Oleh Ramli Cibro : Sang Detektif kemudian terbangun. Ia masih merasa sangat pusing setelah pingsan beberapa jam yang lalu. Ia mendapati seragam polisi yang dikenakan berlumuran darah sementara tangan kanannya menggenggam pisau. Terlihat bercak darah di pisau tersebut. Detektif menduga bahwa dirinya baru saja berkelahi dengan penjahat. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari penjahat yang mungkin sudah tumbang itu.
“Apa gunanya jika kebenaran berdiri di hadapanku, dingin dan telanjang, tidak peduli apakah aku mengenalinya ataupun tidak, dan malah membuatku takut dan bukannya percaya?”_KIERKEGAARD
Tuesday, 26 November 2019
Thursday, 25 July 2019
ESKATOLOGI BENCANA
Ramli Cibro
Tahun 2018 sepertinya menjadi tahun yang berat. Tahun dimana bangsa kita dirudung berbagai musibah dan bencana. Bencana yang demikian, selain meninggalkan duka dan kepedihan yang mendalam, juga menyisakan beragam tafsir, spekulasi dan prasangka yang terkadang jauh dari akal sehat. Prasangka yang tidak mencerminkan sikap empati. Prasangka yang justru memperburuk situasi pasca-bencana. Ragam prasangka yang tidak didasarkan pada pembuktian yang adil.
Masih terngiang di telinga, bagaimana gempa Lombok justru dituding muncul akibat sikap politik tokoh tertentu. Atau kemudian rentetan bencana di Sulawesi dijadikan sebagai mortir politik untuk menyerang pemerintah. Bagaimana kemudian kecelakaan pesawat, dan kapal laut, selalu diarahkan pada perkara-perkara eskatologi (kegaiban) secara tidak adil pada persoalan-persoalan politik atau masalah laku maksiat.
Apakah Peradaban Aceh itu Fiksi?
Ramli Cibro
Sebuah artikel menarik ditulis oleh antroplog kawakan Aceh, Teuku Kemal Pasya. Beliau menulis bahwa wacana peradaban tinggi yang diwicarakan secara ideal, nyatanya tak memberi dampak bagi moral masyarakat. Opini tersebut kemudian ditutup dengan dua pertanyaan, "Apakah peradaban Aceh itu fiksi atau fakta? Dimanakah Acehnologi itu mendapatkan jejaknya?" (Serambi Opini, 13/08/2018). Dua pertanyaan menggelisahkan ini kemudian menggertak nalar Darussalam perihal mengapa pengetahuan yang berkembang disana, tidak memiliki pengaruh yang berarti bagi kemajuan masyarakat?
Jika kita mencoba membuat penyederhanaan, apa batasan antara fiksi dan non fiksi. Secara umum difahami bahwa fiksi adalah cerita hayalan, imajinasi, lebih sering tidak logis dan tentu saja tidak ilmiah. Bagaimana dengan peradaban? Bagaimana kita memastikan sebuah peradaban yang katanya dinarasikan secara berbuih-buih oleh Denys Lombard, Anthony Reid dan lain-lain itu fiksi atau bukan? Maka perlu kita pastikan, apakah cerita itu logis? Apakah penulisan dan penelitian yang dilakukan ketika itu mengikuti jalur-jalur yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Jika iya, berarti cerita tersebut adalah “nyata” di zamannya dan menjadi “pengetahuan sejarah” di hari ini. Dan baik “kenyataan,” maupun “pengetahuan sejarah” keduanya tidak dapat serta-merta dituding sebagai fiksi.
Sunday, 21 July 2019
KEHILANGAN MOMENT
Seorang bertanya kepada saya, momen terakhir apa yang paling berkesan dan masih teringat? Saya tidak bisa menjawab karena sepertinya sudah lama saya kehilangan momen. Mengapa? Karena kesibukan pekerjaan yang membuat fikiran tersita, itulah yang membuat saya kehilangan momen.
Subscribe to:
Posts (Atom)