Monday, 9 October 2017

SYARI'AT YANG BERMAKRIFAT


Serambi Opini, 06 Okt 2017
Oleh : Ramli Cibro
Secara umum, implementasi syari‘at Islam di Aceh telah memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan. Hanya saja, ekses syari‘at lebih mengacu pada persoalan-persoalan kuantitatif dan agak menyampingkan dimensi kualitatif. Sejauh ini implementasi syari’at baru sebatas memproduksi hukum, perangkat-perangkat hukum dan aturan-aturan baru. Imbasnya pada kesadaran masyarakat masih terlihat rendah. Angka kriminalitas dan kemaksiatan tergolong tinggi. Kemiskinan justru meningkat dan anak-anak yang tidak bersekolah juga bukan sedikit.
Syari’at Islam walaupun secara umum memiliki makna yang bermuatan fikih, tapi tidak sepatutnya dijadikan patokan bahwa implementasi syari’at Islam di Aceh haruslah berdimensi fikihistik.
Seyogyanya, kata syari‘at hanyalah jalan untuk memuluskan pembangunan nilai-nilai keislaman secara utuh. Artinya, makna syari’at, mau tidak mau mesti digiring pada persoalan-persoalan yang lebih luas, mencakup dimensi ruhani, adat istiadat, moralitas, ketauhidan hingga pengembangan intelektualitas keagamaan. Sehingga syari’at menjadi jalan menyeluruh dalam menyempurnakan hukum dan hikmah dalam agama.
Kaum sufi percaya bahwa syari‘at adalah satu tangga dari empat tangga pencapaian spiritualitas meliputi syari‘at, tarikat, hakikat dan ma‘rifat. Artinya, kesempurnaan Islam tidak hanya cukup jika sekedar disematkan pada persoalan-persoalan syari‘at semata. Perlu ada upaya lebih, melalui tangga-tangga keruhanian, memaknai hakikat ketuhanan, hingga mencapai perjumpaan (pengalaman) untuk menjadikan seorang muslim menjadi insan yang sempurna (insan kamil). Karena jika hanya terpaku pada persoalan syari‘at namun mengabaikan dimensi bathin, maka akan ada ketimpangan dalam beragama. Manusia hanya akan menjalankan agama sebatas garis-garis hukum agama. Selebihnya adalah kebebasan manusia untuk berbuat sekehendaknya.
Syari’at lahir tanpa dilandasi spirit rohani tidak akan mencapai maksud terciptanya kesadaran beragama. Orang hanya akan memperhatikan rambu-rambu syari‘at hanya jika ada yang mengawasi. Sebaliknya, ketika pengawasan dirasakan renggang, maka pelanggaran pun dilakukan. Rendahnya perhatian masyarakat pada syari‘at pada persoalan tasawuf dan kebathinan lokal menunjukkan bahwa arah implementasi syari‘at Islam di Aceh sedang bermasalah.
Kaitan syari‘at dengan konsep ma‘rifat dimulai dari muatan spiritualitas atau pengalaman spiritual (Ernst 1996: 17-19). Pengalaman tersebut kemudian menjadi ajaran metafisika dan moral tersendiri yang kemudian diadopsi ke dalam budaya hingga memunculkan intelektualitas bermuatan ketauhidan (wujũd) yang mudah dicerna, mudah masuk namun memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa masyarakat Islam. Intelektualitas yang demikian pernah mewarnai dunia Nusantara di era keemasannya (Al-Attas 1993:173).
Sampai hari inipun intelektualitas ketauhidan berwujud kajian-kajian filsafat ketuhanan seperti ‘aqâ id limapuluh, kajian tentang a‘yân thâbithah, nũr Muhammad, kam al khamsah, telah menjadi semacam kajian wajib dan fardu ‘ain di Aceh. Di mana dalam diri manusia ditanamkan dimensi ketauhidan yang kuat, sehingga prilakunya tidak lagi sekedar menghindari pengawasan lembaga syari’at, akan tetapi telah meresap ke dalam kesadaran dan “hati diri” sejak kecil. Kepada mereka, dibuat rasionalisasi dan narasi keberadaan Tuhan, semampu akal dan logika dalam mencernanya. Secara psikologis, persoalan ketuhanan yang tidak selalu dalam tampilan yang transenden akan memuncukan perasaan dekat antara Tuhan dan Hamba. Dengan pengenalan akidah berbasis intelektualitas, nalar dan narasi tauhid serta kajian tasawuf, titik keimanan dan keihsanan akan mencapai puncak tertinggi yang mampu dicapai.
Pengetahuan ketuhanan yang walaupun terkesan rumit dan memiliki pembahasan yang lebar, akan membuat manusia merasa semakin mengenal Tuhannya. Penggemblengan moral dan akhlak berbasis tauhid dan tasawuf akan memunculkan kesadaran keislaman bukan saja sebagai sebuah aturan dan kewajiban, akan tetapi sebagai sebuah kebutuhan dan keyakinan.
Namun, kajian-kajian yang demikian sepertinya kurang diperhatikan oleh pemerintah maupun lembaga penyelenggara.  Syari‘at Islam yang ditampilkan akhir-akhir ini lebih didominasi oleh persoalan-persoalan lahir saja seperti aturan fikh, aturan berbusana, dan berbagai aturan lainnya. Dalam dimensi pendidikan-pun, ada kesan bahwa syari‘at tidak terlibat dalam penanaman dan penggemblengan unsur-unsur ketauhidan dan tasawuf berbasis nalar dan narasi. Upaya Islamisasi ilmu contoh kecilnya, bagaimana upaya-upaya untuk mengembalikan ruh islam kepada ilmu pengetahuan belum terlaksana sepenuhnya.
Selain itu, Islam berbasis mistik semestinya harus memiliki peran tersendiri. Islam mistik telah terbukti memberikan kontribusi terhadap konstruksi Islam di masa lampau hingga melahirkan pendidikan Islam - dalam aspek sosio-religiousnya – yang mampu mencerdaskan masyarakat. (Syamsul Rijal dan Iskandar, 2002:11)
Islam Tarekat menjadi salah satu contoh model keislaman mistik berbasis pengalaman spiritual, intelektualitas ketauhidan, dan moralitas tasawuf. Sejarah Islam Nusantara mencatat tokoh sufi seperti Hamzah Fansuri yang mengembangkan tarekat Qadiriyah. Selain itu juga ada nama-nama seperti Shams Al-Dîn Al-Sumatrâ î dan Shaikh ‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkîlî yang mengembangkan Tarekat Shatariyah dan Nŭr Al-Dîn Al-Rânîrî yang mengembangkan Tarekat Rifâ’iyah. (Sri Mulyani et.al 2004:13)
Selain itu, muatan nilai-nilai Islam dalam struktur budaya dan seni juga mampu secara signifikan mengendalikan moral masyarakat. Seni tari misalnya, telah menjadi semacam instrument untuk menyampaikan pesan-pesan agama, moral dan pembangunan. (Syamsul Rijal dan Iskandar 2002:11-49) Kharisma ulama juga berperan dalam proses pengendalian sosial (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad: 57-58). Di masa lalu, kharisma ulama terkadang melebihi kharisma yang dimiliki oleh para sulthan dan Raja. (Hasbi Amiruddin: 2003:13) Ini dapat terjadi karena keberadaan mereka telah menjadi semacam ruh tersendiri yang bukan saja dihormati di depan, namun juga diikuti di belakang.
Domain-domain spiritualitas, intelektualitas berbasis tauhid, dan tasawuf naratif dengan sendirinya bukan saja membangun fisik masyarakat akan tetapi jiwa dan rohani mereka. Sehingga cita-cita Islam yang berperadaban dan menyeluruh akan terwujud sempurna. Dan inilah yang diharapkan dari implementasi syari‘at, bahwa syari‘at harus bermuatan kemajuan, pembinaan rohani dan ketasawufan,  seni dan pendidikan, bukan sekedar aplikasi ketaatan.
* Tulisan ini telah dimuat dalam Opini Harian Serambi Indonesia, Jum'at 06 Oktober 2017 dan sebagian besar isinya disadur dari buku penulis yang berjudul Aksiologi Ma'rifah Hamzah Fansuri (2017)

No comments:

Post a Comment