Ramli Cibro
Entah mengapa saya harus menulis tulisan ini. Perihal tentang begitu banyaknya manusia yang mati sia-sia di lautan karena harus melarikan diri dari Junta. Atau manusia yang mati di selokan karena menenggak oplosan atau menenggak pil yang membuatnya menjadi gila. Atau mati dijalanan karena kebut-kebutan diusia mereka yang masih muda. Dimana situasi dunia masih membutuhkan lebih banyak manusia, untuk menyemai kesadaran untuk bersama-sama membangun peradaban yang lebih mulia.
Masih di dunia yang sama, ribuan manusia harus minum dari sungai yang tercemar oleh sampah dan limbah beracun. Anak-anak yang harus berhenti sekolah demi mendapatkan uang saku dua puluh ribuan. Perempuan-perempuan kecil yang latah menjaja keperawanannya kepada kelamin-kelamin buluk hanya demi alasan sepele, yaitu cinta sampai mati. Atau mereka yang mencoba mandiri, dengan menjajakan diri demi sesuap nasi.
Dan di dunia yang sama. Betapa banyak bayi yang dibunuh padahal dia memiliki hak untuk hidup. Atau pada janin-janin kecil yang terpaksa masuk ke lubang-lubang toilet, bermuara hangat, menyatu bersama kotoran untuk selanjutnya dilupakan. Padahal dia punya hak untuk tumbuh, punya hak untuk berkembang dan menjadi bayi yang sempurna. Punya hak untuk andil dalam merubah dunia. Hanya saja ketika itu dia tidak mampu mempertahankan diri.
Kita bukan Khaidir yang mengetahui mana bayi yang pantas hidup dan mana bayi yang hanya akan membuat kerusakan sehingga layak untuk dimatikan. Kita juga bukan Fir’aun yang mengetahui bahwa akan ada Musa-musa kecil yang siap menggulingkan kekuasannya. Kita hanya manusia yang dianugerahi ketidaktahuan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Kita adalah manusia yang diberi kelemahan supaya kita tidak menyombongkan diri. Supaya kita mau bersatu. Mau membantu ketika kita berada pada posisi mampu membantu. Dan mau melindungi ketika kita memiliki kuasa untuk melindungi.
Ada lagi wanita-wanita yang diperkosa lalu kita matikan potensi sosialnya. Seolah dia adalah aib karena budaya kita lebih mudah menyalahkan korban daripada menyalahkan pelaku. Padahal kesalahan terbesar disana ada pada pelaku, bukan pada korban. Persis ketika Nasaruddin, seorang sufi dari Konya ketika rumahnya dimasuki maling. Semua tetangga hanya menyalahkan dirinya “Mengapa pintunya tidak dikunci dengan gembok yang bagus?” “Mengapa rumahnya tidak dijaga dengan baik?”
Nasaruddin kemudian terperangah dan berkata, “Mengapa kalian hanya menyalahkanku? Bagaimana dengan pencurinya? Bukankah kesalahan terbesar ada pada pada pencuri karena dia telah mencuri?”
Ah. Andai Bang Napi ada disini, sudah kuteriaki kata-kata sampahnya itu. Kata Bang Napi “Ingat! Bahwa kejahatan bukan saja karena niat si pelaku. Tapi juga karena ada kesempatan!”
Aku akan berkata, “Ah. Brengsek kau, Bang Napi? Apakah semua orang harus mengambil semua kesempatan untuk melakukan kejahatan yang ada di depannya? Apakah hanya karena di depanmu sebuah rumah ditinggalkan dalam keadaan terbuka lalu kau harus masuk dan mengambil barang-barangnya? Apakah karena punya peluang untuk melakukan mark-up dan manipulasi lalu kau melakukannya? Apakah sebagai pedagang, karena punya kesempatan untuk menipu pembeli lalu kau harus menipunya? Apakah karena terjebak dalam sebuah lift bersama seorang wanita lalu kau harus memperkosanya? Jika demikian bang Napi, sungguh tragis dunia yang ada dalam imajinasimu.”
Bukankah hidup manusia terlalu berharga? Bukankah setiap pribadi memiliki keunikannya sendiri? Bukankah setiap manusia berpeluang untuk menyembuhkan dunia dari berbagai sakit yang ia derita? Mengapa kita harus mempermak dunia dalam nalarnya yang kelam? Mengapa kita terus melakukan kerusakan padahal kita mampu untuk menghentikannya? Mengapa kita tidak akhiri saja semua kekerasan dan menolak atas segala penindasan?
Coba pandang setiap indifidu di jalanan, ditrotoar, di ruang-ruang publik, di pasar, di terminal atau di area-area kemiskinan? Pandang mereka lekat-lekat, bukan padangan sebelah mata seperti yang biasa kita lakukan selama ini. Pandanglah bahwa mereka adalah manusia. Pandanglah bahwa mereka juga punya kesadaran seperti kesadaran yang kita sadari. Pandanglah bahwa mereka juga merasa sakit, merasa lapar, merasa disingkirkan, sama dengan kita ketika merasa sakit dan lapar atau merasa disingkirkan. Pandanglah bahwa mereka memiliki ihwal yang sama, potensi yang sama, kesadaran yang sama dengan kita. Pandanglah bahwa mereka tidak berbeda dengan kita. Mereka berhak untuk memperoleh kesempatan.
Pandanglah lekat-lekat, bukan seperti pandangan kita selama ini, pandangan sebelah mata. Pandanglah pada kedirian mereka seperti kita memandang kedirian diri sendiri. Pandanglah kemanusiaan mereka seperti kita memandang kemanusiaan diri sendiri. Pandanglah harapan mereka seperti kita memandang harapan diri sendiri. Dan pandanglah kemungkinan-kemungkinan, kelebihan-kelebihan, potensi-potensi, kesempatan-kesempatan, dan kemanusiaan-kemanusiaan mereka, seperti kita memandang kemungkinan-kemungkinan, kelebihan-kelebihan, potensi-potensi, kesempatan-kesempatan, dan kemanusiaan-kemanusiaan kita sendiri.
Kita perlu untuk memandang dengan kasih sayang supaya kita mampu melihat dan memandang kasih sayang Tuhan. Kita perlu untuk memandang dengan cinta, supaya kita tahu bagaimana cara menebar kasih sayang dan cinta. Kita perlu memandang dengan pandangan kemanusiaan, supaya kita tahu, bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi. Menyadari bahwa selain kesadaran kita, ada kesadaran lain pada diri yang lain, pada manusia yang lain.
Jika demikian, sungguh tidak akan ada celah untuk meremehkan manusia lain. Tidak akan ada celah untuk menghinakan, menistakan dan menindas orang lain. Tidak akan ada celah untuk melenyapkan kehidupan-kehidupan lain. Karena mereka juga punya hak. Karena mereka juga memiliki kesadaran, seperti kesadaran yang kita miliki. Karena mereka juga manusia sama seperti kita yang sering mengakui diri sebagai manusia.
No comments:
Post a Comment