Wednesday, 26 July 2017

Dari Ziarah ke Umrah; Pergeseran Spiritualitas Masyarakat Aceh



Pikiran Merdeka, Senin 24 Juli 2017
 Oleh Ramli Cibro
Fenomena Umrah yang marak akhir-akhir ini sejatinya patut disukuri sebagai bagian dari meningkatnya rasa kesadaran beragama ummat Islam khususnya di Aceh. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa hati manusia tidak dapat lepas dari nuansa-nuansa spiritual, kesyahduan beragama, kekhusyu’an dan keintiman dengan sang Ilahi. Sudah menjadi fitrah bahwa di situasi kehidupan yang sulit, manusia membutuhkan medium yang dapat melepaskan dahaga spiritual. 

Membaca Hubungan Aceh dan Jakarta dalam Narasi UUPA dan Bab Istisna'

Ramli Cibro

Memahami hubungan Pusat dan Aceh sederhananya seperti memahami Bab Istisna dalam narasi mustasna dan mustasna minhu. Bahwa Aceh adalah mustasna dan Pusat adalah mustasna minhu. Artinya, mustasna harus merupakan bagian dari mustasna minhu, Aceh harus menjadi bagian dari Pusat. Bahwa kepentingan Aceh adalah pengecualian dari kepentingan Pusat. Bahwa pusat harus mendahulukan kebutuhan umum bangsa Indonesia secara keseluruhan, baru kemudian mempersilahkan Aceh untuk mengajukan pengecualian. Bukan sebaliknya bahwa Pusat harus menyesuaikan aturan dengan Aceh. Karena tidak mungkin mustasna minhu menjadi bagian dari mustasna, sama seperti tidak mungkin Pusat menjadi bagian dari Aceh. Acehlah yang harus menjadi bagian dari Pusat, walaupun pada akhirnya kemudian Aceh membuat pengecualian.

Melampaui Perang Agama



Ramli Cibro

Dalam memaknai Perang Palestina, kita harus melampaui narasi Agama karena tidak banyak orang di dunia ini yang bersimpati pada isu Agama. Perang Palestina harus dimakna sebagai narasi penindasan, pelanggaran hak-hak kemanusiaan dan merampas kemerdekaan suatu Bangsa. Kita harus bersama-sama meyakinkan dunia, bahwa tidak boleh ada lagi kekerasan atas manusia dimanapun dan kapanpun. Bahwa tidak boleh ada lagi pelanggaran atas hak-hak dan kemerdekaan suatu bangsa, dimanapun dan kapanpun. Bahwa tidak boleh ada lagi penindasan kepada manusia, apapun agamanya, dimanapun dan kapanpun.
Bendera Palestina
Karena sejatinya bumi ini adalah tempat kita berpijak, bersama-sama. Tentu wajib bagi setiap kita untuk menjaga pijakan itu bersama-sama pula. Kita harus yakin, bahwa kehidupan manusia di dunia ini sudah terjalin, berkelindan begitu erat. Tidak ada lagi Timur dan Barat. Tidak ada lagi Darul Islam dan Darul Harbi. Tidak ada lagi tanah terlarang atau tanah yang dijanjikan. Yang ada hanyalah tanah cinta, tanah kemerdekaan, tanah penghormatan atas hak-hak manusia, siapapun ia, dimanapun ia dan apapun agamanya.
Kita harus yakinkan dunia, bahwa tidak ada kebahagiaan diatas penderitaan orang lain. Tidak ada kebanggaan dari prilaku menindas dan tirani. Tidak ada kehormatan dari prilaku amoral, curang dan korupsi. Dan tidak ada keabadian yang dapat diperoleh dari permusuhan kecuali ketidaknyamanan, rasa takut dan penyesalan.
Jika kita ingin bahagia di dunia yang bercampur aduk ini, saatnya nomor-duakan sekat primordial dan kembali kepada semangat bersama. Cinta, Penghormatan, Kasih Sayang, Penghargaan, Kemerdekaan dan Gotong-Royong.
Mari kita tolak segala bentuk penjajahan dan kekerasan. Mari kampanyekan kemerdekaan dan kedamaian...

Tuesday, 11 July 2017

Dari "Buku Usang" ke Buku "Foto Copy;" Wajah Pendidikan di Aceh

Oleh : Ramli Cibro




Memang agak aneh ketika ditengah keterpurukan ekonomi, dunia pendidikan justru semakin memperlihatkan taring-nya yang tidak bersahabat. Sebagai tukang foto copy yang memilih beroperasi di kampung daripada di perkotaan dekat kampus, membuat saya merasakan langsung dampak keterpurukan ekonomi itu. Disela-sela menunggu hasil kopian, saya sering bertanya kepada para pelanggan mengenai pekerjaan, penghasilan, suka duka hingga bagaimana mereka menyekolahkan anaknya. Banyak orang tua yang mengeluh betapa biaya sekolah semakin menggila dari hari ke hari. Memang kebanyakan sekolah tidak memungut biaya kecuali mungkin untuk seragam olah raga dan baju batik. Namun, beberapa kebijakan terasa sangat memberatkan orang tua siswa. Salah satu dari kebijakan tersebut adalah kewajiban untuk memfoto-copy buku-buku paket pelajaran.
Sebagai tukang foto copy saya sering menghitung bahwa rata-rata setiap tahun ada sekitar sepuluh sampai lima belas buah buku foto copy yang harus di copy khususnya oleh siswa pada jejang pendidikan SD dan MI. Rata-rata harga satu kopian buku antara 20 sampai 30 ribu. Jika dikalkulasikan 15 buku kali 25 ribu, setiap tahun, anggaran buku satu siswa dapat mencapai Rp. 300.000 ribu lebih. Itu belum lagi kewajiban untuk ganti-ganti buku tulis setiap tahun ajaran atau larangan menggunakan buku tulis lama yang hanya terpakai beberapa lembar untuk dipakai pada tahun ajaran baru.
Saya kembali bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sekolah-sekolah kita? Sebagian guru memang mengeluhkan bahwa buku paket pelajaran yang diberikan oleh pemerintah sangatlah terbatas. Ini memang ironis di tengah anggaran yang katanya konon melimpah ruah. Namun yang lebih ironis lagi adalah kreatifitas dan rasa empati yang tidak mampu ditunjukkan oleh guru-guru kita. Tidak selamanya pembelajaran yang baik berarti mengkopi seluruh buku dari halaman pengantar sampai halaman catatan. Tidak mesti pendidikan berarti menjejali anak-anak kurikulum-kurikulum tebal nan membosankan.
Disanalah terlihat bahwa kreatifitas para guru perlu dipertanyakan. Apakah tidak ada cara lain mentransformasi pelajaran tanpa harus terjerat dalam diktum-diktum beku, buku dan silabus? Bukankah ada begitu banyak cara-cara kreatif dan menyegarkan, seperti belajar di luar ruangan, belajar langsung dari alam, belajar berinteraksi antar siswa atau sekali-kali belajar dengan melibatkan orang tua? Atau jangan-jangan guru-guru kita memang banyak yang sebenarnya tidak berkompetensi untuk mengajar? Atau malas mempersiapkan bahan ajar? Akhirnya, mereka mengambil jalan pintas lalu kemudian menjejali anak-anak dengan buku-buku dan bacaan-bacaan?

Saturday, 8 July 2017

MEMBACA SYATAHAT POLITIK JOKOWI


Pikiran Merdeka, Senin, 26 Juni 2017

Ramli Cibro

 Kamis 1 Juni 2017, di halaman Gedung Pancasila komplek kementerian Luar Negeri Jakarta Jokowi menyampaikan  pidato peringatan hari lahir ke 72 Pancasila. Pidato yang katanya terinspirasi dari pidato Bung Karno tersebut cukup kontroversi lantaran kalimat, “Saya Pancasila!” yang diungkapkan dinilai oleh sebagian kalangan kurang tepat. Kata-kata tersebut dianggap telah mereduksi makna Pancasila. Seolah Jokowi dengan kata-katanya telah menepatkan Pancasila pada ruang makna yang sempit. Seolah, jika Jokowi adalah Pancasila maka yang lain bukan Pancasila.
Secara logis, kata-kata Jokowi memang keliru dan reduksionis. Ini bukan pilihan kata yang tepat bagi seorang presiden di Negara demokratis yang menolak hegemoni individu tertentu. Kata-kata yang menyimbolkan seseorang dengan lambang negara mungkin tepat jika diucapkan oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlaq semisal raja atau diktator. Namun Jokowi adalah presiden republik Indonesia. Mendefenisikan diri sebagai Pancasila jelas merupakan kekeliruan yang fatal.
Namun, membaca Jokowi tidak tepat jika sekedar membaca apa yang ia sampaikan. Perlu ada pembacaan khusus untuk memahami mengapa Jokowi berani mengucapkan perkataan tersebut. Perlu dilihat apa yang melatarbelakangi kata-kata Jokowi itu. Dan perlu juga dikaji prespektif apa yang digunakan oleh Jokowi sehingga ‘nekat’ mengucapkannya.