![]() |
Opini Pikiran Merdeka, 30 Oktober 2017 |
Akhir-akhir ini, fenomena sabu menguat dan menjadi trend tersendiri di kalangan masyarakat Aceh. Baru-baru ini, publik Aceh bahkan dikejutkan oleh penangkapan salah seorang anggota DPRA yang kedapatan menggunakan sabu. Rupa-rupanya, kepopuleran sabu telah mengalahkan ganja yang sebelumnya menjadi icon negeri. Dan uniknya, peredaran sabu yang gencar berbarengan dengan masifnya upaya pemusnahan terhadap ladang-ladang ganja berikut penangkapan terhadap para kurir bako aceh tersebut. Baru-baru ini, (18/8/2017) Polda Aceh berhasil meringkus para kurir dan mengamankan sekitar 40 kilogram ganja di Aceh Utara. Sebelumnya, puluhan hektar ladang ganja di Montasik, Indapuri dan Seulimuem juga dimusnahkan.
Bukan hendak maksud menuding adanya pengkondisian dari fenomena ini. Bukan juga hendak ingin mengatakan bahwa ada upaya untuk menganti eksistensi ganja kepada sabu. Namun disini hendak ditakar perubahan sosiologis apa yang dapat dibaca dari fenomena tersebut? Supaya kita menjadi waspada dan sedikit waras untuk menjaga kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan anak cucu. Bahwa ada bahaya yang lebih besar yang menanti mereka melebihi bahaya ganja yang biasa kita hadapi selama ini.
Secara sosiologis, peralihan tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi diantaranya: Pertama, Peralihan tingkat kesejahteraan. Kita semua mafhum bahwa sabu lebih mahal daripada ganja, sehingga jika orang beralih kepada sabu artinya di sana ada peningkatan ekonomi atau mungkin juga penghasilan. Kenyataannya di Aceh hari ini ada kelompok-kelompok masyarakat yang penghasilannya meningkat di luar kewajaran dan kelompok ini menjadi target bagi para bisnismen sabu. Walaupun kenyataannya bahwa ekonomi mayoritas masyarakat Aceh sedang bermasalah.
Kedua, Peralihan sentral ekonomi. Ganja adalah tanaman paku yang mudah tumbuh di berbagai kawasan dari pantai hingga ke pegunungan. Tanaman ini merupakan perdu liar yang tumbuh di daerah beriklim tropis dan sub tropis. Proses penanamannya pun terbilang sederhana dan murah sehingga banyak dibudidayakan secara tradisional oleh masyarakat pedesaan. Sedangkan sabu biasanya diracik (diolah) di wilayah-wilayah perindustrian dan bahkan di perumahan elit perkotaan. Dalam beberapa kasus, perumahan elit sering dijadikan sebagai tempat pengolahan dan peredaran sabu.
Artinya ada peralihan sentral ekonomi yang semula berbasis kerakyatan, menjadi bisnis di kalangan elit dan orang-orang kaya. Ada upaya untuk menggerus ekonomi kerakyatan yang semula diperankan oleh ganja dan memindahkannya ke tangan orang besar melalui sabu. Selain ganja, beberapa sumber ekonomi rakyat juga telah hilang dan berpindah menjadi ekonomi elit dan pemilik modal. Kita ambil contoh seperti beras, daging, minyak goreng dan hari ini garam dan ganja. Sehingga peralihan ini juga dapat disimpulkan sebagai kemenangan kapitalisme atas ekonomi kerakyatan.
Ketiga, peralihan budaya. Bahwa ganja pada mulanya telah menjadi kearifan lokal tersendiri di beberapa wilayah. Di Amerika misalnya, ganja pernah menjadi simbol perlawanan terhadap kapitalisme dan globalisme yang memaksakan kehendak. Di India, ganja dapat menjadi simbol spiritualitas dan instrumen keagamaan. Di Aceh sendiri, konon ganja dapat diolah menjadi bumbu masakan dan bahan racikan kopi. Ganja adalah budaya. Ia dapat menjadi simbol perlawanan, menjadi instrumen keagamaan dan bahkan juga menjadi simbol kearifan lokal melalui bumbu masakan dan bahan racikan kopi, asalkan tidak disalahgunakan.
Namun, eksistensi ganja dalam kebudayaan menjadi hilang dan digerus oleh sabu yang tidak memiliki unsur kearifan lokal di dalamnya. Sabu adalah virus kebudayaan. Sabu adalah simbol amoral, industrialisasi, eksploitasi, materialisme dan kapitalisme. Jika ganja adalah produk alami yang tumbuh dari dalam bumi, maka sabu adalah hasil rekayasa dari bahan sintetis, yang merupakan buatan manusia dan bukan bahan alami. Peralihan ganja ke sabu adalah peralihan konstruk sosial masyarakat dari yang sederhana dan bersahaja menuju masyarakat yang elit dan rumit. Dari masyarakat yang terbiasa dengan sikap sabar, menuju masyarakat yang terburu-buru, tergesa-gesa dan serba cepat.
![]() |
Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada malam hari... |
Akhirnya dengan empat pembacaan ini kita menjadi sadar bahwa di sekitar kita sedang terjadi peralihan fenomena sosial. Bahwa peralihan trend dari ganja ke sabu bukanlah peralihan alami yang berjalan sendiri tanpa proses rekayasa. Ada peralihan tingkat kesejahteraan ketika sebagian elit menjadi semakin kaya walaupun masyarakat tetap miskin. Ada peralihan wilayah ekonomi ketika titik-titik ekonomi kerakyatan digerus dan diganti kepada ekonomi kapitalis dan pemilik modal. Ada peralihan kebudayaan dari masyarakat sederhana menjadi masyarakat rumit dengan beban kebudayaan yang semakin besar. Terakhir, ada peralihan ancaman kesehatan bahwa bahaya sabu bagi kesehatan jauh lebih berlipat daripada bahaya ganja, apalagi rokok.
Kita semua tidak setuju dengan penyalahgunaan ganja dan sebagian kita juga tidak setuju dengan rokok. Namun kita semua harus menolak kehadiran sabu. Karena ia bukan saja menjadi ancaman besar bagi ekonomi, namun juga merupakan ancaman besar bagi kesehatan, kebudayaan, moralitas dan spiritual keagamaan.
Ada indikasi bahwa sabu juga merupakan senjata psy-war yang dihembuskan oleh kekuatan-kekuatan besar untuk melemahkan Indonesia khususnya Aceh. Mereka yang masih mencintai kedaulatan bangsa tidak akan mudah tergiur oleh iming-iming keuntungan besar dari pengedaran sabu. Mereka yang cinta pada masa depan, harga diri dan prestasi tidak akan mudah terpengaruh oleh trend populer dan modern yang ditawarkan melalui sabu. Mereka yang mencintai kehormatan agamanya tidak akan mudah menjalin hubungan sosial atau menerima bantuan dari mereka yang ditenggarai memperoleh uang dengan cara-cara haram seperti mengedarkan sabu. Mereka yang mencintai keamanan negeri juga tidak akan membiarkan pengedar sabu berkeliaran dan beroperasi seenak perutnya.
Akhirnya, kita sebagai masyarakat Aceh wajib menjaga negeri dari upaya-upaya rongrongan yang datang dari berbagai sisi. Kita harus waspada dan mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman. Kita harus menolak secara tegas dan keras segala upaya-upaya yang mencoba merusak kedaulatan teritorial, kedaulatan sosial, kedaulatan budaya dan kedaulatan agama. Kita semua harus melawan semua bentuk kemungkaran, ketidakadilan dan penindasan ekonomi.
Kita semua tidak setuju dengan penyalahgunaan ganja dan sebagian kita juga tidak setuju dengan rokok. Namun kita semua harus menolak kehadiran sabu. Karena ia bukan saja menjadi ancaman besar bagi ekonomi, namun juga merupakan ancaman besar bagi kesehatan, kebudayaan, moralitas dan spiritual keagamaan.
Ada indikasi bahwa sabu juga merupakan senjata psy-war yang dihembuskan oleh kekuatan-kekuatan besar untuk melemahkan Indonesia khususnya Aceh. Mereka yang masih mencintai kedaulatan bangsa tidak akan mudah tergiur oleh iming-iming keuntungan besar dari pengedaran sabu. Mereka yang cinta pada masa depan, harga diri dan prestasi tidak akan mudah terpengaruh oleh trend populer dan modern yang ditawarkan melalui sabu. Mereka yang mencintai kehormatan agamanya tidak akan mudah menjalin hubungan sosial atau menerima bantuan dari mereka yang ditenggarai memperoleh uang dengan cara-cara haram seperti mengedarkan sabu. Mereka yang mencintai keamanan negeri juga tidak akan membiarkan pengedar sabu berkeliaran dan beroperasi seenak perutnya.
Akhirnya, kita sebagai masyarakat Aceh wajib menjaga negeri dari upaya-upaya rongrongan yang datang dari berbagai sisi. Kita harus waspada dan mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman. Kita harus menolak secara tegas dan keras segala upaya-upaya yang mencoba merusak kedaulatan teritorial, kedaulatan sosial, kedaulatan budaya dan kedaulatan agama. Kita semua harus melawan semua bentuk kemungkaran, ketidakadilan dan penindasan ekonomi.
No comments:
Post a Comment