Saturday, 8 July 2017

MEMBACA SYATAHAT POLITIK JOKOWI


Pikiran Merdeka, Senin, 26 Juni 2017

Ramli Cibro

 Kamis 1 Juni 2017, di halaman Gedung Pancasila komplek kementerian Luar Negeri Jakarta Jokowi menyampaikan  pidato peringatan hari lahir ke 72 Pancasila. Pidato yang katanya terinspirasi dari pidato Bung Karno tersebut cukup kontroversi lantaran kalimat, “Saya Pancasila!” yang diungkapkan dinilai oleh sebagian kalangan kurang tepat. Kata-kata tersebut dianggap telah mereduksi makna Pancasila. Seolah Jokowi dengan kata-katanya telah menepatkan Pancasila pada ruang makna yang sempit. Seolah, jika Jokowi adalah Pancasila maka yang lain bukan Pancasila.
Secara logis, kata-kata Jokowi memang keliru dan reduksionis. Ini bukan pilihan kata yang tepat bagi seorang presiden di Negara demokratis yang menolak hegemoni individu tertentu. Kata-kata yang menyimbolkan seseorang dengan lambang negara mungkin tepat jika diucapkan oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlaq semisal raja atau diktator. Namun Jokowi adalah presiden republik Indonesia. Mendefenisikan diri sebagai Pancasila jelas merupakan kekeliruan yang fatal.
Namun, membaca Jokowi tidak tepat jika sekedar membaca apa yang ia sampaikan. Perlu ada pembacaan khusus untuk memahami mengapa Jokowi berani mengucapkan perkataan tersebut. Perlu dilihat apa yang melatarbelakangi kata-kata Jokowi itu. Dan perlu juga dikaji prespektif apa yang digunakan oleh Jokowi sehingga ‘nekat’ mengucapkannya. 

Kata-kata “Saya Pancasila!” mengingatkan penulis pada ungkapan syatahat kaum mistik timur Persia. Manshur Al-Hallaj (w. 922 M) terkenal dengan ungkapannya yang fenomenal yaitu “Ana Al-Haq” atau “Saya-lah Sang Tuhan.” Kata-kata tersebut secara akal dan teologi jelas mencirikan sebuah kekufuran. Al-Hallaj dituding telah melakukan penistaan terhadap Tuhan dan telah murtad. Kata “Ana Al-Haq,” dianggap memiliki konsekwensi dosa yang sangat besar melebihi dosa apapun. Mereka berkata “Bagaimana mungkin seorang Al-Hallaj mengklaim diri sebagai Tuhan?” Akhirnya para ulama dimasanya sepakat untuk menggantung Al-Hallaj.
Namun selang beberapa waktu setelah penggantungannya, orang-orang mulai merenungi maksud hakiki dari kata-kata Al-Hallaj. Orang-orang mulai melakukan kontemplasi intelektual untuk memahaminya secara lebih utuh. Orang-orang kemudian sadar bahwa Al-Hallaj bukan sedang mengklaim diri sebagai Tuhan. Akan tetapi itu merupakan bentuk ketauhidan tertinggi, betapa sebenarnya eksistensi Al-Hallaj adalah fana dan yang kekal hanyalah Dzat-Nya Yang Maha Kuasa. Orang-orang mulai menyadari bahwa kata-kata syatahat tersebut adalah pengakuan tertinggi atas ketuhanan, tujuan tertinggi manusia untuk mencapai penyatuan.
Jokowi sedari awal adalah seorang Jawa yang memiliki pandangan spiritualitas masyarakat Jawa. Disebutkan bahwa tujuan tertinggi kehidupan spiritualitas orang Jawa adalah persatuan hamba dan Tuhan (manunggaling kawula gusti). Persatuan itulah tujuan mistik Jawa. Isi Kawruh mistik adalah kesatuan antara keakuan dan Yang Ilahi. Pengertian tentang kesatuan Tuhan dan manusia dalam mistik jawa merupakan puncak kemajuan Rohani. (Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, 53:2004).
Sebagai seorang negarawan Jokowi kemudian menerjemahkan konsep persatuan dari bahasa mistik ke bahasa politik. Jokowi ingin menjelaskan bahwa secara politis, kita berada di dalam Pancasila. Setiap tindakan dan kesadaran kita harus tidak boleh keluar dari prespektif mistik-politik Pancasila. Jokowi bukan ingin mereduksi makna Pancasila atau mengklaim diri sebagai orang yang paling Pancasila. Akan tetapi ia ingin menyatakan bahwa Jalan yang ia tempuh adalah jalan menuju Pancasila. Bahwa kesadaran mistik-politik tertinggi yang ingin ia capai adalah adalah kesadaran Pancasila.
Ini penting untuk diungkapkan. Mengingat akhir-akhir ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis nasionalisme yang akut. Sebagian pihak bahkan secara terang-terangan mengimajinasikan ideologi-ideologi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Menurut mereka, kekacauan negeri adalah karena ideologi Pancasila yang dinilai sekuler, tidak pro-rakjat dan tidak pro-Islam. Pandangan-padangan seperti ini perlu dibendung dengan penguatan implementasi nilai-nilai makna Pancasila.
Lebih parah lagi kemudian adanya tudingan bahwa Jokowi adalah seorang PKI. Ini sejatinya adalah tuduhan yang cukup serius. Bagaimana mungkin orang nomor satu di negeri ini menganut ideologi yang bertentangan dengan ideologi Negara yang dipimpinnya? Tudingan yang tidak terbukti tersebut dapat memicu kerapuhan kepercayaan rakjat kepada pimpinan dan kepada negaranya. Tudingan bahwa Jokowi adalah seorang PKI harus dibendung dan diantisipasi demi tegaknya kedaulatan bangsa dan ideologi Pancasila.
Dalam situasi Negara yang dibayang-bayangi oleh ideologi yang berbeda, kata “Saya Pancasila.” adalah syatahat politik yang patut diacungi jempol. Jokowi ingin menghadirkan Pancasila sebagai sebuah Kedirian, bukan sebagai “yang lain.” Selama ini Pancasila difahami sebagai sesuatu “yang lain.” Ia hanya dihafalkan, di tempel di lembaran-lembaran nasional seperti lembaran uang dan dokumen. Pancasila selama ini hanya diingat sebagai bagian dari sejarah, sesuatu yang transenden, dan terasing di “dinding-dinding arasy” istana dan gedung DPR.
Kata ”Saya Pancasila,” adalah upaya untuk mendobrak transendensi tersebut. Jokowi ingin menghadirkan Pancasila dalam ranah aplikasi, terimplementasi dalam setiap denyut langkah bangsa, hadir dan mewarnai sekitar kita. Jokowi tidak ingin Pancasila menjadi sesuatu “yang lain,” “yang jauh,” yang agung namun terasing (transenden). Jokowi ingin kita dapat menyentuh pancasila, dapat merasakannya dan menjadi bagian dalam lingkupannya.
Dengan kata lain, “Saya Pancasila” adalah ketercelupan utuh Jokowi dalam keagungan Pancasila. Jokowi ingin kita juga ikut tercelup di dalamnya. Artinya bahwa Jokowi tercerap dalam spirit Pancasila. Bahwa setiap langkah, gerak dan keputusannya menggunakan paradigma dan nilai Pancasila. Jokowi tidak ingin menjadikan Pancasila sebagai sesuatu “Yang Lain” yang seolah baru kita kenal dan kita pelajari. Jokowi ingin menegaskan sebuah “kedirian” dalam makna Pancasila, bahwa sebenarnya kita semua sedang menjalankan nilai-nilai keluhuran Pancasila. Bahwa kita semua sedang tercerap dalam spiritualitas Pancasila. Bahwa kita semua dan Pancasila adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan dan tak akan dipisahkan.
Maka dari Prespektif ini, kata “Saya Pancasila,” harus dapat ditalar dari prespekif imanensi dan penyatuan. Seperti Al-Hallaj yang merasakan penyatuan hakiki dengan Dzat yang disembahnya, Jokowi ingin mengalami penyatuan-politis dengan ideologi Pancasila yang dianutnya. “Saya Indonesia, Kita Indonesia, Saya Pancasila, Kita Pancasila,” adalah penegasan sekaligus sebuah ajakan. Bahwa Jokowi ingin menegaskan dirinya sebagai bagian dari ideologi Pancasila. Bahwa Jokowi juga ingin mengajak kita menjadi Pancasila dan tidak tergoda dengan ideologi-ideologi yang cacat seperti PKI atau ideologi-ideologi yang tidak memiliki epistimologi-historis yang cukup kuat seperti Khilafah dan ISIS. Semoga.
Tabloid Pikiran Merdeka Aceh, Edisi 26 Juni 2017




No comments:

Post a Comment