Sunday, 14 May 2017

BARUS KOTA WAHDATUL WUJUD



Ramli Cibro
Sejarah Islam Nusantara adalah sejarah yang berbicara tentang proses asimilasi Islam ke wilayah Nusantara. Peneliti menyebutkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para sufi pengembara yang menyebarkan faham-faham ketasawufan. Hasilnya Islam yang berkembang di Nusantara adalah Islam berdimensi sufistik. (Azra, 2013) Yaitu ajaran Islam yang lebih mengedepankan pembinaan ruhani dan batiniah ketimbang pembinaan fisik dan bangunan. Oleh karena itu, sejarah peradaban Islam di Nusantara di masa lampu tidak terlalu signifikan meninggalkan bangunan-bangunan monumental dan artefak-artefak akan tetapi lebih kepada transformasi kebudayaan dalam bentuk pemikiran-pemikiran keagamaan, tradisi-tradisi dan naskah-naskah kitab.
Peradaban Islam Nusantara daripada mewariskan istana dan benteng-benteng megah, lebih mewariskan sistem nilai, sistem berfikir dan sistem berbudaya sebagai hasil dari perkawinan antara Islam dan kebudayaan. Sistem nilai artinya prinsip-prinsip yang dianut seperti kejujuran, kesederhanaan dan keberanian. Sistem berfikir adalah model berfikir meliputi fikiran-fikiran ketauhidan, keagamaan dan keilmuan yang tinggi. Adapun sistem kebudayaan adalah praktek-praktek dan tradisi yang diamalkan sehari-hari sebagai praktek-praktek dan tradisi keagamaan yang luwes namun bersih dari unsur-unsur kemusyrikan baik itu syirik khafi dalam bentuk kelalaian dari mengingat Allah maupun syirik dzahir dalam bentuk pemujaan terhadap selain Allah. Ini terlihat dari warisan-warisan kearifan lokal yang berdimensi Islam, warisan-warisan intelektual dalam bentuk karya-karya teologi-sufisme dan kebudayaan-kebudayaan yang sejalan dengan ruh keislaman dan ketauhidan (Al-Attas, 1990).
Peneliti Muda Aceh, Mulyadi dalam tesisnya Islam Nusantara prespektif Syed Mohd. Naquib Al-Attas menyebutkan bahwa proses asimilasi kebudayaan Islam di Nusantara dibangun dengan sebuah sistem yang meletakkan konsep wujud diatas menara bangunan konseptualnya. Menurutnya, Teks-teks mengenai Islam yang datang ke Nusantara lewat pengaruh sufistik dan ajaran wujud terlihat dari karya-karya tasawuf Hamzah Fansuri. (Mulyadi, 2016) Simuh mencatat bahwa tasawuf Hamzah Fansuri adalah yang paling berpengaruh bagi penganut ajaran tasawuf di Pulau Jawa (Simuh, 1988).
Islam Nusantara yang berbasis wujud, menjadikan wujud Allah sebagai satu-satunya titik eksistensi. Artinya, bahwa segala semesta berikut aktivitas yang ada di dalamnya adalah manifestasi dari wujud Tuhan. Kesemuanya adalah fana karena wujudnya adalah wujud yang diberikan. Yang kekal dan abadi hanyalah wujud Allah. Dan manusia yang mencari kesempurnaan adalah manusia yang terus menerus mendekatkan diri (dalam bentuk pemahaman dan ibadah) kepada Dzat yang Wujud (wahdatul wujud) bukan manusia yang mendekatkan diri kepada kehidupan duniawi yang materialisme, konsumtif dan prilaku korup.
Ajaran wahdatul wujud menjadikan sikap zuhud terhadap dunia, dan gemar mendekatkan diri kepada Allah sebagai basis eksistensi dan ekspresi kehidupan. Karena sejatinya manusia di dunia ini hanyalah sementara dan keserakahan, pembangkangan dan kejahatan akan mempersulit keadaan hamba sehingga ia tidak dapat mencapai Allah SWT.
Ajaran wahdatul wujud atau konsepsi wujudiyah dipercaya menjadi salah satu basis keilmuan umat Islam di tanah Nusantara di masa Lalu. Islam yang berbasis tasawuf-falsafi (teo-sofi) ini kemudian melahirkan beragam karya dan beradaban mengenai ajaran-ajaran ketuhanan (tauhid) dan tasawuf yang lebih dominan daripada produksi karya-karya fikh. Artinya, dimasa lalu, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang lebih mengedepankan spirit wujud dalam bentuk keimanan dan ketasawufan daripada praktek-praktek kefikihan, walaupun fikih (syari’at) tidak benar-benar ditinggalkan.
Hamzah, Barus dan Wahdatul Wujud.
Barus sebagai kota besar penghasil khamper, dari abad ke-1 hingga ke 5 Hijriah dipercaya menjadi basis bagi implementasi nilai-nilai Islam mistik dengan tokoh utamanya Hamzah Fansuri. Para pelancong masa lalu seperti Empu Prapanca (Majapahit), Tome Pires (Portugis), Sulaiman Al-Muhri (Arab) dan Sidi Ali Syalabi (Turki) mencatat bahwa Barus adalah kerajaan kecil yang merdeka dan makmur yang diramaikan oleh perdagangan. Ada banyak ulama yang konon lahir dari negeri Barus seperti Hamzah Fansuri sendiri, Abdul Murad dan Burhanpuri adalah beberapa nama Ulama yang mayoritasnya memiliki basis keilmuan wahdatul wujud. Ada banyak artefak sejarah dan makam-makam ulama besar yang sampai saat ini masih dapat disaksikan di Negeri Barus. Kita mengenal Makam Syekh Mahmud Papan Tinggi, Tuan Syekh Rukunuddin Mahligai, Tuan Batu Badan dan lain-lain yang konon mencapai jumlah limapuluhan makam ulama. Dapat kita duga bahwa kebanyakan dari ulama tersebut adalah ulama wujudiyah atau wahdatul wujud.
Persoalan wujudiyah atau wahdatul wujud bukanlah seperti apa yang kita fahami hari ini sebagai keyakian kesatuan wujud antara makhluk dan khalik secara mutlak. Wahdatul wujud adalah spirit bahwa tidak ada yang wujud kecuali wujud Allah dan tidak ada yang abadi kecuali wujud Allah. Dan tugas manusia adalah untuk mencapai makrifat kepada wujud itu sendiri dengan cara penyucian diri dan pengabdian.
Setidaknya secara umum ada tiga tahapan dalam mencapai Tuhan yaitu Pertama,  Takhalli (via purgative) yang artinya upaya pertobatan dan melakukan penyucian diri. dari segala yang haram dan subhat. Kedua, Tahalli (via contemplative) yaitu upaya untuk mengisi kehidupan dengan amalan-amalan soleh, baik itu yang ditentukan oleh syara’ (legal formal) maupun yang ditentukan oleh mursyid (tarekat). Ketiga, via illuminative (tajalli) adalah penerimaan dan sikap ketawakkalan.
Akhirnya, dengan meletakkan Barus sebagai titik Nol Peradaban Islam Nusantara akan memperjelas narasi Islam Nusantara sebagai Islam yang berdimensi sufistik. Islam sufistik yang dimaksud adalah Islam yang menjadikan wujud sebagai basis peradaban Islam, yaitu Islam yang lebih mengedepankan dimensi batiniah, pembinaan rohani dan intelektual walaupun tidak secara signifikan berorientasi pada pembangunan materi. Islam sufistik adalah model Islam yang toleran terhadap perbedaan sebagai manifestasi dari kekuasaan Allah dan menjadikan kesederhanaan sebagai cara pengabdian.

No comments:

Post a Comment