![]() |
Pikiran Merdeka, Senin, 26 Juni 2017 |
Ramli Cibro
Kamis
1 Juni 2017, di halaman Gedung Pancasila komplek kementerian Luar Negeri Jakarta
Jokowi menyampaikan pidato peringatan
hari lahir ke 72 Pancasila. Pidato yang katanya terinspirasi dari pidato Bung
Karno tersebut cukup kontroversi lantaran kalimat, “Saya Pancasila!” yang
diungkapkan dinilai oleh sebagian kalangan kurang tepat. Kata-kata tersebut
dianggap telah mereduksi makna Pancasila. Seolah Jokowi dengan kata-katanya
telah menepatkan Pancasila pada ruang makna yang sempit. Seolah, jika Jokowi
adalah Pancasila maka yang lain bukan Pancasila.
Secara
logis, kata-kata Jokowi memang keliru dan reduksionis. Ini bukan pilihan kata
yang tepat bagi seorang presiden di Negara demokratis yang menolak hegemoni
individu tertentu. Kata-kata yang menyimbolkan seseorang dengan lambang negara
mungkin tepat jika diucapkan oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlaq
semisal raja atau diktator. Namun Jokowi adalah presiden republik Indonesia.
Mendefenisikan diri sebagai Pancasila jelas merupakan kekeliruan yang fatal.
Namun,
membaca Jokowi tidak tepat jika sekedar membaca apa yang ia sampaikan. Perlu
ada pembacaan khusus untuk memahami mengapa Jokowi berani mengucapkan perkataan
tersebut. Perlu dilihat apa yang melatarbelakangi kata-kata Jokowi itu. Dan
perlu juga dikaji prespektif apa yang digunakan oleh Jokowi sehingga ‘nekat’
mengucapkannya.
Kata-kata
“Saya Pancasila!” mengingatkan penulis pada ungkapan syatahat kaum mistik timur
Persia. Manshur Al-Hallaj (w. 922 M) terkenal dengan ungkapannya yang fenomenal
yaitu “Ana Al-Haq” atau “Saya-lah Sang Tuhan.” Kata-kata tersebut secara akal
dan teologi jelas mencirikan sebuah kekufuran. Al-Hallaj dituding telah
melakukan penistaan terhadap Tuhan dan telah murtad. Kata “Ana Al-Haq,”
dianggap memiliki konsekwensi dosa yang sangat besar melebihi dosa apapun.
Mereka berkata “Bagaimana mungkin seorang Al-Hallaj mengklaim diri sebagai
Tuhan?” Akhirnya para ulama dimasanya sepakat untuk menggantung Al-Hallaj.
Namun
selang beberapa waktu setelah penggantungannya, orang-orang mulai merenungi
maksud hakiki dari kata-kata Al-Hallaj. Orang-orang mulai melakukan kontemplasi
intelektual untuk memahaminya secara lebih utuh. Orang-orang kemudian sadar
bahwa Al-Hallaj bukan sedang mengklaim diri sebagai Tuhan. Akan tetapi itu
merupakan bentuk ketauhidan tertinggi, betapa sebenarnya eksistensi Al-Hallaj
adalah fana dan yang kekal hanyalah Dzat-Nya Yang Maha Kuasa. Orang-orang mulai
menyadari bahwa kata-kata syatahat tersebut adalah pengakuan tertinggi atas
ketuhanan, tujuan tertinggi manusia untuk mencapai penyatuan.
Jokowi
sedari awal adalah seorang Jawa yang memiliki pandangan spiritualitas
masyarakat Jawa. Disebutkan bahwa tujuan tertinggi kehidupan spiritualitas
orang Jawa adalah persatuan hamba dan Tuhan (manunggaling kawula gusti).
Persatuan itulah tujuan mistik Jawa. Isi Kawruh mistik adalah kesatuan
antara keakuan dan Yang Ilahi. Pengertian tentang kesatuan Tuhan dan manusia
dalam mistik jawa merupakan puncak kemajuan Rohani. (Christina S. Handayani dan
Ardhian Novianto, 53:2004).
Sebagai
seorang negarawan Jokowi kemudian menerjemahkan konsep persatuan dari bahasa
mistik ke bahasa politik. Jokowi ingin menjelaskan bahwa secara politis, kita
berada di dalam Pancasila. Setiap tindakan dan kesadaran kita harus tidak boleh
keluar dari prespektif mistik-politik Pancasila. Jokowi bukan ingin mereduksi
makna Pancasila atau mengklaim diri sebagai orang yang paling Pancasila. Akan
tetapi ia ingin menyatakan bahwa Jalan yang ia tempuh adalah jalan menuju
Pancasila. Bahwa kesadaran mistik-politik tertinggi yang ingin ia capai adalah
adalah kesadaran Pancasila.
Ini
penting untuk diungkapkan. Mengingat akhir-akhir ini bangsa Indonesia sedang
mengalami krisis nasionalisme yang akut. Sebagian pihak bahkan secara
terang-terangan mengimajinasikan ideologi-ideologi yang bertentangan dengan
ideologi Pancasila. Menurut mereka, kekacauan negeri adalah karena ideologi
Pancasila yang dinilai sekuler, tidak pro-rakjat dan tidak pro-Islam. Pandangan-padangan
seperti ini perlu dibendung dengan penguatan implementasi nilai-nilai makna
Pancasila.
Lebih
parah lagi kemudian adanya tudingan bahwa Jokowi adalah seorang PKI. Ini
sejatinya adalah tuduhan yang cukup serius. Bagaimana mungkin orang nomor satu
di negeri ini menganut ideologi yang bertentangan dengan ideologi Negara yang
dipimpinnya? Tudingan yang tidak terbukti tersebut dapat memicu kerapuhan
kepercayaan rakjat kepada pimpinan dan kepada negaranya. Tudingan bahwa Jokowi
adalah seorang PKI harus dibendung dan diantisipasi demi tegaknya kedaulatan
bangsa dan ideologi Pancasila.
Dalam
situasi Negara yang dibayang-bayangi oleh ideologi yang berbeda, kata “Saya
Pancasila.” adalah syatahat politik yang patut diacungi jempol. Jokowi
ingin menghadirkan Pancasila sebagai sebuah Kedirian, bukan sebagai “yang
lain.” Selama ini Pancasila difahami sebagai sesuatu “yang lain.” Ia hanya
dihafalkan, di tempel di lembaran-lembaran nasional seperti lembaran uang dan
dokumen. Pancasila selama ini hanya diingat sebagai bagian dari sejarah,
sesuatu yang transenden, dan terasing di “dinding-dinding arasy” istana dan gedung
DPR.
Kata
”Saya Pancasila,” adalah upaya untuk mendobrak transendensi tersebut. Jokowi
ingin menghadirkan Pancasila dalam ranah aplikasi, terimplementasi dalam setiap
denyut langkah bangsa, hadir dan mewarnai sekitar kita. Jokowi tidak ingin Pancasila
menjadi sesuatu “yang lain,” “yang jauh,” yang agung namun terasing
(transenden). Jokowi ingin kita dapat menyentuh pancasila, dapat merasakannya dan
menjadi bagian dalam lingkupannya.
Dengan
kata lain, “Saya Pancasila” adalah ketercelupan utuh Jokowi dalam keagungan
Pancasila. Jokowi ingin kita juga ikut tercelup di dalamnya. Artinya bahwa
Jokowi tercerap dalam spirit Pancasila. Bahwa setiap langkah, gerak dan
keputusannya menggunakan paradigma dan nilai Pancasila. Jokowi tidak ingin
menjadikan Pancasila sebagai sesuatu “Yang Lain” yang seolah baru kita kenal
dan kita pelajari. Jokowi ingin menegaskan sebuah “kedirian” dalam makna
Pancasila, bahwa sebenarnya kita semua sedang menjalankan nilai-nilai keluhuran
Pancasila. Bahwa kita semua sedang tercerap dalam spiritualitas Pancasila.
Bahwa kita semua dan Pancasila adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan
dan tak akan dipisahkan.
Maka
dari Prespektif ini, kata “Saya Pancasila,” harus dapat ditalar dari prespekif
imanensi dan penyatuan. Seperti Al-Hallaj yang merasakan penyatuan hakiki
dengan Dzat yang disembahnya, Jokowi ingin mengalami penyatuan-politis dengan
ideologi Pancasila yang dianutnya. “Saya Indonesia, Kita Indonesia, Saya
Pancasila, Kita Pancasila,” adalah penegasan sekaligus sebuah ajakan. Bahwa
Jokowi ingin menegaskan dirinya sebagai bagian dari ideologi Pancasila. Bahwa
Jokowi juga ingin mengajak kita menjadi Pancasila dan tidak tergoda dengan
ideologi-ideologi yang cacat seperti PKI atau ideologi-ideologi yang tidak
memiliki epistimologi-historis yang cukup kuat seperti Khilafah dan ISIS. Semoga.
![]() |
Tabloid Pikiran Merdeka Aceh, Edisi 26 Juni 2017 |
No comments:
Post a Comment