Friday, 10 April 2015

Mengapa Islam Mundur...?


Ramli
Seorang Mahasiswa
Pertanyaan mengapa Islam mundur adalah pertanyaan yang sulit dan kompleks. Setiap orang berbeda-beda jawaban sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Meskipun demikian, setiap pandangan dan jawaban tentu harus memiliki landasan dan argument yang dapat diperanggungjawabkan. Sebagai contoh misalnya ketika kemunculan tarekat berbarengan dengan penyerangan kaum Mongol, tidak serta merta menjadikan tarekat sebagai kambing hitam atas kemunduran Islam pasca serangan tersebut. Dan dan sebaliknya kita juga tidak dapat membela tarekat dan membantah tuduhan yang menyatakan tarekat sebagai biang kemunduran Islam sebelum melakukan penelitian dan pengkajian yang komprehensif. 


Disinilah kesulitan dan kerumitan dari pertanyaan tadi. Untuk memperoleh jawaban yang bernas, mau tidak mau, kita harus meruntut ke dalam lubuk sejarah, menyelami rentang panjang sejarah Islam mulai dari kelahirannya sampai kemudian kemunduran sebelum dan sesudah serangan Mongol, perkembangan dan kemunduran tiga kerajaan besar (Safawi, Mughal dan Utsmani), perkembangan Islam di Eropa yang menjadi cikal bakal renainsanch, seperti Sevilla, Ummayah II, Kordova, hingga penaklukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte dan penaklukan Negeri-negeri yang berpenduduk Muslim oleh Negara-negara Eropa hingga penaklukan melalui perang pemikiran, budaya, ekonomi, dan informasi di era modern dimana umat Islam berposisi sebagai pihak yang terpinggirkan.
Ada yang mengatakan kemunduran Islam karena agama Islam sudah bercampur dengan mitos dari Persia dan Filsafat dari Yunani, ada juga yang mengatakan bahwa Islam mundur karena merebaknya faham sesat ajaran Tasawuf. Ada yang menuduh Al-Ghazaly dengan dikotomi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah-nya yang menyebabkan kemunduran. Lebih jauh, kemunduran Islam juga dianggap sebagai akibat dari merebaknya praktek Tarikat yang tidak ada dalil hukumnya, juga munculnya faham-faham Irfani dan Jabariyah yang mengesampingkan peran ‘upaya,’ dalam praktek prilaku kehidupan umat sehari-hari.
            Harun Nasution menyebutkan bahwa Islam telah mengalami fase maju dan mundur secara berulang. Fase kemajuan Islam misalnya dimulai dari masa klasik (650-1250M) dimana pada masa ini (antara 650-1000) ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan dunia Islam. Kekuasaan Islam meluas dari Afrika Utara, Spanyol di Barat, dan melalui Persia sampai ke India dan Timur. Pada masa ini adalah masa dimana Islam melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad dalam bidang hukum, Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil bin Atha, Abu Huzail, An-Nazzam dan Al-Juba’I dalam bidang teologi, Zunnun Al-Misri, Abu Yazid al Busthami, Al-Hallaj, dalam mistisme dan Tasawuf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu  Sina dan Ibn Miskawaih dalam falsafat, Ibnu al-Haisyam, Ibnu Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, Ar-Razy dalam bidang pengetahuan.[1]
Penerimaan Sistem berfikir filsafat telah melebarkan sudut pandang umat Islam terhadap ajaran agamanya itu sendiri sehingga pada awal abad ke dua hijriah telah menjadi semacam ledakan yang melebarkan wacana keislaman dan pengetahuan. Abad kedua Hijriah telah menjadi semacam titik kegemilangan peradaban Islam khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan.[2] Filsafat yang dipercaya sebagai induk ilmu pengetahuan telah dengan sendirinya merangsang perkembangan pengetahuan di Dunia Islam. Perkembangan pengetahuan bukan saja meliputi aspek-aspek sains dan ilmu humaniora, bahkan ilmu-ilmu keagamaan seperti fikh, ilmu al-qur’an, ilmu hadits, bahasa Arab dll, dengan filsafat juga mengalami kemajuan yang pesat.
Dari keterangan diatas jelas bahwa perbedaan-perbedaan madhab dan ilmu kalam bukan menjadi penyebab kemunduran sehingga wacana penghapusan madhab dan aliran dan memaksakan untuk hanya memakai satu madhab dan aliran saja (biasanya diklaim sebagai madhab Al-Qur’an dan As-Sunnah) adalah pemaksaan dan sebuah kemunduran. Ini juga membuktikan bahwa integrasi pengetahuan dan budaya dengan masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam justru mendorong kemajuan pengetahuan. Hal yang sama berlaku pada Tasawuf. Keberadaan tasawuf telah menjadi parameter bagi prilaku dan moral para penguasa, intelektual dan prajurit-prajurit Islam sehingga mendorong mereka mereka terus maju, melampaui batasan-batasan teritorial dan kemampuan generasi sebelumnya.
Sebagai mana yang telah disebutkan sebelumnya, secara sederhana, kemajuan dan kemuduran dalam Islam terjadi berulang kali, dan ini menjadi sesuatu yang alamiyah jika lihat dari kaca mata sejarah. Namun jika disimpulkan disana akan terdapat berbagai faktor yang memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain dan kebanyakan faktor tersebut erat kaitannya dengan penyimpangan dan pelanggaran nilai-nilai Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW. Seperti kemunduran Islam pra serangan Mongol, dimana persoalan perebutan kekuasaan dan materi antar penguasa hingga munculnya pengkhianatan adalah faktor kelemahan Islam ketika itu disamping tentu saja gelombang tentara Mongol masih terlalu besar jika dibandingkan dengan kekuatan Islam dimasa itu.
Hal ini diperparah dengan pandangan radikalisme yang menolak semua yang tidak ada landasan ‘eksplisit’-nya di dalam Al-Qur’an. Munculnya antipati yang berlebihan terhadap Barat pasca rentetan panjang peperangan Salib membuat Turki Utsmani sebagai wilayah Islam yang bersentuhan langsung dengan Eropa menjadi lamban dalam merespon kemajuan. Mereka khawatir bahwa tekhnologi Eropa akan mengecilkan peran dan kekuasaan yang selama ini mereka miliki. Hasilnya Islam semakin jauh dari peradaban.
Meskipun sebelumnya disebutkan bahwa pertanyaan mengenai kemuduran Islam memiliki jawaban yang begitu rumit dan kompleks, namun disini kami mencoba untuk Hanya mengajukan dua sebab dari dua tinjauan Filsafat dan Tasawuf yaitu: Tertutupnya pintu ijtihad (Tinjauan Filsafat) dan Beralihnya Orientasi Ukhrawi kepada Orientasi duniawi (Tinjauan Tasawuf).
Beberapa penyebab kemuduran Islam
1.      Tertutupnya Pintu Ijtihad
Pada pertengahan Abad ke-3 atau 9 M muncul gagasan bahwa hanya ulama'-ulama' besar masa lampau yang berhak melakukan ijtihad. Sementara pada permulaan Abad ke-4 H tercapai titik krisis dimana para sarjana hukum Islam (fuqaha) dari berbagai madzhab Sunni memandang bahwa seluruh permasalahan yang esensial telah dibahas secara tuntas. Semacam consensus secara gradual memapankan dirinya yang kurang lebih bermakna bahwa mulai saat itu tidak seorangpun yang boleh mengklaim bahwa ia memiliki kualifikasi untuk melaksanakan ijtihad mutlak, dan seluruh aktifitas dimasa mendatang harus dibatasi pada penjelasan, aplikasi dan penafsiran doktrin yang telah dirumuskan.[3]
Ali Syais mengatakan bahwa setelah Muhammad bin Jabir Ath-Thobari, (W. 310 H) memberanikan diri dalam berijtihad, beristimbat dan berfatwa memutuskan hukum-hukumnya langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa terkait oleh satu pendapat pun dari imam-imam mujtahid. Bahkan mereka mengekang hak kebebasaan diri mereka dan hanya puas dengan berpegang kepada fiqih-fiqih Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ibnu Hambal, serta madzhab-madzhab lain yang berkembang. Mereka membatasi diri mereka dalam ruang lingkup yang sangat terbatas, dan hanya mengikuti prinsip-prinsip madzhab yang ada, dan tidak berusaha untuk mengembangkan dan meluaskan ruang lingkupnya. Setiap kelompok hanya berpegang kepada madzhab tertentu tanpa berani melanggarnya, serta berjuang keras untuk membela memenangkan madzhabnya, baik secara global maupun secara rinci.[4]
Walau kemudian kebebasan berijtihad membawa kepada faham fragmentaris dan mengantarkan kepada relatifitas kebenaran, tetap saja itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menutup pintu ijtihad. Lagipula tidak semua ijtihad kemudian menemukan kebenarannya sendiri-sendiri karena ijtihad yang diterima haruslah ijtihad yang sesuai dengan nalar logis dan dapat dipertanggungjawabkan argumennya secara normatif maupun ilmiah. Dan jika ada perbedaan diantara 2 ijtihad pada persoalan yang sama, maka orang dapat memilih ijtihad yang lebih ‘berkualitas,’ atau juga boleh memilih ijtihad mana yang paling sesuai dengan kontes dimana hasil ijtihad tersebut dipergunakan.
Hadits Nabi:
 عن عمرو بن العاص أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول  إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران ، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر[5]
Dari Amr ibn Ash r.a, beliau Rasulullah SAW bersabda:  Apabila seorang Hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila ijtihadnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala (HR Buchari)
Menurut Rahman seperti yang dikutip oleh Adnan Amal, Ijtihad haruslah merupakan upaya berganda akal budi yang berfikir, yang berhadapan antara satu dengan lainnya dalam satu arena perdebatan terbuka, sehingga akhirnya melahirkan satu konsensus yang menyeluruh. [6]
Berijtiha bukan berarti bahwa bagi siapapun boleh seenaknya untuk berijtihad. Berijtihad adalah proses menggali kebenaran dan jawaban yang procedural dan dapat diargumentasikan secara ilmiah. Menurut Tengku Safir Iskandar, hasil Ijtihad tidaklah dapat diukur dengan sebelah kaca mata, tetapi harus disidik melalui berbagai dimensi. Sidik penalanaran adalah pintunya, sedangkan penilaian melalui ajaran dan norma hukum dogmatis adalah pembunuhan intelektual. Model terakhir ini di dunia kaum agamawan telah menjadi tradisi yang dipertahankan dan bila perlu dilestarikan. Jika ini yang menjadi sasaran, maka kapan lagi ijtihad menjadi landasan peradaban?[7]
2.      Beralihnya Orientasi Ukhrawi kepada Orientasi duniawi.
Sebab kedua dari kedua dari kemuduran Islam ialah beralihnya orientasi Ukhrawi kepada Orientasi Duniawi.  Kegemilangan peradaban dan kekuasaan melahirkan harta yang melimpah membuat sebagian umat Islam menjadi lalai dengan kesenangan. Para Raja dan penguasa di Negeri Islam mulai melupakan tugasnya sebagai khalifah Allah untuk mengayomi kaum muslimin. Mereka disibukkan oleh urusan-urusan duniawi, bermegah-megahan dan berpoya-poya. Sikap berlebih-lebihan ini kemudian berlanjut hingga sampai pada titik yang memberatkan rakyat. Sikap semena-mena para penguasa Negeri Islam justru kemudian menyengsarakan rakyat. Ditambah lagi dengan hilangnya wibawa pemimpin memicu terjadinya pemberontakan disamping karena faktor perebutan kekuasaan. Keadaan demikian memperlemah mental umat sehingga memberi kesempatan kepada orang lain untuk menaklukkan negeri-negeri Islam.
Dalam rentang akhir kekhalifahan Bani Abbasiyah (runtuh pada tahun 1000 M) misalnya, pemerintah maupun wajir istana telah sedemikian rupa bobrok akhlaknya sehingga telah kehilangan legalitas sebagai pemimpin dimata rakyat. Prilaku korupsi,  gemar berpesta dan bermewah-mewahan harus dibayar dengan menaikkan pajak dan memeras rakyat kecil. Hasilnya terjadi perpecahan. Sebagian wilayah melakukan perlawanan untuk memisahkan diri dari Khalifah, maka muncul berbagai Dinasty di bawah Abbasiyah seperti Dinasti Fatimiyah dan Ayubiyah di Mesir. Kemunculan perlawanan tersebut tersebut terkadang juga didasarkan para motif-motif duniawi. Munculnya para pengkhianat yang membimbing masuk pasukan Mongol ke Baghdad juga didasari motif-motif duniawi. Para pengkhianat mengharapkan jabatan dan kekuasaan setelah Khalifah digulingkan.
Kemewahan dan gemerlap dunia telah melemahkan jiwa dan mental umat Islam sehingga mereka menjadi rapuh dan begitu mudah ditaklukkan.
Nabi SAW Bersabda:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا
 فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ
 الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ [8]
Nabi Bersabda : Dari Tsauban, Nabi Bersabda: Aku khawatirkan umat akan diperebutkan layaknya hidangan. Beliau ditanya, Apakah karena ketika itu jumlah kami sedikit? Beliau menjawab, bahkan ketika itu jumlah kalian sangat banyak akan tetapi seperti buih di lautan, dan Allah mencabut dari hati musuh kalian rasa gentar terhadap kalian dan Allah menanankan dalam hati kalian penyakit al-Wahn. Seorang bertanya, Ya Rasulullah, apa itu penyakit Wahn, Rasulullah menjawab, yaitu cinta dunia dan takut mati.  (HR Abu Daud).
Kunci kemenangan kaum muslimin sepanjang perabadannya terletak pada spiritualitas atau rasa keagamaan yang tinggi.  George Sarton memuji aspek spriritual sebagai pendorong kemajuan perdaban Islam. Ia mengatakan, Keimanan Agama telah mendominasi kehidupan kaum muslimin sampai batas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada masyarakat yang begitu serius menjalankan agamanya seperti kaum muslimin, dan ini jelas merupakan faktor utama ikatan dan kekuatan mereka melawan musuh-musuhnya yang terpecah-pecah dalam keimanan yang rapuh serta lemah.[9]
Pada akhirnya, ketika orientasi umat mulai berubah dari orientasi ukhrawi kepada orientasi duniawi, kehidupan masyarakat muslim menjadi lemah. Mereka lebih mempertimbangkan hal-hal yang bersifat materi dan minta mereka terhadap balasan negeri akhirat menjadi semakin lemah. Benih-benih kehancuran dari kebiasaan berlebih-lebihan telah nampak sejak wafatnya Rasulullah (khususnya pada kegemaran pada harta rampasan perang), namun para khulafaurrasyidin berusaha membendungnya dengan menciptakan aturan dan dengan memperingatkan para sahabat tentang keutamaan akhirat. Hal yang sama juga dilakukan oleh pejuang-pejuang Islam dan para ulama ketika melihat para umara dan masyarakat mulai terlena dengan kemanisan dunia. Prilaku ini persis dengan apa yang diperaktekkan oleh kaum sufi, walau ketika itu belum ditemukan pelabelan ‘Tasawuf.’
Para ahli sufi mencoba merumuskan rasa keagamaan tersebut sehingga dapat dimaksimalkan dan berjalan sesuai dengan tuntunan Islam. Para sufi memulai langkah mereka dengan sikap zuhud, sederhana dalam bersikap dan menghindari sifat malas, berlebih-lebihan dan berpoya-poya. Karena menurut para sufi sikap demikian tidak ada dalam cerminan diri Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Dengan sikap zuhud dan sederhana, kaum muslimin dapat menjaga kesehatan dan kekuatan, menghemat waktu dan daya sehingga dapat digunakan ke hal-hal lain yang lebih positif seperti untuk pengetahuan, kemakmuran mesjid dan kesejahteraan umat.
Sebelum kehancuran Islam dinasti Abbasiyah, para sufi telah memberi peringatan kepada para penguasa atas kesemena-menaan mereka yang akan melemahkan Islam. Al-Hallaj misalnya selalu mendorong pejabat yang menjadi sahabatnya (Nashr Al-Qusyairy, kepala rumah tangga istana) untuk melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik-kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi.[10]
Banyak bukti sejarah yang menunjukkan peran kaum sufi dalam menghindarkan Islam dari kehancuran total. Kemampuan mereka membimbing spiritual telah melahirkan gerakan-gerakan perlawanan dan kemajuan peradaban yang tidak sedikit. Dapat dikatakan bahwa andai tidak ada gerakan tasawuf dalam masa-masa perang antara dinasti Islam (seperti Turki dan Mamluk), perang melawan Bangsa Mongol, dan Rentetan perang Salib, mungkin Islam akan musnah. Para sufilah yang membimbing umat yang kehilangan arah mengarungi gurun-gurun dan lautan untuk mencari ladang dakwah yang baru. Merekalah yang menguatkan para pemimpin yang jiwanya kelelahan akibat perang yang berkepanjangan. Kaum sufi menemani para tentara dalam masa-masa greliya, untuk mencoba merebut kembali kejayaan Islam yang telah dirampas. Bahkan para sufi berhasil menjinakkan sikap penguasa-penguasa dari Mongol dan tidak sedikit dari mereka yang kemudian masuk Islam.


[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2003, Hal 5.
[2] Lihat Tengku Safir Iskandar, Falsafah Kalam, Lhokseumawe, Falsafah Kalam, 2003,  hal 24.
[3] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung, Mizan, 1994, hal 35.
[4] Muhammad Ali Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fikh, Jakarta, Rajawali Press, 1995, hal 112.
[5] Muhammad ibn Isma’il Al-Buchari, Shahih Al-Buchari, Beirut, Dar Ibn Katsir,1993,  hal 6919.
[6] Taufik Adnan Amal,,,, hal 180.
[7] Tengku Safir Iskandar, Falsafah Kalam,,,,,, hal 16-17.
[8] Sulaiman ibn ‘Asy’ats Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut , Maktabah Al-Asyriyah, tt.  hal 4297.
[9] George Sarton, Introduction  to The History of Science, Washington DC, Carnegie Institute, 1927, vol 1 hal 503.
[10] M Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia,2008,  hal 165

No comments:

Post a Comment