Friday, 29 December 2017

MAULID DALAM PREPEKTIF FILSAFAT KENABIAN

Ramli Cibro
Sesuai dengan judulnya, tulisan ini bukan hendak membedah tradisi Maulid dari prespektif dalil fikih. Namun, tulisan ini ingin melihat maulid dari sudut pandang yang tidak biasa, yaitu sudut pandang filsafat, khususnya Filsafat Kenabian. Kajian ini ingin memperkenalkan modifikasi maulid dalam filsafat kenabian dalam narasinya sebagai “Kebenaran” dan dalam prakteknya sebagai “Kehadiran.”
Pada mulanya filsafat kenabian hanya mengacu pada urgensi Nabi sebagai utusan pilihan dan posisi intelektual Nabi dalam kaitannya dengan ‘aql fa al (active intellect). Namun disini, kajian akan diarahkan kepada bagaimana melihat urgensi “Kehadiran Nabi” dalam kehidupan aktual seorang Muslim. Atau lebih jauh lagi, bagaimana mengupas pandangan Filsafat Kenabian atas tradisi Maulid sebagai upaya untuk menghadirkan spirit dan ruh Baginda Rasul SAW dalam prespektif imanensi kenabian.

Frithjof Schuon dalam Islam and the Perennial Philosophy (1976), menyebutkan bahwa kerangka epistimologi Islam terdiri dari dua dimensi. Yang Pertama adalah Islam yang berdimensi Kebenaran (Al-Haq) dan yang kedua adalah Islam yang berdimensi Kehadiran (Al-Hudur). Islam yang berdimensi Kebenaran artinya meletakkan akal dan wahyu sebagai pondasi keimanan. Adapun Islam yang berdimensi Kehadiran meletakkan hati dan ruh sebagai substansi dan pondasi keimanan. 
Opini Pikiran Merdeka, 11 Desember 2017
Islam yang berdimensi Kebenaran membawahi tema-tema pengetahuan, rasionalitas dan dalil-dalil tekstual. Islam berdimensi Kebenaran ini dikembangkan oleh ahli fikih, ulama kalam dan para filsuf eksistensialis. Adapun Islam berdimensi Kehadiran membawahi tema-tema pengamalan, pengalaman, tradisi, ma’rifah dan tasawuf. Islam dimensi Kehadiran ini dikembangkan oleh para sufi, para wali, para filsuf esensialis dan termasuk di dalamnya, para Imam kaum syi’ah.
Jika dilihat dari prespektif Islam sebagai Kebenaran, maka sejatinya tradisi maulid tidak memiliki basis teologi yang kuat. Dalil-dalil fikih yang menunjukkan keabsahannya juga tergolong lemah. Bahkan tidak jarang disandarkan kepada hadits-hadist yang dikategorikan sebagai lemah seperti hadits, “Man A’dhama maulidi faqad ma’iyya fil jannah, Artinya "Barang siapa yang memperingati maulid-ku (Rasul) maka ia akan bersamaku di surga.” Namun jika dilihat dari prespektif Islam sebagai Kehadiran, maka tradisi maulid tidak lain merupakan buah dari penghayatan keagamaan dalam wujud pengalaman kehadiran (experience) kaum sufi dan eksperimen (tazribat) ulama-ulama terdahulu.
Kenyataannya, meskipun memiliki dalil teologi yang lemah, maulid tetap dirayakan dimana-mana. Bahkan perayaan maulid menunjukkan peningkatan frekwensi dan kualitas dari tahun ke tahun. Bahkan yang sebelumnya tidak melaksanakan maulid, hari ini mereka malah ikut merayakannya. Konon lagi, sebagian pihak meyakini bahwa peringatan maulid dapat menjauhkan mereka dari bala bencana dan dapat menyampaikan hajat dan cita-cita. Dan konon pula, dengan perayaan maulid, ada perasaan keterpenuhan batin yang sulit diungkap dalam kata-kata.
Jika dilihat dari prespektif terakhir ini, menjawab maulid sesungguhnya tidak akan tepat jika menggunakan dalil-dalil teologi semata. Karena posisi maulid itu sendiri bukan produksi intelektual berwujud penggalian terhadap dalil yang baku, akan tetapi merupakan produksi spiritual dalam bentuk penyucian diri (tazkiat an-nafs) dan tarekat hingga diperoleh semacam pengalaman dan visi. Sehingga yang menjadi acuan bukan sekedar dalil validitas sebuah maulid akan tetapi urgensinya untuk mencapai tujuan hidup yang lebih sempurna. Apakah maulid dapat meningkatkan perasaan keintiman (uns) antara umat dan Nabi-nya? Apakah maulid dapat memberi manfaat spiritual dan keberkahan? Apakah maulid dapat mengantarkan kepada maqam tasawuf ma’rifatullah via ma’rifatunnabi?
Perayaan maulid khususnya dan tradisi sufistik pada umumnya, tidak lagi dapat dikatakan sebagai kesesatan yang nyata (dhalâl al mubĭn) hanya karena tidak ditemukan validitas lahiriyah dan dalil fikihnya. Akan tetapi ia merupakan konsekwensi logis dari sebuah pengalaman dan penghayatan keagamaan. Dimana, keagamaan dipercaya bukan saja bermuatan lahiriyah, akan tetapi juga memiliki muatan bathiniyah yang bahkan lebih prinsipil dan essensial daripada dimensi lahiriyah itu sendiri.
Dalam Filsafat Kenabian, tradisi maulid merupakan pengejawantahan dari imanensi sang Nabi dimana dalam beberapa tradisi Islam seperti Muktazilah, kaum Syi’ah dan kaum Sufi meyakini bahwa antara Nabi dan kita hari ini masih memiliki ikatan kenabian. Dimana walaupun faktanya Nabi Muhammad telah meninggal, akan tetapi ruh kenabiannya (an-nubuah) masih terhubung melalui orang-orang pilihan (menurut muktazilah), para imam (menurut syi’ah) atau para wali (menurut kaum sufi). Artinya, imanensi kenabian menapik keterputusan sejarah antara Nabi dan umatnya. Mereka tetap meyakini masih ada hubungan emosional dan bahkan intelektual antara Nabi dan umat sepanjang masa melalui orang-orang pilihan. Dan tradisi maulid adalah wujud dari upaya menguatkan hubungan emosional tersebut.
Ramli Cibro di Depan Aneuk Kupi
Darussalam Banda Aceh
Lebih jauh lagi diharapkan, tradisi maulid bukan sekedar ‘meneladani budi pekerti Rasul.’ Akan tetapi, ia menjadi semacam prosesi tabarruk (memohon berkah) dan tawashul (menjalin ikatan spiritual) dari ummat yang masih sangat berharap pada ‘mediasi’ sang Nabi dan masih memiliki kecintaan emosional yang besar akan Nabi-nya. Tradisi maulid akan memunculkan spirit keagamaan yang kuat, perasaan uns (keintiman) dan mahabbah (kecintaan) yang kuat yang akan mewarnai gerak dan gempita keislaman kaum muslimin.
Di Aceh sendiri, tradisi maulid kemudian menjadi unik pada saat-saat pembacaan zikir maulid, barjanji dan sariful anam, diyakini ruh dan spirit Rasulullah SAW hadir dan menyaksikan prosesi penghormatan atas kelahirannya. Dari kesadaran ini kemudian dapat kita saksikan keharuan dan isak tangis pada pecinta Rasul saat mereka membacakan pujian-pujian terhadapnya. Saat-saat seperti inilah, perasaan paling dekat dengan Rasul itu muncul. Betapa mereka merasa bahwa Rasul masih memperhatikan mereka. Betapa mereka merasa bahwa Rasul masih senantiasa mendo’akan mereka. Dan betapa mereka merasa bahwa tangan Rasul masih menggenggam tangan mereka.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa tradisi maulid sulit difahami jika alat ukur yang dipakai adalah dalil-dalil Kebenaran (al-haq) dimana logika dan nash menjadi pisau utamanya. Namun jika dilihat dari prespektif Kehadiran (al-hudur) dan pengalaman maka akan ditemukan keterpenuhan, pengalaman spiritual, keintiman (uns), penyaksian (shuhud) dan capaian ma’rifatullah via ma’rifatunnabi yang mengindikasikan maulid sebagai bagian essensial yang prinsipil dari pengamalan keislaman (Opini Pikiran Merdeka, 11 Desember 2017)
 

No comments:

Post a Comment