Friday, 29 December 2017

Cerpen; Bukan Lagi Rumahku

Cerpen (Apresiasi) Serambi, 26 November 2017
Oleh Ramli Cibro
Jam 2 malam acara usai. Para tamu kemudian pulang ke rumah masing-masing. Aku masih menunggu. Karena seingatku dulu tempat ini adalah rumahku. Dimana aku selalu merasa nyaman berada di dalamnya. Di tempat aku menghabiskan umurku yang tidak sedikit. Di tempat aku mengukir suka dan duka. Di tempat aku pertama kali mengenal apa itu jatuh cinta.
Jam 2 malam acara sudah usai. Aku masih duduk di kursi tamu, menunggu, walau tidak tahu apa yang harus kutunggu. Aku hanya merasa harus menunggu.Sampai kemudian beberapa orang santri melipat kursi-kursi tamu. Mereka semakin mendekat ke arahku. Sebagian ada yang berbisik seperti enggan. Aku tahu, mereka menungguku untuk bangkit berdiri, supaya kursi yang kududuki segera dilipat untuk dirapikan. Dan Akupun berdiri lalu pergi.
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada yang menyapaku. Tidak si Lukman yang dulu pernah meminjam uangku dan sampai hari ini belum dikembalikan. Tidak si Adil yang dulu merupakan kawanku bergulat di kolam air wudhu setiap hari minggu sebelum kolam itu kami bersihkan. Tidak si Hamid yang dulu datang ke kamarku di setiap hari rabu, menunggu aku membuka kardus berisi lauk pauk kiriman dari ibu. Dan tidak pula si Amran, kawan curhatku saat pertama kali aku mengenal jatuh cinta.
Mereka semua sedang sibuk. Tak sempat menyapaku, dan tak sempat pula mendengar bahwa aku sedang menyapa mereka.
Aku segera berdiri, dan berjalan ke mesjid. Di pelataran mesjid aku duduk sambil melihat arloji, sudah jam setengah tiga. Aku menatapi pusara Abu dan sesekali menyapu pandangan pada asrama-asrama kayu itu. Tempat dimana dulu aku pernah tinggal dan menjadi santri. Bersit cahaya dari lubang dan dinding membuat asrama-asrama itu menyala layaknya lampion-lampion yang siap diterbangkan. Itu artinya orang-orang sedang beraktifitas di dalamnya.
Aku memegangi perut, ternyata aku lapar. Aku melihat sekeliling, sudah tidak banyak lagi santri yang berada di lapangan. Semua santri telah masuk ke asrama, begitupun para ustadznya. Beberapa diantara mereka masih lalu lalang ke kamar mandi yang terletak di belakang mesjid. Sebagian besar adalah santri baru, dan sebagian lagi santri lama. Sebagian besar tidak aku kenal namun sebagian kecil lagi, aku masih cukup mengenal mereka.
Ketika itu aku sangat berharap akan ada yang mendatangiku, mengajak aku ke asramanya untuk menyantap hidangan indomie tumis, menghirup setengah gelas kopi hitam dan mengisap sebatang rokok samsu. Seperti saat-saat dulu, setiap kami selesai melakukan aktifitas belajar atau selepas kegiatan malam seperti ini. 
Aku melihat si Bedu lewat. Santri yang dulu pernah kuajari membaca kitab kawakib dan sekarang Bedu telah menjadi Ustadz Kecil. Aku menyapanya, “Bedu!” Bedu hanya tersenyum kecut sambil berkata, “Ya Ustadz,” tanpa mengurangi sedikitpun langkahnya. Bedu berlalu dan masuk ke asrama.
Aku melihat Amran, kawan curhatku dulu. “Amran!” Aku menyapa agak lantang karena khawatir dia tidak mendengarku. Amran yang telah menjadi Ustadz Besar itu menoleh dan berkata, “Oh kau ya Jhon. Datang kau rupanya,” Dan sejurus kemudian Amran juga berlalu begitu saja.
***
Satu persatu mereka masuk ke asrama dan aku masih terduduk di pelataran mesjid sambil menghadap makam Abu dan sesekali pandanganku menyapu sekeliling. Berharap ada yang mengajakku ke kamarnya, untuk menikmati sepiring indomie tumis dan setengah gelas kopi serta sebatang rokok samsu, untuk melerai rasa lapar di tengah malam terkutuk ini.
Aku mengelus-elus perut. Lamat-lamat terdengar desiran air beradu dengan minyak goreng panas. Rupaya setelah acara selesai semua orang menjadi lapar dan mereka memasak makanan. Aroma indomie tumis menyeruak dari lubang-lubang dinding kayu asrama. Aroma itu menghampiriku di pelataran mesjid yang memang tidak jauh. Aroma kopi juga ikut menyengat, menghambur dan menusuk hidungku. 
***
Bodohnya aku. Padahal tadi sewaktu acara baru usai, paman mengajakku pulang ke rumahnya. Tapi aku menolak karena aku yakin, ini adalah rumahku. Aku sangat yakin bahwa malam ini aku akan dapat makanan indomie tumis, dapat setengah gelas kopi hitam dan sebatang rokok samsu sambil reunian dengan teman-teman. Aku sangat yakin itu, karena dulu aku pernah mengalaminya. Dulu aku lama hidup disini. Aku tahu betul seluk-beluk tempat ini. Aku tidak akan lapar disini. Dan aku menolak ajakan paman.
***
Aku bertanya-tanya dalam hati mengapa aku harus capek-capek datang kesini? Oh ya. Aku ingin melepas rindu bersama teman-teman. Beromantika dengan kisah-kisah lama. Tentang ustadz-ustadz yang sering menjemur kami di lapangan. 
Aku datang kesini, karena ingin disapa. Ingin disalami oleh banyak orang. Aku ingin ditanya tentang banyak hal, tentang kehidupanku di luar sana. Tentang target apa yang sudah kucapai selama perantauanku.
Aku datang kesini, karena ingin menunjukkan kepada mereka, bahwa aku adalah bagian dari keluarga besar ini. Bahwa aku juga dulu pernah bersama-sama dengan mereka, memecahkan persoalan-persoalan modern dengan rujukan kitab-kitab klasik. Pernah bersama-sama mencuci lantai mesjid dengan air tanah karena ada babi hutan yang masuk. Pernah bersama-sama dihukum berjemur di lapangan karena mengintip kakak kelas saat sedang belajar. Aku datang karena merindukan semua itu.
***
Dini hari, jam telah menunjukkan angka 3 dan desis-desis indomie tumis telah hilang. Lampu asrama satu persatu telah mati. Artinya, tidak ada lagi harapan akan ada orang yang menghampiri dan mengajakku untuk menikmati sepiring indomie tumis, setengah gelas kopi dan sebatang rokok samsu. Aku masuk ke dalam mesjid, tidur sendiri di kesepian berharap pagi segera datang supaya aku dapat membeli nasi uduk di luar pintu gerbang.
Di dalam mesjid mataku menerawang jauh dengan perut lapar nyaris tak tertahankan. Perih rasanya. Ibuku tak akan pernah membiarkanku selapar ini. Tiba-tiba aku teringat ibu, sambil terbesit sedikit penyesalan, mengapa aku harus jauh-jauh datang kesini? Ke rumah lama yang tak lagi menjadi rumahku?
Ingin rasanya tengah malam ini kutelepon ibuku. Aku ingin bercerita bahwa dugaanku ketika meminta izin untuk menghadiri acara ini adalah keliru. Aku ingin bercerita bahwa disini aku kelaparan. Aku ingin bercerita bahwa disini aku gagal mendapatkan sepiring indomie tumis, setengah gelas kopi dan sebatang rokok samsu. Aku ingin mengatakan pada ibu, supaya besok ketika aku sampai ke rumah ibu menyuguhkanku indomie tumis dua bungkus, segelas penuh kopi dan sebungkus rokok samsu. Sebagai pembalasan karena disini aku gagal mendapatnya. Aku juga ingin saat aku nanti makan di rumah, ibu menemaniku dan mengajakku untuk mengobrol, karena disini tidak ada yang mengajakku ngobrol.
***
Waktu telah menunjukkan pukul empat. Aku bangkit ke kamar mandi sambil mencuci muka, berharap rasa mengantuk dan laparku hilang. Aku berkumur-kumur dan sedikit menelan air bercampur sabun, karena aku haus.
Aku ingin azan subuh segera dikumandangkan supaya pagi cepat datang dan aku cepat pulang. Aku ingin segera bertemu ibu dan menangis di dekapannya.
Aku ingin mengadu, “Ibu. Tempat itu, bukan lagi rumahku.”

2 comments:

  1. sepertinya benar benar sudah dianggap mantan santri,

    ReplyDelete
  2. Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama dan tempat, adalah diluar kesengajaan...

    ReplyDelete