Ramli
Seorang Mahasiswa
Pertanyaan mengapa Islam mundur adalah pertanyaan yang sulit dan kompleks. Setiap orang berbeda-beda jawaban sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Meskipun demikian, setiap pandangan dan jawaban tentu harus memiliki landasan dan argument yang dapat diperanggungjawabkan. Sebagai contoh misalnya ketika kemunculan tarekat berbarengan dengan penyerangan kaum Mongol, tidak serta merta menjadikan tarekat sebagai kambing hitam atas kemunduran Islam pasca serangan tersebut. Dan dan sebaliknya kita juga tidak dapat membela tarekat dan membantah tuduhan yang menyatakan tarekat sebagai biang kemunduran Islam sebelum melakukan penelitian dan pengkajian yang komprehensif.
Disinilah kesulitan dan kerumitan dari pertanyaan tadi. Untuk memperoleh jawaban yang bernas, mau tidak mau, kita harus meruntut ke dalam lubuk sejarah, menyelami rentang panjang sejarah Islam mulai dari kelahirannya sampai kemudian kemunduran sebelum dan sesudah serangan Mongol, perkembangan dan kemunduran tiga kerajaan besar (Safawi, Mughal dan Utsmani), perkembangan Islam di Eropa yang menjadi cikal bakal renainsanch, seperti Sevilla, Ummayah II, Kordova, hingga penaklukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte dan penaklukan Negeri-negeri yang berpenduduk Muslim oleh Negara-negara Eropa hingga penaklukan melalui perang pemikiran, budaya, ekonomi, dan informasi di era modern dimana umat Islam berposisi sebagai pihak yang terpinggirkan.
Seorang Mahasiswa
Pertanyaan mengapa Islam mundur adalah pertanyaan yang sulit dan kompleks. Setiap orang berbeda-beda jawaban sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Meskipun demikian, setiap pandangan dan jawaban tentu harus memiliki landasan dan argument yang dapat diperanggungjawabkan. Sebagai contoh misalnya ketika kemunculan tarekat berbarengan dengan penyerangan kaum Mongol, tidak serta merta menjadikan tarekat sebagai kambing hitam atas kemunduran Islam pasca serangan tersebut. Dan dan sebaliknya kita juga tidak dapat membela tarekat dan membantah tuduhan yang menyatakan tarekat sebagai biang kemunduran Islam sebelum melakukan penelitian dan pengkajian yang komprehensif.
Disinilah kesulitan dan kerumitan dari pertanyaan tadi. Untuk memperoleh jawaban yang bernas, mau tidak mau, kita harus meruntut ke dalam lubuk sejarah, menyelami rentang panjang sejarah Islam mulai dari kelahirannya sampai kemudian kemunduran sebelum dan sesudah serangan Mongol, perkembangan dan kemunduran tiga kerajaan besar (Safawi, Mughal dan Utsmani), perkembangan Islam di Eropa yang menjadi cikal bakal renainsanch, seperti Sevilla, Ummayah II, Kordova, hingga penaklukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte dan penaklukan Negeri-negeri yang berpenduduk Muslim oleh Negara-negara Eropa hingga penaklukan melalui perang pemikiran, budaya, ekonomi, dan informasi di era modern dimana umat Islam berposisi sebagai pihak yang terpinggirkan.
Ada yang
mengatakan kemunduran Islam karena agama Islam sudah bercampur dengan mitos
dari Persia dan Filsafat dari Yunani, ada juga yang mengatakan bahwa Islam
mundur karena merebaknya faham sesat ajaran Tasawuf. Ada yang menuduh
Al-Ghazaly dengan dikotomi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah-nya yang
menyebabkan kemunduran. Lebih jauh, kemunduran Islam juga dianggap sebagai
akibat dari merebaknya praktek Tarikat yang tidak ada dalil hukumnya, juga
munculnya faham-faham Irfani dan Jabariyah yang mengesampingkan peran ‘upaya,’
dalam praktek prilaku kehidupan umat sehari-hari.
Harun Nasution menyebutkan bahwa
Islam telah mengalami fase maju dan mundur secara berulang. Fase kemajuan Islam
misalnya dimulai dari masa klasik (650-1250M) dimana pada masa ini (antara
650-1000) ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan dunia Islam. Kekuasaan Islam
meluas dari Afrika Utara, Spanyol di Barat, dan melalui Persia sampai ke India
dan Timur. Pada masa ini adalah masa dimana Islam melahirkan tokoh-tokoh besar
seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad dalam bidang
hukum, Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil bin Atha, Abu Huzail, An-Nazzam
dan Al-Juba’I dalam bidang teologi, Zunnun Al-Misri, Abu Yazid al Busthami,
Al-Hallaj, dalam mistisme dan Tasawuf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibn Miskawaih dalam falsafat, Ibnu
al-Haisyam, Ibnu Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, Ar-Razy dalam bidang
pengetahuan.[1]
Penerimaan
Sistem berfikir filsafat telah melebarkan sudut pandang umat Islam terhadap
ajaran agamanya itu sendiri sehingga pada awal abad ke dua hijriah telah
menjadi semacam ledakan yang melebarkan wacana keislaman dan pengetahuan. Abad
kedua Hijriah telah menjadi semacam titik kegemilangan peradaban Islam
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan.[2]
Filsafat yang dipercaya sebagai induk ilmu pengetahuan telah dengan sendirinya
merangsang perkembangan pengetahuan di Dunia Islam. Perkembangan pengetahuan
bukan saja meliputi aspek-aspek sains dan ilmu humaniora, bahkan ilmu-ilmu
keagamaan seperti fikh, ilmu al-qur’an, ilmu hadits, bahasa Arab dll, dengan
filsafat juga mengalami kemajuan yang pesat.
Dari
keterangan diatas jelas bahwa perbedaan-perbedaan madhab dan ilmu kalam bukan
menjadi penyebab kemunduran sehingga wacana penghapusan madhab dan aliran dan
memaksakan untuk hanya memakai satu madhab dan aliran saja (biasanya diklaim
sebagai madhab Al-Qur’an dan As-Sunnah) adalah pemaksaan dan sebuah kemunduran.
Ini juga membuktikan bahwa integrasi pengetahuan dan budaya dengan masuknya
filsafat Yunani ke dunia Islam justru mendorong kemajuan pengetahuan. Hal yang
sama berlaku pada Tasawuf. Keberadaan tasawuf telah menjadi parameter bagi
prilaku dan moral para penguasa, intelektual dan prajurit-prajurit Islam
sehingga mendorong mereka mereka terus maju, melampaui batasan-batasan
teritorial dan kemampuan generasi sebelumnya.
Sebagai
mana yang telah disebutkan sebelumnya, secara sederhana, kemajuan dan kemuduran
dalam Islam terjadi berulang kali, dan ini menjadi sesuatu yang alamiyah jika
lihat dari kaca mata sejarah. Namun jika disimpulkan disana akan terdapat
berbagai faktor yang memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain dan
kebanyakan faktor tersebut erat kaitannya dengan penyimpangan dan pelanggaran nilai-nilai
Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW. Seperti kemunduran Islam pra
serangan Mongol, dimana persoalan perebutan kekuasaan dan materi antar penguasa
hingga munculnya pengkhianatan adalah faktor kelemahan Islam ketika itu disamping
tentu saja gelombang tentara Mongol masih terlalu besar jika dibandingkan
dengan kekuatan Islam dimasa itu.
Hal ini
diperparah dengan pandangan radikalisme yang menolak semua yang tidak ada
landasan ‘eksplisit’-nya di dalam Al-Qur’an. Munculnya antipati yang berlebihan
terhadap Barat pasca rentetan panjang peperangan Salib membuat Turki Utsmani sebagai wilayah Islam
yang bersentuhan langsung dengan Eropa menjadi lamban dalam merespon kemajuan.
Mereka khawatir bahwa tekhnologi Eropa akan mengecilkan peran dan kekuasaan
yang selama ini mereka miliki. Hasilnya Islam semakin jauh dari peradaban.
Meskipun sebelumnya disebutkan bahwa pertanyaan
mengenai kemuduran Islam memiliki jawaban yang begitu rumit dan kompleks, namun
disini kami mencoba untuk Hanya mengajukan dua sebab dari dua tinjauan Filsafat
dan Tasawuf yaitu: Tertutupnya pintu ijtihad (Tinjauan Filsafat) dan Beralihnya Orientasi Ukhrawi kepada
Orientasi duniawi (Tinjauan Tasawuf).
Beberapa
penyebab kemuduran Islam
1. Tertutupnya Pintu Ijtihad
Pada pertengahan Abad ke-3 atau 9 M muncul
gagasan bahwa hanya ulama'-ulama' besar masa lampau yang berhak melakukan
ijtihad. Sementara pada permulaan Abad ke-4 H tercapai titik krisis dimana para
sarjana hukum Islam (fuqaha) dari berbagai madzhab Sunni memandang bahwa
seluruh permasalahan yang esensial telah dibahas secara tuntas. Semacam
consensus secara gradual memapankan dirinya yang kurang lebih bermakna bahwa
mulai saat itu tidak seorangpun yang boleh mengklaim bahwa ia memiliki
kualifikasi untuk melaksanakan ijtihad mutlak, dan seluruh aktifitas dimasa
mendatang harus dibatasi pada penjelasan, aplikasi dan penafsiran doktrin yang
telah dirumuskan.[3]
Ali Syais
mengatakan bahwa setelah Muhammad bin Jabir Ath-Thobari, (W. 310 H)
memberanikan diri dalam berijtihad, beristimbat dan berfatwa memutuskan
hukum-hukumnya langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa terkait oleh satu
pendapat pun dari imam-imam mujtahid. Bahkan mereka mengekang hak kebebasaan
diri mereka dan hanya puas dengan berpegang kepada fiqih-fiqih Abu Hanifah, Malik,
Syafi’I dan Ibnu Hambal, serta madzhab-madzhab lain yang berkembang. Mereka
membatasi diri mereka dalam ruang lingkup yang sangat terbatas, dan hanya
mengikuti prinsip-prinsip madzhab yang ada, dan tidak berusaha untuk mengembangkan
dan meluaskan ruang lingkupnya. Setiap kelompok hanya berpegang kepada madzhab
tertentu tanpa berani melanggarnya, serta berjuang keras untuk membela
memenangkan madzhabnya, baik secara global maupun secara rinci.[4]
Walau kemudian kebebasan berijtihad membawa
kepada faham fragmentaris dan mengantarkan kepada relatifitas kebenaran, tetap
saja itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menutup pintu ijtihad. Lagipula
tidak semua ijtihad kemudian menemukan kebenarannya sendiri-sendiri karena
ijtihad yang diterima haruslah ijtihad yang sesuai dengan nalar logis dan dapat
dipertanggungjawabkan argumennya secara normatif maupun ilmiah. Dan jika ada
perbedaan diantara 2 ijtihad pada persoalan yang sama, maka orang dapat memilih
ijtihad yang lebih ‘berkualitas,’ atau juga boleh memilih ijtihad mana yang
paling sesuai dengan kontes dimana hasil ijtihad tersebut dipergunakan.
Hadits Nabi:
عن عمرو
بن العاص أنه سمع رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول إذا حكم الحاكم
فاجتهد ثم أصاب فله أجران ، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر[5]
Dari Amr ibn Ash r.a, beliau
Rasulullah SAW bersabda: Apabila seorang
Hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu
benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila ijtihadnya itu salah maka ia
mendapatkan satu pahala (HR Buchari)
Menurut Rahman seperti yang dikutip
oleh Adnan Amal, Ijtihad haruslah merupakan upaya berganda akal budi yang
berfikir, yang berhadapan antara satu dengan lainnya dalam satu arena
perdebatan terbuka, sehingga akhirnya melahirkan satu konsensus yang menyeluruh.
[6]
Berijtiha bukan berarti bahwa bagi
siapapun boleh seenaknya untuk berijtihad. Berijtihad adalah proses menggali
kebenaran dan jawaban yang procedural dan dapat diargumentasikan secara ilmiah.
Menurut Tengku Safir Iskandar, hasil Ijtihad tidaklah dapat diukur dengan
sebelah kaca mata, tetapi harus disidik melalui berbagai dimensi. Sidik
penalanaran adalah pintunya, sedangkan penilaian melalui ajaran dan norma hukum
dogmatis adalah pembunuhan intelektual. Model terakhir ini di dunia kaum
agamawan telah menjadi tradisi yang dipertahankan dan bila perlu dilestarikan.
Jika ini yang menjadi sasaran, maka kapan lagi ijtihad menjadi landasan
peradaban?[7]
2.
Beralihnya Orientasi Ukhrawi kepada Orientasi duniawi.
Sebab kedua
dari kedua dari kemuduran Islam ialah beralihnya orientasi Ukhrawi kepada
Orientasi Duniawi. Kegemilangan peradaban dan kekuasaan melahirkan
harta yang melimpah membuat sebagian umat Islam menjadi lalai dengan
kesenangan. Para Raja dan penguasa di Negeri Islam mulai melupakan tugasnya
sebagai khalifah Allah untuk mengayomi kaum muslimin. Mereka disibukkan oleh
urusan-urusan duniawi, bermegah-megahan dan berpoya-poya. Sikap
berlebih-lebihan ini kemudian berlanjut hingga sampai pada titik yang
memberatkan rakyat. Sikap semena-mena para penguasa Negeri Islam justru
kemudian menyengsarakan rakyat. Ditambah lagi dengan hilangnya wibawa pemimpin
memicu terjadinya pemberontakan disamping karena faktor perebutan kekuasaan.
Keadaan demikian memperlemah mental umat sehingga memberi kesempatan kepada
orang lain untuk menaklukkan negeri-negeri Islam.
Dalam
rentang akhir kekhalifahan Bani Abbasiyah (runtuh pada tahun 1000 M) misalnya,
pemerintah maupun wajir istana telah sedemikian rupa bobrok akhlaknya sehingga
telah kehilangan legalitas sebagai pemimpin dimata rakyat. Prilaku
korupsi, gemar berpesta dan
bermewah-mewahan harus dibayar dengan menaikkan pajak dan memeras rakyat kecil.
Hasilnya terjadi perpecahan. Sebagian wilayah melakukan perlawanan untuk
memisahkan diri dari Khalifah, maka muncul berbagai Dinasty di bawah Abbasiyah
seperti Dinasti Fatimiyah dan Ayubiyah di Mesir. Kemunculan perlawanan tersebut
tersebut terkadang juga didasarkan para motif-motif duniawi. Munculnya para
pengkhianat yang membimbing masuk pasukan Mongol ke Baghdad juga didasari
motif-motif duniawi. Para pengkhianat mengharapkan jabatan dan kekuasaan
setelah Khalifah digulingkan.
Kemewahan
dan gemerlap dunia telah melemahkan jiwa dan mental umat Islam sehingga mereka
menjadi rapuh dan begitu mudah ditaklukkan.
Nabi SAW
Bersabda:
عَنْ
ثَوْبَانَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ
كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا
فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ
يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ
كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ
الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ
فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ
قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ [8]
Nabi
Bersabda : Dari Tsauban, Nabi Bersabda: Aku khawatirkan umat akan diperebutkan
layaknya hidangan. Beliau ditanya, Apakah karena ketika itu jumlah kami
sedikit? Beliau menjawab, bahkan ketika itu jumlah kalian sangat banyak akan
tetapi seperti buih di lautan, dan Allah mencabut dari hati musuh kalian rasa
gentar terhadap kalian dan Allah menanankan dalam hati kalian penyakit al-Wahn.
Seorang bertanya, Ya Rasulullah, apa itu penyakit Wahn, Rasulullah menjawab,
yaitu cinta dunia dan takut mati. (HR Abu Daud).
Kunci kemenangan kaum muslimin sepanjang
perabadannya terletak pada spiritualitas atau rasa keagamaan yang tinggi. George Sarton memuji aspek spriritual sebagai
pendorong kemajuan perdaban Islam. Ia mengatakan, Keimanan Agama telah
mendominasi kehidupan kaum muslimin sampai batas yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Tidak ada masyarakat yang begitu serius menjalankan agamanya
seperti kaum muslimin, dan ini jelas merupakan faktor utama ikatan dan kekuatan
mereka melawan musuh-musuhnya yang terpecah-pecah dalam keimanan yang rapuh
serta lemah.[9]
Pada akhirnya, ketika orientasi umat mulai
berubah dari orientasi ukhrawi kepada orientasi duniawi, kehidupan masyarakat
muslim menjadi lemah. Mereka lebih mempertimbangkan hal-hal yang bersifat
materi dan minta mereka terhadap balasan negeri akhirat menjadi semakin lemah.
Benih-benih kehancuran dari kebiasaan berlebih-lebihan telah nampak sejak wafatnya
Rasulullah (khususnya pada kegemaran pada harta rampasan perang), namun para
khulafaurrasyidin berusaha membendungnya dengan menciptakan aturan dan dengan
memperingatkan para sahabat tentang keutamaan akhirat. Hal yang sama juga
dilakukan oleh pejuang-pejuang Islam dan para ulama ketika melihat para umara
dan masyarakat mulai terlena dengan kemanisan dunia. Prilaku ini persis dengan
apa yang diperaktekkan oleh kaum sufi, walau ketika itu belum ditemukan
pelabelan ‘Tasawuf.’
Para ahli sufi mencoba merumuskan rasa
keagamaan tersebut sehingga dapat dimaksimalkan dan berjalan sesuai dengan
tuntunan Islam. Para sufi memulai langkah mereka dengan sikap zuhud, sederhana
dalam bersikap dan menghindari sifat malas, berlebih-lebihan dan berpoya-poya.
Karena menurut para sufi sikap demikian tidak ada dalam cerminan diri
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Dengan sikap zuhud dan sederhana, kaum
muslimin dapat menjaga kesehatan dan kekuatan, menghemat waktu dan daya
sehingga dapat digunakan ke hal-hal lain yang lebih positif seperti untuk
pengetahuan, kemakmuran mesjid dan kesejahteraan umat.
Sebelum kehancuran Islam dinasti Abbasiyah,
para sufi telah memberi peringatan kepada para penguasa atas kesemena-menaan
mereka yang akan melemahkan Islam. Al-Hallaj misalnya selalu mendorong pejabat
yang menjadi sahabatnya (Nashr Al-Qusyairy, kepala rumah tangga istana) untuk
melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik-kritik
terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi.[10]
Banyak bukti sejarah yang menunjukkan peran
kaum sufi dalam menghindarkan Islam dari kehancuran total. Kemampuan mereka
membimbing spiritual telah melahirkan gerakan-gerakan perlawanan dan kemajuan
peradaban yang tidak sedikit. Dapat dikatakan bahwa andai tidak ada gerakan
tasawuf dalam masa-masa perang antara dinasti Islam (seperti Turki dan Mamluk),
perang melawan Bangsa Mongol, dan Rentetan perang Salib, mungkin Islam akan
musnah. Para sufilah yang membimbing umat yang kehilangan arah mengarungi
gurun-gurun dan lautan untuk mencari ladang dakwah yang baru. Merekalah yang
menguatkan para pemimpin yang jiwanya kelelahan akibat perang yang
berkepanjangan. Kaum sufi menemani para tentara dalam masa-masa greliya, untuk
mencoba merebut kembali kejayaan Islam yang telah dirampas. Bahkan para sufi
berhasil menjinakkan sikap penguasa-penguasa dari Mongol dan tidak sedikit dari
mereka yang kemudian masuk Islam.
[1]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta, Bulan Bintang, 2003, Hal 5.
[2]
Lihat Tengku Safir Iskandar, Falsafah Kalam, Lhokseumawe, Falsafah
Kalam, 2003, hal 24.
[3]
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung, Mizan, 1994,
hal 35.
[4]
Muhammad Ali Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fikh, Jakarta, Rajawali
Press, 1995, hal 112.
[5]
Muhammad ibn Isma’il Al-Buchari, Shahih Al-Buchari, Beirut, Dar Ibn
Katsir,1993, hal 6919.
[6]
Taufik Adnan Amal,,,, hal 180.
[7]
Tengku Safir Iskandar, Falsafah Kalam,,,,,, hal 16-17.
[8]
Sulaiman ibn ‘Asy’ats Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut , Maktabah
Al-Asyriyah, tt. hal 4297.
[9]
George Sarton, Introduction to The
History of Science, Washington DC, Carnegie Institute, 1927, vol 1 hal 503.
[10] M
Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka
Setia,2008, hal 165
No comments:
Post a Comment