Oleh : Ramli Cibro
Memang agak aneh ketika ditengah keterpurukan
ekonomi, dunia pendidikan justru semakin memperlihatkan taring-nya yang tidak
bersahabat. Sebagai tukang foto copy yang memilih beroperasi di kampung
daripada di perkotaan dekat kampus, membuat saya merasakan langsung dampak
keterpurukan ekonomi itu. Disela-sela menunggu hasil kopian, saya sering
bertanya kepada para pelanggan mengenai pekerjaan, penghasilan, suka duka
hingga bagaimana mereka menyekolahkan anaknya. Banyak orang tua yang mengeluh
betapa biaya sekolah semakin menggila dari hari ke hari. Memang kebanyakan
sekolah tidak memungut biaya kecuali mungkin untuk seragam olah raga dan baju
batik. Namun, beberapa kebijakan terasa sangat memberatkan orang tua siswa.
Salah satu dari kebijakan tersebut adalah kewajiban untuk memfoto-copy
buku-buku paket pelajaran.
Sebagai tukang foto copy saya sering
menghitung bahwa rata-rata setiap tahun ada sekitar sepuluh sampai lima belas
buah buku foto copy yang harus di copy khususnya oleh siswa pada jejang
pendidikan SD dan MI. Rata-rata harga satu kopian buku antara 20 sampai 30
ribu. Jika dikalkulasikan 15 buku kali 25 ribu, setiap tahun, anggaran buku
satu siswa dapat mencapai Rp. 300.000 ribu lebih. Itu belum lagi kewajiban
untuk ganti-ganti buku tulis setiap tahun ajaran atau larangan menggunakan buku
tulis lama yang hanya terpakai beberapa lembar untuk dipakai pada tahun ajaran
baru.
Saya kembali bertanya-tanya apa yang sedang
terjadi di sekolah-sekolah kita? Sebagian guru memang mengeluhkan bahwa buku
paket pelajaran yang diberikan oleh pemerintah sangatlah terbatas. Ini memang
ironis di tengah anggaran yang katanya konon melimpah ruah. Namun yang lebih
ironis lagi adalah kreatifitas dan rasa empati yang tidak mampu ditunjukkan
oleh guru-guru kita. Tidak selamanya pembelajaran yang baik berarti mengkopi
seluruh buku dari halaman pengantar sampai halaman catatan. Tidak mesti
pendidikan berarti menjejali anak-anak kurikulum-kurikulum tebal nan
membosankan.
Disanalah terlihat bahwa kreatifitas para
guru perlu dipertanyakan. Apakah tidak ada cara lain mentransformasi pelajaran
tanpa harus terjerat dalam diktum-diktum beku, buku dan silabus? Bukankah
ada begitu banyak cara-cara kreatif dan menyegarkan, seperti belajar di luar
ruangan, belajar langsung dari alam, belajar berinteraksi antar siswa atau
sekali-kali belajar dengan melibatkan orang tua? Atau jangan-jangan guru-guru
kita memang banyak yang sebenarnya tidak berkompetensi untuk mengajar? Atau
malas mempersiapkan bahan ajar? Akhirnya, mereka mengambil jalan pintas lalu
kemudian menjejali anak-anak dengan buku-buku dan bacaan-bacaan?
Pihak sekolah juga seharusnya berempati
terhadap kehidupan ekonomi orang tua peserta didik yang memang sangat
memprihatinkan. Beberapa kebijakan dan peraturan sekolah cenderung terkesan
mubajir. Setiap tahun buku selalu berganti, bahkan buku pelajaran si kakak
tidak dapat dipakai oleh adiknya di tahun berikutnya karena ada ‘permainan
kurikulum,’ yang memperkosa esensi dari pendidikan itu sendiri. Jika memang ini
berdampak buruk bagi pendidikan, sudah selayaknya ia dihentikan? Apakah semua
keuntungan selalu berbicara tentang ‘satu kaum menguras kaum yang lain?’
Bukankah ada begitu banyak alternatif mencari keuntungan tanpa harus menindas
dan menguras?
Terkadang ada ‘oknum guru,’ mewajibkan
memakai buku yang isinya ‘mesti’ 100 lembar padahal yang terisi hingga akhir
tahun mungkin tidak sampai 20 halaman. Ini belum lagi kewajiban menyampul buku
dengan format tertentu atau larangan untuk menggunakan buku tahun lalu untuk
dipakai di tahun ini, baik itu buku tulis pelajaran maupun buku ulangan,
padahal buku lama baru terisi tiga atau empat halaman.
Begitu banyak fenomena-fenomena di dunia
pendidikan yang membuat kita menggaruk-garuk kepala. Mengapa dunia pendidikan malah
- terjebak dalam - dan terkesan mendukung gaya hidup hedonism dan mendukung
kapitalisme? Tidak adakah pendidikan dan pengajaran untuk kesederhanaan?
Mengapa anak-anak yang kancing bajunya copot sebelah atau celananya diikat tali
plastik malah kemudian di bully oleh guru?
Pendidikan selama ini selalu difahami
sebagai sebuah wilayah eksklusif. Guru selalu benar, kebijakan sekolah selalu
benar. Siswa yang tidak menuruti aturan selalu salah, dan siswa
yang tidak mengenakan seragam yang rapi adalah siswa yang bandel.
Konklusi-konklusi seperti ini justru menjauhkan pendidikan dari tujuan-tujuan
luhurnya sendiri yaitu menciptakan peradaban dan kemanusiaan. Komite Sekolah
misalnya, tidak lain hanyalah tempat mengapresiasikan kehendak sekolah, bukan
kehendak wali murid selalu anggota komite. Orang tua yang menentang atau
keberatan dengan kebijakan sekolah juga sering dituding sebagai orang tua yang
tidak mendukung pendidikan si anak. Hasilnya, sekolah menjadi ladang eksekutif
yang absolut dan tidak boleh dibantah. Sekolah seolah merupakan “lembaga buta”
yang tidak tahu menahu tentang lingkungannya, yang tidak peduli dengan jeritan
para orang tua murid, yang tidak peduli perasaan peserta didik. Sekolah malah telah
menjadi ‘rezim kecil’ yang mengajarkan penindasan, ketidakpedulian dan
kesewenang-wenangan.
Sekolah telah menjadi rimba menakutkan yang
terpaksa karena alasan ideologis dimasuki oleh sang anak. Karena konon jika
tidak sekolah maka kesuksesan hidup akan sulit tercapai. Hasilnya, bukan
pendidikan yang didapatkan tapi bagai mana belajar mengambil muka supaya guru
tidak marah, belajar berbohong baik kepada guru maupun orang tua, belajar
mencari-cari alasan dan kesempatan, dan artinya sekolah telah kehilangan tujuan
asalnya.
Memulai dari sikap empati dan terbuka…
Akhirnya, terlepas dari kekurangpedulian
pemerintah. Sekolah harus mengambil sikap, berperan bukan saja sebagai “Transformer
Pengetahuan,” tapi juga menjadi agen penebar kebaikan, penebar kejujuran,
penebar kasih sayang, penebar kreatifitas dan penebar keteladanan. Sekolah
bukan sekedar ladang mencari nafkah, namun lebih dari itu, sekolah adalah jalan
pengabdian dan rasa tanggung jawab.
Guru adalah nama yang mulia. Keagungan guru
seperti dalam kisah Laskar Pelangi adalah bagaimana kenyataan hidup yang
terbatas mampu membebaskan. Sekolah bukan lagi menjadi ajang adu gensi. Sekolah
juga bukan sekedar mengaminkan apa kata pemerintah. Sekolah adalah seperti pepatah, “Boh u bek beukah,
gulee beu leumak, Buah kelapa tidak dibelah tapi kuah tetap bersantan.”
Butuh ketelatenan untuk menciptakan tarian
tanpa harus tergerus dan tergulung. Butuh kreatifitas, kesabaran dan keikhlasan
yang tinggi untuk menciptakan nyanyian diantara suara letusan. Butuh kecerdasan
lebih bagaimana disatu sisi sekolah mampu mengikuti aturan pemerintah namun
disisi lain pendidikan yang pro-kemanusiaan tetap dapat diunggulkan. Butuh
tekat yang kuat, bukan sikap kepengecutan untuk berani bertindak tegas dan
melawan segala kesewenang-wenangan. Butuh lebih banyak cinta yang ditabur
daripada sekedar menjalankan sistem dan mengikuti ritual transaksional “asal
masuk kelas.”
Bangsa ini harus dibina dari sekolah.
Bangsa ini harus digerakkan dari jari jemari guru, dari keteguhan hati mereka,
dari kecerdasan daya kreatifitas mereka. Dari sikap mereka yang mengabdi
terhadap kebajikan dan kebenaran. Karena jika tidak demikian, darimana lagi
sinar pagi peradaban itu kita harapkan? Semoga Tuhan selalu membalas kebaikan
hati guru-guru kita.
No comments:
Post a Comment