Fenomena Umrah yang marak akhir-akhir
ini sejatinya patut disukuri sebagai bagian dari meningkatnya rasa kesadaran
beragama ummat Islam khususnya di Aceh. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa
hati manusia tidak dapat lepas dari nuansa-nuansa spiritual, kesyahduan
beragama, kekhusyu’an dan keintiman dengan sang Ilahi. Sudah menjadi fitrah
bahwa di situasi kehidupan yang sulit, manusia membutuhkan medium yang dapat
melepaskan dahaga spiritual.
“Apa gunanya jika kebenaran berdiri di hadapanku, dingin dan telanjang, tidak peduli apakah aku mengenalinya ataupun tidak, dan malah membuatku takut dan bukannya percaya?”_KIERKEGAARD
Wednesday, 26 July 2017
Membaca Hubungan Aceh dan Jakarta dalam Narasi UUPA dan Bab Istisna'
Ramli Cibro
Memahami hubungan Pusat dan Aceh sederhananya seperti memahami Bab Istisna dalam narasi mustasna dan mustasna minhu. Bahwa Aceh adalah mustasna dan Pusat adalah mustasna minhu. Artinya, mustasna harus merupakan bagian dari mustasna minhu, Aceh harus menjadi bagian dari Pusat. Bahwa kepentingan Aceh adalah pengecualian dari kepentingan Pusat. Bahwa pusat harus mendahulukan kebutuhan umum bangsa Indonesia secara keseluruhan, baru kemudian mempersilahkan Aceh untuk mengajukan pengecualian. Bukan sebaliknya bahwa Pusat harus menyesuaikan aturan dengan Aceh. Karena tidak mungkin mustasna minhu menjadi bagian dari mustasna, sama seperti tidak mungkin Pusat menjadi bagian dari Aceh. Acehlah yang harus menjadi bagian dari Pusat, walaupun pada akhirnya kemudian Aceh membuat pengecualian.
Memahami hubungan Pusat dan Aceh sederhananya seperti memahami Bab Istisna dalam narasi mustasna dan mustasna minhu. Bahwa Aceh adalah mustasna dan Pusat adalah mustasna minhu. Artinya, mustasna harus merupakan bagian dari mustasna minhu, Aceh harus menjadi bagian dari Pusat. Bahwa kepentingan Aceh adalah pengecualian dari kepentingan Pusat. Bahwa pusat harus mendahulukan kebutuhan umum bangsa Indonesia secara keseluruhan, baru kemudian mempersilahkan Aceh untuk mengajukan pengecualian. Bukan sebaliknya bahwa Pusat harus menyesuaikan aturan dengan Aceh. Karena tidak mungkin mustasna minhu menjadi bagian dari mustasna, sama seperti tidak mungkin Pusat menjadi bagian dari Aceh. Acehlah yang harus menjadi bagian dari Pusat, walaupun pada akhirnya kemudian Aceh membuat pengecualian.
Melampaui Perang Agama
Dalam memaknai Perang Palestina, kita harus melampaui narasi Agama karena tidak banyak orang di dunia ini yang bersimpati pada isu Agama. Perang Palestina harus dimakna sebagai narasi penindasan, pelanggaran hak-hak kemanusiaan dan merampas kemerdekaan suatu Bangsa. Kita harus bersama-sama meyakinkan dunia, bahwa tidak boleh ada lagi kekerasan atas manusia dimanapun dan kapanpun. Bahwa tidak boleh ada lagi pelanggaran atas hak-hak dan kemerdekaan suatu bangsa, dimanapun dan kapanpun. Bahwa tidak boleh ada lagi penindasan kepada manusia, apapun agamanya, dimanapun dan kapanpun.
![]() |
Bendera Palestina |
Karena sejatinya bumi ini adalah tempat kita berpijak, bersama-sama. Tentu wajib bagi setiap kita untuk menjaga pijakan itu bersama-sama pula. Kita harus yakin, bahwa kehidupan manusia di dunia ini sudah terjalin, berkelindan begitu erat. Tidak ada lagi Timur dan Barat. Tidak ada lagi Darul Islam dan Darul Harbi. Tidak ada lagi tanah terlarang atau tanah yang dijanjikan. Yang ada hanyalah tanah cinta, tanah kemerdekaan, tanah penghormatan atas hak-hak manusia, siapapun ia, dimanapun ia dan apapun agamanya.
Kita harus yakinkan dunia, bahwa tidak ada kebahagiaan diatas penderitaan orang lain. Tidak ada kebanggaan dari prilaku menindas dan tirani. Tidak ada kehormatan dari prilaku amoral, curang dan korupsi. Dan tidak ada keabadian yang dapat diperoleh dari permusuhan kecuali ketidaknyamanan, rasa takut dan penyesalan.
Jika kita ingin bahagia di dunia yang bercampur aduk ini, saatnya nomor-duakan sekat primordial dan kembali kepada semangat bersama. Cinta, Penghormatan, Kasih Sayang, Penghargaan, Kemerdekaan dan Gotong-Royong.Mari kita tolak segala bentuk penjajahan dan kekerasan. Mari kampanyekan kemerdekaan dan kedamaian...
Tuesday, 11 July 2017
Dari "Buku Usang" ke Buku "Foto Copy;" Wajah Pendidikan di Aceh
Oleh : Ramli Cibro
Memang agak aneh ketika ditengah keterpurukan
ekonomi, dunia pendidikan justru semakin memperlihatkan taring-nya yang tidak
bersahabat. Sebagai tukang foto copy yang memilih beroperasi di kampung
daripada di perkotaan dekat kampus, membuat saya merasakan langsung dampak
keterpurukan ekonomi itu. Disela-sela menunggu hasil kopian, saya sering
bertanya kepada para pelanggan mengenai pekerjaan, penghasilan, suka duka
hingga bagaimana mereka menyekolahkan anaknya. Banyak orang tua yang mengeluh
betapa biaya sekolah semakin menggila dari hari ke hari. Memang kebanyakan
sekolah tidak memungut biaya kecuali mungkin untuk seragam olah raga dan baju
batik. Namun, beberapa kebijakan terasa sangat memberatkan orang tua siswa.
Salah satu dari kebijakan tersebut adalah kewajiban untuk memfoto-copy
buku-buku paket pelajaran.
Sebagai tukang foto copy saya sering
menghitung bahwa rata-rata setiap tahun ada sekitar sepuluh sampai lima belas
buah buku foto copy yang harus di copy khususnya oleh siswa pada jejang
pendidikan SD dan MI. Rata-rata harga satu kopian buku antara 20 sampai 30
ribu. Jika dikalkulasikan 15 buku kali 25 ribu, setiap tahun, anggaran buku
satu siswa dapat mencapai Rp. 300.000 ribu lebih. Itu belum lagi kewajiban
untuk ganti-ganti buku tulis setiap tahun ajaran atau larangan menggunakan buku
tulis lama yang hanya terpakai beberapa lembar untuk dipakai pada tahun ajaran
baru.
Saya kembali bertanya-tanya apa yang sedang
terjadi di sekolah-sekolah kita? Sebagian guru memang mengeluhkan bahwa buku
paket pelajaran yang diberikan oleh pemerintah sangatlah terbatas. Ini memang
ironis di tengah anggaran yang katanya konon melimpah ruah. Namun yang lebih
ironis lagi adalah kreatifitas dan rasa empati yang tidak mampu ditunjukkan
oleh guru-guru kita. Tidak selamanya pembelajaran yang baik berarti mengkopi
seluruh buku dari halaman pengantar sampai halaman catatan. Tidak mesti
pendidikan berarti menjejali anak-anak kurikulum-kurikulum tebal nan
membosankan.
Disanalah terlihat bahwa kreatifitas para
guru perlu dipertanyakan. Apakah tidak ada cara lain mentransformasi pelajaran
tanpa harus terjerat dalam diktum-diktum beku, buku dan silabus? Bukankah
ada begitu banyak cara-cara kreatif dan menyegarkan, seperti belajar di luar
ruangan, belajar langsung dari alam, belajar berinteraksi antar siswa atau
sekali-kali belajar dengan melibatkan orang tua? Atau jangan-jangan guru-guru
kita memang banyak yang sebenarnya tidak berkompetensi untuk mengajar? Atau
malas mempersiapkan bahan ajar? Akhirnya, mereka mengambil jalan pintas lalu
kemudian menjejali anak-anak dengan buku-buku dan bacaan-bacaan?
Saturday, 8 July 2017
MEMBACA SYATAHAT POLITIK JOKOWI
![]() |
Pikiran Merdeka, Senin, 26 Juni 2017 |
Ramli Cibro
Kamis
1 Juni 2017, di halaman Gedung Pancasila komplek kementerian Luar Negeri Jakarta
Jokowi menyampaikan pidato peringatan
hari lahir ke 72 Pancasila. Pidato yang katanya terinspirasi dari pidato Bung
Karno tersebut cukup kontroversi lantaran kalimat, “Saya Pancasila!” yang
diungkapkan dinilai oleh sebagian kalangan kurang tepat. Kata-kata tersebut
dianggap telah mereduksi makna Pancasila. Seolah Jokowi dengan kata-katanya
telah menepatkan Pancasila pada ruang makna yang sempit. Seolah, jika Jokowi
adalah Pancasila maka yang lain bukan Pancasila.
Secara
logis, kata-kata Jokowi memang keliru dan reduksionis. Ini bukan pilihan kata
yang tepat bagi seorang presiden di Negara demokratis yang menolak hegemoni
individu tertentu. Kata-kata yang menyimbolkan seseorang dengan lambang negara
mungkin tepat jika diucapkan oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlaq
semisal raja atau diktator. Namun Jokowi adalah presiden republik Indonesia.
Mendefenisikan diri sebagai Pancasila jelas merupakan kekeliruan yang fatal.
Namun,
membaca Jokowi tidak tepat jika sekedar membaca apa yang ia sampaikan. Perlu
ada pembacaan khusus untuk memahami mengapa Jokowi berani mengucapkan perkataan
tersebut. Perlu dilihat apa yang melatarbelakangi kata-kata Jokowi itu. Dan
perlu juga dikaji prespektif apa yang digunakan oleh Jokowi sehingga ‘nekat’
mengucapkannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)