Ramli Cibro
Sejarah Islam Nusantara adalah sejarah yang berbicara tentang
proses asimilasi Islam ke wilayah Nusantara. Peneliti menyebutkan bahwa
penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para sufi pengembara yang
menyebarkan faham-faham ketasawufan. Hasilnya Islam yang berkembang di
Nusantara adalah Islam berdimensi sufistik. (Azra, 2013) Yaitu ajaran Islam
yang lebih mengedepankan pembinaan ruhani dan batiniah ketimbang pembinaan
fisik dan bangunan. Oleh karena itu, sejarah peradaban Islam di Nusantara di
masa lampu tidak terlalu signifikan meninggalkan bangunan-bangunan monumental
dan artefak-artefak akan tetapi lebih kepada transformasi kebudayaan dalam
bentuk pemikiran-pemikiran keagamaan, tradisi-tradisi dan naskah-naskah kitab.
Peradaban Islam Nusantara daripada mewariskan istana dan
benteng-benteng megah, lebih mewariskan sistem nilai, sistem berfikir dan
sistem berbudaya sebagai hasil dari perkawinan antara Islam dan kebudayaan.
Sistem nilai artinya prinsip-prinsip yang dianut seperti kejujuran,
kesederhanaan dan keberanian. Sistem berfikir adalah model berfikir meliputi
fikiran-fikiran ketauhidan, keagamaan dan keilmuan yang tinggi. Adapun sistem
kebudayaan adalah praktek-praktek dan tradisi yang diamalkan sehari-hari
sebagai praktek-praktek dan tradisi keagamaan yang luwes namun bersih dari
unsur-unsur kemusyrikan baik itu syirik khafi dalam bentuk kelalaian dari mengingat
Allah maupun syirik dzahir dalam bentuk pemujaan terhadap selain Allah. Ini
terlihat dari warisan-warisan kearifan lokal yang berdimensi Islam,
warisan-warisan intelektual dalam bentuk karya-karya teologi-sufisme dan
kebudayaan-kebudayaan yang sejalan dengan ruh keislaman dan ketauhidan
(Al-Attas, 1990).
Peneliti Muda Aceh, Mulyadi dalam tesisnya Islam Nusantara
prespektif Syed Mohd. Naquib Al-Attas menyebutkan bahwa proses asimilasi
kebudayaan Islam di Nusantara dibangun dengan sebuah sistem yang meletakkan
konsep wujud diatas menara bangunan konseptualnya. Menurutnya, Teks-teks
mengenai Islam yang datang ke Nusantara lewat pengaruh sufistik dan ajaran wujud
terlihat dari karya-karya tasawuf Hamzah Fansuri. (Mulyadi, 2016) Simuh
mencatat bahwa tasawuf Hamzah Fansuri adalah yang paling berpengaruh bagi
penganut ajaran tasawuf di Pulau Jawa (Simuh, 1988).
Islam Nusantara yang berbasis wujud, menjadikan wujud Allah sebagai
satu-satunya titik eksistensi. Artinya, bahwa segala semesta berikut aktivitas
yang ada di dalamnya adalah manifestasi dari wujud Tuhan. Kesemuanya adalah
fana karena wujudnya adalah wujud yang diberikan. Yang kekal dan abadi hanyalah
wujud Allah. Dan manusia yang mencari kesempurnaan adalah manusia yang terus
menerus mendekatkan diri (dalam bentuk pemahaman dan ibadah) kepada Dzat yang
Wujud (wahdatul wujud) bukan manusia yang mendekatkan diri kepada kehidupan
duniawi yang materialisme, konsumtif dan prilaku korup.
Ajaran wahdatul wujud menjadikan sikap zuhud terhadap dunia, dan
gemar mendekatkan diri kepada Allah sebagai basis eksistensi dan ekspresi
kehidupan. Karena sejatinya manusia di dunia ini hanyalah sementara dan keserakahan,
pembangkangan dan kejahatan akan mempersulit keadaan hamba sehingga ia tidak
dapat mencapai Allah SWT.
Ajaran wahdatul wujud atau konsepsi wujudiyah dipercaya menjadi
salah satu basis keilmuan umat Islam di tanah Nusantara di masa Lalu. Islam
yang berbasis tasawuf-falsafi (teo-sofi) ini kemudian melahirkan beragam karya
dan beradaban mengenai ajaran-ajaran ketuhanan (tauhid) dan tasawuf yang lebih
dominan daripada produksi karya-karya fikh. Artinya, dimasa lalu, Islam yang
berkembang di Indonesia adalah Islam yang lebih mengedepankan spirit wujud
dalam bentuk keimanan dan ketasawufan daripada praktek-praktek kefikihan,
walaupun fikih (syari’at) tidak benar-benar ditinggalkan.
Hamzah, Barus dan Wahdatul Wujud.
Barus sebagai kota besar penghasil khamper, dari abad ke-1 hingga
ke 5 Hijriah dipercaya menjadi basis bagi implementasi nilai-nilai Islam mistik
dengan tokoh utamanya Hamzah Fansuri. Para pelancong masa lalu seperti Empu Prapanca
(Majapahit), Tome Pires (Portugis), Sulaiman Al-Muhri (Arab) dan Sidi Ali
Syalabi (Turki) mencatat bahwa Barus adalah kerajaan kecil yang merdeka dan
makmur yang diramaikan oleh perdagangan. Ada banyak ulama yang konon lahir dari
negeri Barus seperti Hamzah Fansuri sendiri, Abdul Murad dan Burhanpuri adalah
beberapa nama Ulama yang mayoritasnya memiliki basis keilmuan wahdatul wujud.
Ada banyak artefak sejarah dan makam-makam ulama besar yang sampai saat ini
masih dapat disaksikan di Negeri Barus. Kita mengenal Makam Syekh Mahmud Papan
Tinggi, Tuan Syekh Rukunuddin Mahligai, Tuan Batu Badan dan lain-lain yang
konon mencapai jumlah limapuluhan makam ulama. Dapat kita duga bahwa kebanyakan
dari ulama tersebut adalah ulama wujudiyah atau wahdatul wujud.
Persoalan wujudiyah atau wahdatul wujud bukanlah seperti apa yang
kita fahami hari ini sebagai keyakian kesatuan wujud antara makhluk dan khalik
secara mutlak. Wahdatul wujud adalah spirit bahwa tidak ada yang wujud kecuali
wujud Allah dan tidak ada yang abadi kecuali wujud Allah. Dan tugas manusia
adalah untuk mencapai makrifat kepada wujud itu sendiri dengan cara penyucian
diri dan pengabdian.
Setidaknya secara umum ada tiga tahapan dalam mencapai Tuhan yaitu
Pertama, Takhalli (via
purgative) yang artinya upaya pertobatan dan melakukan penyucian diri. dari
segala yang haram dan subhat. Kedua, Tahalli (via contemplative)
yaitu upaya untuk mengisi kehidupan dengan amalan-amalan soleh, baik itu yang
ditentukan oleh syara’ (legal formal) maupun yang ditentukan oleh mursyid
(tarekat). Ketiga, via illuminative (tajalli) adalah penerimaan
dan sikap ketawakkalan.
Akhirnya,
dengan meletakkan Barus sebagai titik Nol Peradaban Islam Nusantara akan memperjelas
narasi Islam Nusantara sebagai Islam yang berdimensi sufistik. Islam sufistik
yang dimaksud adalah Islam yang menjadikan wujud sebagai basis peradaban Islam,
yaitu Islam yang lebih mengedepankan dimensi batiniah, pembinaan rohani dan
intelektual walaupun tidak secara signifikan berorientasi pada pembangunan
materi. Islam sufistik adalah model Islam yang toleran terhadap perbedaan sebagai
manifestasi dari kekuasaan Allah dan menjadikan kesederhanaan sebagai cara
pengabdian.
No comments:
Post a Comment