Saturday, 19 November 2016

TOILET DOSEN

Oleh RAMLI CIBRO
-Mantan Santri-


Suatu pagi yang dingin, suasana belum begitu ramai ketika aku bergegas menuju kampus.  Belum banyak yang lalu lalang, kecuali para security, petugas kebersihan dan para penjaga yang sibuk berbenah, mempersiapkan kampus supaya nyaman dikunjungi. Hari ini tidak ada kuliah pagi dan memang tujuanku ke kampus bukan untuk kuliah. Aku ke kampus pagi-pagi sekali mempunyai satu misi sangat penting.  Aku ingin ke toilet UIN karena kamar mandi di asramaku, airnya sedang kosong. 

Friday, 12 August 2016

BOOK REVIEW ; Islam Syari’at Reproduksi Islam Salafiah di Indonesia,

Islam Syari'at Haedar Nashir

Oleh Ramli Cibro


Book Review
Mengupas Plus Minus Perjuangan Syari’at Ideologis
Haedar Nashir,  Islam Syari’at; Reproduksi Islam Salafiah di Indonesia, Mizan, Bandung, 2013, 680 pages.
Abstract:
Kajian ini hendak mencoba mengupas perkembangan syari’at ideologis yang mulai tumbuh subur sejak era reformasi tahun 1998. Haedar Nashir dalam buku ini sepertinya sedikit mengesampingkan basisnya sebagai salah satu kelompok pergerakan salafiah ideologis. Kehadiran tulisan ini berbarengan dengan isu syari’at Islam di berbagai wilayah dan formalisasi syari’at di Provinsi Aceh. Seperti yang kita ketahui, ada arus baru perkembangan Muhammadiyah yang dikomandoi oleh beberapa tokoh senior seperti Syafi’i Ma’arif dan termasuk di dalam nya Haedar Nashir. Ada upaya untuk menancapkan ‘akar keindonesiaan,’ dalam tubuh Muhammadiyah yang selama ini cenderung dianggap tidak memiliki akar keindonesiaan. Ada upaya dari sekelompok orang-orang Muhammadiyah untuk mengeluarkan Muhammadiyah dari kukungan Salafi Ideologi dengan argumentasi bahwa Dahlan pun tidak terlalu terlibat dalam wacana-wacana politik dan ideologis. Kelompok kecil ini ingin mengatakan bahwa Muhammadiyah juga termasuk dalam rumpun Islam Nusantara, yaitu suatu Islam yang bertoleransi terhadap budaya dan kearifan lokal nusantara sembari meniupkan nilai, roh dan semangat keislaman di dalamnya. Kelompok kecil ini juga ingin mengatakan bahwa konsep negara demokrasi yang telah dibentuk oleh para pendahulu negeri tidak sepantasnya dirombak ulang secara radikal karena selain tidak efektif, juga sangat rentan terhadap narasi kekerasan. Sejarahnya memang, upaya formatisasi syari’ah selalu gagal dan berakhir dengan kekerasan demi kekerasan. 

BOOK REVIEW : AGAMA BORJUIS


Agama Borjuis Nur Khalik Ridwan


Oleh Ramli Cibro (Ustadz Pensiun)
Book Review
“Benarkah perjuangan Islam Murni, benar-benar ‘murni’ untuk kepentingan Islam?”
Ramli Cibro (Mantan Ustadz)

Nur Khalik Ridwan  Agama Borjuis; Kritik Atas Nalar Islam Murni, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2004, 460 pages.
Abstract:
Nur Kholik Ridwan, bicara dari ke-NU-annya. Kenyataan bahwa diskurus ke-NU-an sempat mengendap khususnya sebelum kebangkitan era Nurcholis Majid, membuat posisi NU menjadi terbelakang dan sering dianggap sebagai kaum tertinggal. Kenyataannya kemudian model kemajuan ala Islam Murni, menduduki peringkatnya. Nur Kholik setidaknya memulai diskursusnya dengan mengajukan tiga kronologi kebangkitan Islam Murni yaitu Peristiwa Paderi (Abad 18), Muhammadiyah (Abad 19) dan Persis (Abad 20). Yang menjadi catatan utama dalam kajian ini adalah sikap kontradiksi yang pragmatik yang ditampilkan oleh kelompok Islam Murni, khususnya dalam persoalan perdagangan dan politik. Ada kesan bahwa keberadaan dan perjuangan kelompok Islam Murni selalu berhubungan dengan kepentingan dagang, kekuasaan dan model individualisme masyarakat urban. Walaupun kita juga harus mempertimbangkan ‘Nalar-NU’ seorang Nur Kholik, namun kita tidak bisa menolak sebuah pertanyaan klise, “Benarkah perjuangan Islam Murni, benar-benar ‘murni’ untuk kepentingan Islam?
Kata Kunci, Islam Murni, Kaum Pedagang, Kekuasaan dan Kekerasan.
Buku ini - seperti yang ditulis oleh penulisnya – mencoba membaca apa yang tidak terbaca, membedah yang tidak terlihat dipermukaan. Kelebihan buku ini adalah bahwa ‘cara membaca,’ maupun ‘hasil bacaan,’ dari subjek yang dibaca memiliki nilai urgensi yang sama. Akan lebih utuh jika review dilakukan dengan dua fokus yang berbeda antara ‘cara membaca’ dan ‘hasil bacaan.’ Dan untuk mempersingkat pembahasan, tulisan ini hanya akan mencoba mereview ‘cara membaca,’ si penulis.

REVIEW BOOK; ACEHNOLOGI


Buku Acehnologi Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Oleh : Ramli Cibro (Ustadz Pensiun)

Book Review
Aceh-Studies; Dari Historis Ideologis menuju Fenomenologi – Irfani.
Penulis : Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad. Acehnologi, Banda Aceh, Bandar Publishing, 2012, ix + 357 pages.
Abstract:
Kajian tentang ke-Aceh-an entah disengaja atau tidak telah menjadi semacam kajian-konflik, perang ideologi dan kekerasaan. Bahasa Aceh Studies, dimulai sejak Snouck Horgonje, Dennys Lombard, Antony Reid, generasi pascakemerdekaan seperti Ali Hasyimi, Muhammad Said dan lain-lain, hingga hari ini Oto Iskandar selalu berbicara tentang konflik dan perlawanan. Kerajaan Aceh - yang sering dipakai sebagai pembuka kajian ke acehan – hanya digambarkan seperti kekuasaan, kemegahan fisik kerajaan, penaklukan dan menahan serangan. Kajian-kajian model ini seolah meniadaakan sejarah dan khazanah intelektual Aceh yang cukup berpengaruh di Nusantara maupun wilayah Asia Tenggara. Sedikit sekali yang mencoba untuk memahami Aceh dari dimensi khazanah intelektualnya. Segelintir nama yang mencoba mengukir kembali khazanah intelektual masa lalu ini seperti Naquib Al Attas, Ahmad Daudy, Abdul Hadi dan L.K Ara serta seorang filolog, Edward Djamaris. Buku Acehnologi Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad, berangkat dari kegelisahan akan hilangnya model kajian fenomenologi – irfani ini. Buku sederhana ini belum secara utuh menggambarkan model metodologi kajian ke-aceh-an yang fenomenologis dan irfani. Diskursus Epistimologi misalnya hanya dibahas di bagian-bagian awal dan selanjutnya mengkaji beberapa isu Aceh. Dalam buku  ini, penulis juga menuliskan berbagai isu yang berkembang di Aceh melalui pendekatan fenomenologi irfani. Intinya, Buku ini bukan hendak memberi tahu ‘apa’ itu model kajian fenomenologi-irfani namun lebih kepada ‘bagaimana,’ melihat suatu objek dari sudut pandang keacehan-fenomenologi-irfani. Jadi, Acehnologi bukan lagi tentang menjadikan Aceh sebagai subjek kajian, akan tetapi mencoba menjadikan Aceh sebagai ‘cara pandang,’ dan ‘pisau analisis.’
Keyword. Acehnologi, Epistimology, Irfani, Fenomenology dan Wahdatul Wujud.

Monday, 23 May 2016

GLOKALISASI DAN POLITIK REGIONAL

Opini Harian Serambi Indonesia, 28 April 2016
Ramli Cibro
Istilah glokalisasi disini bukanlah seperti kata glokalisasi yang tersurah dalam buku Acehnologi Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad (2012:45), yang mengindikasikan glokalisasi sebagai lawan dari globalisasi yang artinya berupaya untuk memperkuat kedudukan local wisdom, dalam menangkis serangan globalisasi yang terkadang dalam berbagai dimensinya kadang memberikan implikasi yang negatif di dalamnya. Glokalisasi yang kami maksudkan disini adalah arus mengerucut dari alam perpolitikan di Aceh yang semakin menyempit (melokal), mengerdil, dan mengkandang pasca MoU dan segala kekuatan keramatnya. 

Friday, 26 February 2016

Abu Rimba dan Reproduksi Konflik



Ramli Cibro
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa orang yang terbiasa menggunakan pisau akan cenderung menyelesaikan setiap persoalan dengan pisau. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa cara seseorang dalam menyelesaikan masalah sangat bergantung pada ‘kebiasaan’ dan keahliannya. Seorang sosiolog akan melihat setiap fenomena dengan kacamata sosiologi; seorang ustadz akan melihat masalah dengan pendekatan doktrin normatif agama dan seorang jendral akan cenderung menyelesaikan masalah ‘ala’ komandan. Namun demikian, tidak setiap metode penyelesaian dapat dibenarkan sama seperti tidak setiap kecenderungan harus diizinkan terlebih lagi jika tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.

Islam Nusantara; Reproduksi Islam Alternatif



Ramli Cibro
Kejatuhan Rezim Soeharto dipercayai telah membangkitkan kembali gerakan-gerakan Islam revivalis yang selama ini terbungkam. Kebangkitan ini berangkat dari kepercayaan bahwa tidak ada sistem yang mampu menjawab persoalan manusia kecuali yang dipercaya sebagai sistem ‘Islam.’ Selain itu, tuntutan penerapan islamisasi di berbagai sektor juga berangkat dari kepercayaan umat Islam bahwa penerapan sistem yang islami adalah sebuah kewajiban. Walhasil, tuntutan itupun kemudian terkendala oleh kenyataan bahwa negara kita telah terlebih dahulu menerapkan konsep yang berbeda.