulama sufi yang berusaha mengkonstruk keislaman corak tasawuf-falsafi. Beberapa diantaranya misalnya Hamzah Fansuri, Abdul Murad dan Burhanpuri. (Hawash Abdullah, 1930). Yang paling besar jasanya dan yang paling berhasil diantara mereka tentu saja Hamzah Fansuri. Ia berhasil mengkonstruk corak keislaman dan kebudayaan bercorak teo-sufisme. Ia menjadikan wujǔd sebagai basis ontologi dari keilmuannya dan meletakkan ma’rifah sebagai epistimologinya. Artinya ketika ingin menyadari hakikat kefanaan alam dan keajalian Tuhan, ia menjadikan faham wujǔd sebagai manifestasi paradigma ketauhidannya. Sedangkan ketika ingin menjadikan perjumpaan dalam bentuk pengalaman spiritual sebagai dasar bagi segala ibadah, zikir dan amal baik, ia meletakkan ma’rifah sebagai basis orientasinya. Sama seperti kaum Sufi yang menafsirkan kata liya’budun (untuk menyembah Allah) dalam Al-Dzâriât (51:65) menjadi liya’rifun (untuk berma’rifat kepada Allah).
Akhirnya, narasi Barus sebagai titik Nol Peradaban Islam Nusantara adalah narasi in memorian pada sosok Hamzah Fansuri yang mampu meletakkan konsep wujud sebagai basis hakikat ke-hambaan-nya dan ma’rifah sebagai orientasi peng-hambaan-nya. Hamzah telah mampu mengkonstruk Islam Nusantara berbasis sufistik yang lebih mengedepankan dimensi batin, pembinaan rohani dan intelektual. Islam Nusantara berbasis sufistik adalah manifestasi dari kepercayaan pada pancaran kebenaran yang satu dalam wujud pluralitas dan toleransi. Sehingga meletakkan Barus sebagai titik Nol Islam Nusantara bukanlah perkara yang sepenuhnya keliru. Lagipula, bukankah Hamzah Fansuri dan ajarannya juga pernah diusir keluar dari wilayah Aceh?

No comments:

Post a Comment