Tuesday, 11 July 2017

Dari "Buku Usang" ke Buku "Foto Copy;" Wajah Pendidikan di Aceh

Oleh : Ramli Cibro




Memang agak aneh ketika ditengah keterpurukan ekonomi, dunia pendidikan justru semakin memperlihatkan taring-nya yang tidak bersahabat. Sebagai tukang foto copy yang memilih beroperasi di kampung daripada di perkotaan dekat kampus, membuat saya merasakan langsung dampak keterpurukan ekonomi itu. Disela-sela menunggu hasil kopian, saya sering bertanya kepada para pelanggan mengenai pekerjaan, penghasilan, suka duka hingga bagaimana mereka menyekolahkan anaknya. Banyak orang tua yang mengeluh betapa biaya sekolah semakin menggila dari hari ke hari. Memang kebanyakan sekolah tidak memungut biaya kecuali mungkin untuk seragam olah raga dan baju batik. Namun, beberapa kebijakan terasa sangat memberatkan orang tua siswa. Salah satu dari kebijakan tersebut adalah kewajiban untuk memfoto-copy buku-buku paket pelajaran.
Sebagai tukang foto copy saya sering menghitung bahwa rata-rata setiap tahun ada sekitar sepuluh sampai lima belas buah buku foto copy yang harus di copy khususnya oleh siswa pada jejang pendidikan SD dan MI. Rata-rata harga satu kopian buku antara 20 sampai 30 ribu. Jika dikalkulasikan 15 buku kali 25 ribu, setiap tahun, anggaran buku satu siswa dapat mencapai Rp. 300.000 ribu lebih. Itu belum lagi kewajiban untuk ganti-ganti buku tulis setiap tahun ajaran atau larangan menggunakan buku tulis lama yang hanya terpakai beberapa lembar untuk dipakai pada tahun ajaran baru.
Saya kembali bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sekolah-sekolah kita? Sebagian guru memang mengeluhkan bahwa buku paket pelajaran yang diberikan oleh pemerintah sangatlah terbatas. Ini memang ironis di tengah anggaran yang katanya konon melimpah ruah. Namun yang lebih ironis lagi adalah kreatifitas dan rasa empati yang tidak mampu ditunjukkan oleh guru-guru kita. Tidak selamanya pembelajaran yang baik berarti mengkopi seluruh buku dari halaman pengantar sampai halaman catatan. Tidak mesti pendidikan berarti menjejali anak-anak kurikulum-kurikulum tebal nan membosankan.
Disanalah terlihat bahwa kreatifitas para guru perlu dipertanyakan. Apakah tidak ada cara lain mentransformasi pelajaran tanpa harus terjerat dalam diktum-diktum beku, buku dan silabus? Bukankah ada begitu banyak cara-cara kreatif dan menyegarkan, seperti belajar di luar ruangan, belajar langsung dari alam, belajar berinteraksi antar siswa atau sekali-kali belajar dengan melibatkan orang tua? Atau jangan-jangan guru-guru kita memang banyak yang sebenarnya tidak berkompetensi untuk mengajar? Atau malas mempersiapkan bahan ajar? Akhirnya, mereka mengambil jalan pintas lalu kemudian menjejali anak-anak dengan buku-buku dan bacaan-bacaan?

Pihak sekolah juga seharusnya berempati terhadap kehidupan ekonomi orang tua peserta didik yang memang sangat memprihatinkan. Beberapa kebijakan dan peraturan sekolah cenderung terkesan mubajir. Setiap tahun buku selalu berganti, bahkan buku pelajaran si kakak tidak dapat dipakai oleh adiknya di tahun berikutnya karena ada ‘permainan kurikulum,’ yang memperkosa esensi dari pendidikan itu sendiri. Jika memang ini berdampak buruk bagi pendidikan, sudah selayaknya ia dihentikan? Apakah semua keuntungan selalu berbicara tentang ‘satu kaum menguras kaum yang lain?’ Bukankah ada begitu banyak alternatif mencari keuntungan tanpa harus menindas dan menguras?
Terkadang ada ‘oknum guru,’ mewajibkan memakai buku yang isinya ‘mesti’ 100 lembar padahal yang terisi hingga akhir tahun mungkin tidak sampai 20 halaman. Ini belum lagi kewajiban menyampul buku dengan format tertentu atau larangan untuk menggunakan buku tahun lalu untuk dipakai di tahun ini, baik itu buku tulis pelajaran maupun buku ulangan, padahal buku lama baru terisi tiga atau empat halaman.
Begitu banyak fenomena-fenomena di dunia pendidikan yang membuat kita menggaruk-garuk kepala. Mengapa dunia pendidikan malah - terjebak dalam - dan terkesan mendukung gaya hidup hedonism dan mendukung kapitalisme? Tidak adakah pendidikan dan pengajaran untuk kesederhanaan? Mengapa anak-anak yang kancing bajunya copot sebelah atau celananya diikat tali plastik malah kemudian di bully oleh guru?
Pendidikan selama ini selalu difahami sebagai sebuah wilayah eksklusif. Guru selalu benar, kebijakan sekolah selalu benar. Siswa yang tidak menuruti aturan selalu salah, dan siswa yang tidak mengenakan seragam yang rapi adalah siswa yang bandel. Konklusi-konklusi seperti ini justru menjauhkan pendidikan dari tujuan-tujuan luhurnya sendiri yaitu menciptakan peradaban dan kemanusiaan. Komite Sekolah misalnya, tidak lain hanyalah tempat mengapresiasikan kehendak sekolah, bukan kehendak wali murid selalu anggota komite. Orang tua yang menentang atau keberatan dengan kebijakan sekolah juga sering dituding sebagai orang tua yang tidak mendukung pendidikan si anak. Hasilnya, sekolah menjadi ladang eksekutif yang absolut dan tidak boleh dibantah. Sekolah seolah merupakan “lembaga buta” yang tidak tahu menahu tentang lingkungannya, yang tidak peduli dengan jeritan para orang tua murid, yang tidak peduli perasaan peserta didik. Sekolah malah telah menjadi ‘rezim kecil’ yang mengajarkan penindasan, ketidakpedulian dan kesewenang-wenangan.
Sekolah telah menjadi rimba menakutkan yang terpaksa karena alasan ideologis dimasuki oleh sang anak. Karena konon jika tidak sekolah maka kesuksesan hidup akan sulit tercapai. Hasilnya, bukan pendidikan yang didapatkan tapi bagai mana belajar mengambil muka supaya guru tidak marah, belajar berbohong baik kepada guru maupun orang tua, belajar mencari-cari alasan dan kesempatan, dan artinya sekolah telah kehilangan tujuan asalnya.
Memulai dari sikap empati dan terbuka…
Akhirnya, terlepas dari kekurangpedulian pemerintah. Sekolah harus mengambil sikap, berperan bukan saja sebagai “Transformer Pengetahuan,” tapi juga menjadi agen penebar kebaikan, penebar kejujuran, penebar kasih sayang, penebar kreatifitas dan penebar keteladanan. Sekolah bukan sekedar ladang mencari nafkah, namun lebih dari itu, sekolah adalah jalan pengabdian dan rasa tanggung jawab.
Guru adalah nama yang mulia. Keagungan guru seperti dalam kisah Laskar Pelangi adalah bagaimana kenyataan hidup yang terbatas mampu membebaskan. Sekolah bukan lagi menjadi ajang adu gensi. Sekolah juga bukan sekedar mengaminkan apa kata pemerintah. Sekolah adalah seperti pepatah, “Boh u bek beukah, gulee beu leumak, Buah kelapa tidak dibelah tapi kuah tetap bersantan.” 
Butuh ketelatenan untuk menciptakan tarian tanpa harus tergerus dan tergulung. Butuh kreatifitas, kesabaran dan keikhlasan yang tinggi untuk menciptakan nyanyian diantara suara letusan. Butuh kecerdasan lebih bagaimana disatu sisi sekolah mampu mengikuti aturan pemerintah namun disisi lain pendidikan yang pro-kemanusiaan tetap dapat diunggulkan. Butuh tekat yang kuat, bukan sikap kepengecutan untuk berani bertindak tegas dan melawan segala kesewenang-wenangan. Butuh lebih banyak cinta yang ditabur daripada sekedar menjalankan sistem dan mengikuti ritual transaksional “asal masuk kelas.”
Bangsa ini harus dibina dari sekolah. Bangsa ini harus digerakkan dari jari jemari guru, dari keteguhan hati mereka, dari kecerdasan daya kreatifitas mereka. Dari sikap mereka yang mengabdi terhadap kebajikan dan kebenaran. Karena jika tidak demikian, darimana lagi sinar pagi peradaban itu kita harapkan? Semoga Tuhan selalu membalas kebaikan hati guru-guru kita.


No comments:

Post a Comment