Tuesday, 24 October 2017

Profesi Yang Rasis

Oleh Ramli Cibro 
Panorama keindahan salah satu pulau dimana banyak penduduknya berprofesi sebagai penyelam dengan alat bantu selam sederhana. Saat ini, oleh pemda setempat mereka tidak diperbolehkan lagi untuk menyelam. "Bagaimana nasib mereka nanti? Mana ada yang peduli..."
Seno Joko Suyono dalam bukunya Tubuh Yang Rasis (2008) menuliskan tentang asal mula kemunculan ras unggul di Eropa. Dalam buku tersebut ia menjelaskan telah terjadi pemusnahan terhadap mereka yang dianggap lemah dan rawan berpenyakit. Dengan politik kesehatan, para dokter mengidentifikasi mereka yang secara ras berbeda dengan ras utama, untuk kemudian dikarantina sebelum dimusnahkan. Padahal, sejatinya tubuh adalah kodrat ilahi dimana manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengintervensinya. Namun hal demikian terjadi pada masa kegelapan di Eropa.
Sebuah media televisi menampilkan tayangan dokumenter yang menyorot pekerjaan penyelam dengan alat bantu pernafasan tradisional yang dianggap beresiko dan berbahaya. Alasanya, bahwa ada segelintir orang yang kemudian mengalami kecelakaan selama menyelam. Dengan pongahnya, sang reporter melaporkan bahwa cara ini adalah satu-satunya cara bagi mereka untuk bertahan hidup. Yaitu dengan mengorbankan nyawa.
Dalam tayangan tersebut terlihat nelayan yang sedang menyelam dengan menggunakan alat bantu pernafasan yang sederhana. Reporter kemudian menggiring emosi pembaca dengan mengatakan pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan tersebut adalah pekerjaan yang membahayakan nyawa. Kesannya sang reporter merasa prihatin. Namun sejatinya ia sedang menjerumuskan para nelayan pada marginalisasi dan kriminalisasi pekerjaan yang telah bertahun-tahun mereka geluti. Sebuah pekerjaan yang tidak membebani pemerintah, sebuah pekerjaan yang justru meningkatkan PAD dan roda perekonomian bangsa. Namun pekerjaan tersebut ternyata dianggap berbahaya.
Narasi yang dibawa oleh reporter jika dicermati dari prespektif rasialisme kekuasaan Foucalut yaitu ketika kuasa lebih mendominasi pengetahuan, maka akan terlihat penggiringan dan mungkin bahkan fitnah yang luar biasa. Bagaimana seorang reporter begitu tega memarginalkan profesi yang telah digeluti puluhan tahun oleh para nelayan? Bagaimana mungkin seorang reporter mengajukan keprihatinan terhadap upaya-upaya untuk bertahan hidup ditengah arus perekonomian yang membusuk? Bagaimana mungkin seorang reporter begitu rasis untuk menentukan mana pekerjaan yang layak dan mana ekerjaan yang tidak layak?
Tanpa disengaja, sejatinya reporter baru saja memainkan politik profesi sama seperti para pembunuh di eropa memainkan politik kesehatan. Politik profesi adalah cara-cara paradigmatik yang disusun untuk memastikan bahwa suatu pekerjaan itu buruk dan layak dimusnahkan dan satu pekerjaan itu baik dan layak dipertahankan. Lalu kemudian muncul kongklusi bahwa menjadi petani adalah pekerjaan rendahan. Bahwa menjadi penyelam tradisional adalah pekerjaan yang berbahaya. Dan bahwa penyelam lokan di sungai adalah pekerjaan bunuh diri.
Lalu apakah pekerjaan yang beradab itu? Jadi buruh? jadi karyawan? jadi orang-orang suruhan? Atau menjadi pelacur?
Ini adalah bagaimana orang-orang kota melihat kehidupan kita dengan kacamata kuda. Melihat segala sesuatu dari sudut pandang terkecilnya. Padahal semua pekerjaan memiliki resiko. Termasuk mereka yang bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik yang bangunannya rapuh. Atau mereka yang menjadi SPG di perusahaan-perusahaan penguras jasa. Atau mereka yang membangun gedung-gedung pencakar langit. Persoalannya kemudian, berapa jumlah presentase kecelakaan kerja dari suatu pekerjaan supaya memenuhi kriteria sebagai pekerjaan yang berbahaya?
Akhirnya aku hanya ingin mengatakan kepada reporter. "Sudahlah Bung. Jangan hanya karena opini mu, statemen mu, pengamatanmu yang cuma beberapa hari, gaya kotamu yang sok manusiawi, nasib nelayan menjadi terpinggirkan, pekerjaan mereka menjadi termarginalkan, dan kau hanya menikmati royalti tayang, tanpa sadar akan akibat buruknya. Atau jangan2 ini hanya langkah awal untuk meminggirkan para nelayan, sekaligus meminggirkan kehidupan mereka. Karena Pulau yang indah, sedang dilirik untuk dieksploitasi oleh pemilik modal dan kapitalis terkutuk.
Bung. Aku hanya ingin mengatakan, kau masih muda. Masih punya kesempatan untuk berbuat barang sekali atau dua kali lagi, untuk menjaga masyarakat negerimu dari penistaan profesi, dari rekayasa pemilik modal, dari kepunahan eksistensi."
Banda Aceh, 25 Oktober 2017

No comments:

Post a Comment