Fenomena Umrah yang marak akhir-akhir
ini sejatinya patut disukuri sebagai bagian dari meningkatnya rasa kesadaran
beragama ummat Islam khususnya di Aceh. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa
hati manusia tidak dapat lepas dari nuansa-nuansa spiritual, kesyahduan
beragama, kekhusyu’an dan keintiman dengan sang Ilahi. Sudah menjadi fitrah
bahwa di situasi kehidupan yang sulit, manusia membutuhkan medium yang dapat
melepaskan dahaga spiritual.
Fenomena Umroh jika ditelusuri memiliki
hubungan erat dengan masif-nya geliat keislaman yang ditampilkan oleh
media-media, para artis, ustadz-ustadz selebritis dan tokoh-tokoh politik.
Umrah yang semula tidak begitu diminati telah berubah menjadi trend, incaran
dan mode khususnya bagi masyarakat muslim kota. Ya. Umrah, dalam identitasnya
sebagai ritual juga mengandung indikator-indikator kemewahan yang mengantarkan
pelakunya pada prestis dan gengsi sosial yang tinggi. Dengan Umrah, seorang
dapat merasakan naik pesawat, tidur di hotel, memperoleh pelayanan VIP,
plesiran keluar negeri, dan belanja produk-produk internasional. Dalam beberapa
situsi, penyelenggara umrah bahkan dapat menghadirkan tausiyah ustadz-ustadz
selebriti sebagai pelengkapnya.
Walaupun ada opsi umrah backpacker yang katanya lebih murah, namun pilihan tersebut tentunya kurang diminati. Karena, selain membutuhkan tenaga yang kuat sehingga hanya cocok dilakukan oleh orang-orang muda, juga karena faktor kenyamanan dan resiko perjalanan yang lebih besar dibandingkan dengan umrah reguler atau umrah VIP. Bagi masyarakat yang menginginkan “kenyamanan” dalam berumrah, opsi backpacker tentu kurang menarik. Apalagi bagi mereka yang menjadikan umrah sebagai trend, tentu opsi backpacker sepertinya terlihat kurang bergensi.
Walaupun ada opsi umrah backpacker yang katanya lebih murah, namun pilihan tersebut tentunya kurang diminati. Karena, selain membutuhkan tenaga yang kuat sehingga hanya cocok dilakukan oleh orang-orang muda, juga karena faktor kenyamanan dan resiko perjalanan yang lebih besar dibandingkan dengan umrah reguler atau umrah VIP. Bagi masyarakat yang menginginkan “kenyamanan” dalam berumrah, opsi backpacker tentu kurang menarik. Apalagi bagi mereka yang menjadikan umrah sebagai trend, tentu opsi backpacker sepertinya terlihat kurang bergensi.
Jika kita membaca perubahan tersebut
dari prespektif sosiologi agama, akan ada setidaknya tiga peralihan sosiologis,
yang dapat dipetakan yaitu Pertama, Perubahan dari perkampungan tradisionalisme
ke urban-revivalisme. Masyarakat Aceh pada umumnya adalah masyarakat
tradisional, dimana tradisi Ziarah dan Wali begitu melekat dan erat. Di Aceh
sendiri kita temukan makam-makam ulama yang terus menerus diziarahi.
Tradisi ziarah dan wali sarat akan muatan kekeluargaan dan tradisional, dimana
masyarakat akan mendatangi makam wali secara berkelompok dengan keluarganya
untuk mengambil berkah dan bertawasul kepadanya.
Fenomena ini rupanya mulai bergeser seiring dengan perkembangan keilmuan agama, yang lebih didominasi oleh nuansa urban-revival masyarakat kota. Artinya, bahwa pola keberagamaan yang ditampilkan dan disuguhkan oleh media adalah pola keagamaan masyarakat kota yang disatu sisi terkenal dengan sikapnya yang rasional dan disisi lain kesibukan membawa mereka pada hasrat keagamaan yang kuat. Gabungan sikap rasional dan kesadaran keagamaan tersebut membawa kepada keinginan untuk menjalankan agama dengan ketat dan sekaligus melakukan pemurnian dari praktik-praktik keagamaan yang dianggap tidak rasional. Pola ini kemudian menjalar ke kampung-kampung dimana pelan tapi pasti, paradigma dan pola fikir mereka dipengaruhi oleh masyarakat kota. Sehingga dapat kita saksikan begitu banyak masyarakat kampung yang mengikuti pola keagamaan kota yang rasional, simbolis dan individualistik. Sebagian dari mereka bahkan mengganti tradisi menziarahi makam wali, kepada umrah karena dinilai lebih mendekati tradisi nabi dan kaum salaf daripada ziarah wali yang lemah dalil teologinya.
Kedua, Pergeseran dari pola tradisonalis-sosialis menuju modernis-kapitalis. Artinya, nuansa spiritualitas yang lebih cenderung pada pola-pola tradisional dan ikatan sosial yang tinggi berubah menjadi pola-pola keagamaan yang modern dan rendah ikatan sosialnya. Salah satu perbedaan yang mencolok dari ziarah dan umrah adalah ikatan kekeluargaan yang tinggi dapat ditemukan ketika masyarakat melaksanakan ziarah. Kita akan menemukan para penziarah yang membawa serta keluarga dan sanak famili. Para penziarah akan melakukan do’a bersama yang dipimpin oleh imam dan berbagi bekal yang dibawa untuk bersantap bersama-sama. Pola-pola seperti ini tentu tidak akan ditemukan pada tradisi umrah.
Lebih jauh lagi, fenomena umrah hari ini sangat kental disusupi oleh narasi bisnis. Kita dapat melihat dari berbagai promo dan iklan yang beredar di berbagai media. Menyertakan selebritis atau tokoh ulama untuk memancing minat serta perang harga jelas terpampang di depan mata. Bukan tidak mungkin, fenomena umrah telah berubah menjadi satu pusaran bisnis yang besar, mulai dari promo, kampanye hingga penipuan-penipuan adalah indikator betapa umrah telah menjadi sasaran bisnis dan kapitalisme yang menggila.
Fenomena ini rupanya mulai bergeser seiring dengan perkembangan keilmuan agama, yang lebih didominasi oleh nuansa urban-revival masyarakat kota. Artinya, bahwa pola keberagamaan yang ditampilkan dan disuguhkan oleh media adalah pola keagamaan masyarakat kota yang disatu sisi terkenal dengan sikapnya yang rasional dan disisi lain kesibukan membawa mereka pada hasrat keagamaan yang kuat. Gabungan sikap rasional dan kesadaran keagamaan tersebut membawa kepada keinginan untuk menjalankan agama dengan ketat dan sekaligus melakukan pemurnian dari praktik-praktik keagamaan yang dianggap tidak rasional. Pola ini kemudian menjalar ke kampung-kampung dimana pelan tapi pasti, paradigma dan pola fikir mereka dipengaruhi oleh masyarakat kota. Sehingga dapat kita saksikan begitu banyak masyarakat kampung yang mengikuti pola keagamaan kota yang rasional, simbolis dan individualistik. Sebagian dari mereka bahkan mengganti tradisi menziarahi makam wali, kepada umrah karena dinilai lebih mendekati tradisi nabi dan kaum salaf daripada ziarah wali yang lemah dalil teologinya.
Kedua, Pergeseran dari pola tradisonalis-sosialis menuju modernis-kapitalis. Artinya, nuansa spiritualitas yang lebih cenderung pada pola-pola tradisional dan ikatan sosial yang tinggi berubah menjadi pola-pola keagamaan yang modern dan rendah ikatan sosialnya. Salah satu perbedaan yang mencolok dari ziarah dan umrah adalah ikatan kekeluargaan yang tinggi dapat ditemukan ketika masyarakat melaksanakan ziarah. Kita akan menemukan para penziarah yang membawa serta keluarga dan sanak famili. Para penziarah akan melakukan do’a bersama yang dipimpin oleh imam dan berbagi bekal yang dibawa untuk bersantap bersama-sama. Pola-pola seperti ini tentu tidak akan ditemukan pada tradisi umrah.
Lebih jauh lagi, fenomena umrah hari ini sangat kental disusupi oleh narasi bisnis. Kita dapat melihat dari berbagai promo dan iklan yang beredar di berbagai media. Menyertakan selebritis atau tokoh ulama untuk memancing minat serta perang harga jelas terpampang di depan mata. Bukan tidak mungkin, fenomena umrah telah berubah menjadi satu pusaran bisnis yang besar, mulai dari promo, kampanye hingga penipuan-penipuan adalah indikator betapa umrah telah menjadi sasaran bisnis dan kapitalisme yang menggila.
Ketiga, Pergeseran dari gaya hidup
produktif kepada gaya hidup konsumtif. Masyarakat Aceh di perkampungan dikenal
sebagai masyarakat yang produktif dan hemat. Mereka biasanya bekerja cukup
keras untuk mengumpulkan harta dalam bentuk investasi seperti emas, sawah dan
binatang ternak. Harga diri dan gengsi masyarakat Aceh perkampungan biasanya
diukur dari seberapa luas tanah yang ia miliki dan seberapa banyak ternak yang
mampu ia pelihara. Masyarakat perkampungan tidak akan mudah mengeluarkan uang
untuk hal-hal yang mubazir atau untuk perkara-perkara yang dinilai berlebihan.
Namun, seiring pergeseran pola fikir
maka masyarakat kampung mulai dicekcoki oleh kemewahan dan prestisius-spiritual
umrah. Biasanya jika dahulu masyarakat kampung hanya berumrah satu atau dua
kali seumur hidup, hari ini mereka ingin berumrah satu atau dua kali
setiap tahun. Jika dahulu masyarakat kampung menganggap banyak kebutuhan lain
yang perlu diprioritaskan, namun hari ini mereka tidak lagi ragu menghabiskan
belasan hingga puluhan juta rupiah setiap tahun, demi supaya dapat merasakan
kemewahan dan spiritualitas dari umrah. Bahkan mirisnya, sebagian dari mereka
memilih untuk berhutang demi memuaskan hasrat mode berbalut spiritualitas dari
ibadah umrah.
Padahal, di era yang paceklik ini,
masyarakat sebaiknya disadarkan untuk berhemat dan cerdas dalam mengelola
keuangan. Tradisi bekerja keras dan mengumpulkan uang di masa lalu harus dipertahankan.
Ulama juga harus jujur menjelaskan gagasan keagamaan yang realistis dan
memaknai keberagamaan dalam piramida skala prioritas. Masyarakat harus
diajarkan untuk mengenal mana ibadah yang harus didahulukan dan mana ibadah
yang dapat ditunda. Masyarakat harus diarahkan untuk berprilaku produktif
daripada menghabiskan uang dan modal untuk kepentingan prestisius berkedok
ibadah.
Akhirnya, tulisan ini tidak hendak
menggugat umrah karena ia adalah ibadah yang merupakan bagian dari agama. Namun
disini ingin dijelaskan bahwa narasi umrah hari ini telah menjadi semacam trend
urban yang membawa implikasi-implikasi negatif di dalamnya. Sikap
indifidualistik, sikap berlebih-lebihan, prilaku boros, perang harga hingga
aksi tipu-tipu telah menyelimuti dunia umrah kita. Masyarakat harus lebih
realisitis bahwa masih banyak kebutuhan lain yang perlu diprioritaskan.Masih
banyak tetangga kita, saudara kita yang hidup dalam garis kemiskinan. Bahkan
situasi dan keadaan negeri yang genting sejatinya menjadi pengingat bahwa kita
perlu mempersiapkan bekal untuk menghadapi situasi-situasi tak terduga yang
mungkin akan terjadi dimasa depan.
Ramli Cibro, Magister Pemikiran Agama Islam, UIN Ar-Raniry, Mantan Santri Dayah Darul Hasanah Singkil.
Ramli Cibro, Magister Pemikiran Agama Islam, UIN Ar-Raniry, Mantan Santri Dayah Darul Hasanah Singkil.
Intinya budaya menabung/investasi sudah mulai berkurang pada masyarakat kita, dan ini sangat dikhawatirkan untuk para generasi mereka. Dulu kita tahu, jika ada orang tuannya meninggal, pasti banyak meninggalkan sawah, gunung, emas, rumah, dan lain sebagainya. Sekarang karena sudah terjadi pergeseran, masyarakat lebih konsumtif, dan lupa akan investasi. Tulisan yang menarik untuk diulas.
ReplyDeleteAlangkah baiknya, dalam teknik penyajian di blog, jangan rapat dan panjang2 kali kalimat dalam paragrafnya, nggak enak membacanya, hehehe.
Mampir ke blog aku juga ya! www.yellsaints.com