Sunday, 27 September 2015

Agama dan Sains

Oleh Ramli
Mantan Santri
Secara umum, Tuhan yang dipercayai manusia itu ada 3 bentuk : Imanen (tuhan yang disifati), Transenden (tuhan yang tidak disifati) dan paradox (campuran antara disifati dan tidak didisifati). Dalam agama Islam, tuhan dianggap transenden. Tidak bisa dibuktikan dan digambarkan bentuk dan wujudnya, namun diyakini keberadaannya. Betapa sulit bagi kita untuk melakukannya, meyakini kebenaran sesuatu yang tidak bisa diindra.
Ada yang menarik dari filsafat dan sains (selanjutnya dibaca; budaya) yang menyatakan diri mereka sebagai  sesuatu yang senantiasa menyisakan pertanyaan dan tidak pernah sampai kepada final. Mereka meyakini bahwa mereka akan terus berubah dan berkembang sepanjang masa. Walaupun ada temuan-temuan dan hukum-hukum yang terlihat final, seperti matahari sebagai pusat tata surya dan hukum gravitasi bumi yang mana setiap benda harus jatuh kebawah, namun mereka sepakat untuk meletakkannya kedalam relativitas ilmu. Dimana mereka memposisikannya sama dengan temuan ilmiah yang lain, yaitu sama-sama memiliki kemungkinan untuk berubah.
Hal ini berbeda dengan agama yang dengan segala doktrinnya dianggap sebagai sesuatu yang sudah final dan tidak boleh diletakkan ke dalam posisi relative. Dia harus benar dan hanya boleh ditinjau dari satu sudut pandang, padangan keimanan.
Agama (dalam hal ini agama samawi) adalah hukum yang mengatur hampir semua tatanan kehidupan manusia. Ia bersumber dari wahyu dan sabda meyakini bahwa wahyu dan sabda adalah dua hal yang tidak bisa diubah. Siapa yang mencoba membantahnya, maka dia adalah kafir, seperti kafirnya Galilleo.
 Pada perkembangan selanjutnya, manusia setidaknya menyikapi agama dan budaya dalam tiga bentuk :
1.      Sakralisasi Budaya; yaitu memaksa agama mengikuti budaya karena agama ia dianggap usang dan kaku. Ia dituduh sebagai penyebab kematian Gallileo atau kesengsaraan ilmu pengetahuan. Mereka menganggap agama hanyalah penghalang dan harus ditiadakan (pandangan antheis). Artinya salah satu dari keduanya harus hilang atau salah untuk membenarkan yang lain. Jika agama benar maka sains adalah salah dan jika sains salah maka agamalah yang benar.
2.      Sakralisasi agama.
Adalah upaya purifikasi dengan cara mensucikan agama dari segala pengetahuan manusia yang dianggap tidak final dan membahayakan agama.
Sebagian anggota kelompok ini berusaha melakukan islamisasi ilmu dengan menempelkan dalil-dalil agama kedalamnya.
Namun yang menjadi persoalan ialah ketika agama diserupakan dengan sains atau dianggap sama dengan sains, maka bilamana sains tersebut berubah disuatu waktu, apakah agama (dalam hal ini keyakinan/keimanan) akan berubah?
3.      Membedakan keduanya (sekurelisasi).
Dalam posisi ini, orang membedakan antara keyakinan (yang sulit dibuktikan) dengan hasil penelitian laboratorium (sains). Karena sains adalah sesuatu yang mungkin berubah dan belum final, sementara agama (dalam hal ini Tuhan) adalah keyakinan yang masih sulit dibuktikan namun hal tersebut diyakini adanya karena ketiakmampuan untuk membuktikan keberadaan dan ketiadaan  sesuatu belum tentu menjadi indikasi bagi keberadaan dan ketiadaan sesuatu tersebut.
4.      Objektivikasi.
Metode ini terlihat sangat sulit karena harus menggabungkan dua subjektivitas (subjektivitas agama dan subjekititas) sains kedalam satu wadah, wadah objektive.
Hal inilah yang sudah lama diimpikan dan diusahakan oleh umat Islam sejak lama namun belum menghasilkan apa-apa. Mereka berusaha mengintegrasikan antara budaya dan agama yang jelas-jelas memiliki dimensi yang berbeda sehingga mereka hanya terjerembab kedalam tiga lubang sebelumnya.
Ketika mereka melihat ada bagian-bagian agama yang tidak cocok dengan budaya (naluri mereka), mereka akan meninggalkannya atau minimal mereka menganggapnya sebagai urusan mesjid (privasi) dan dengan diam-diam mereka mengikuti pola barat, dengan alasan efisiensi. Mereka melakukan sakralisasi budaya dan akhirnya, bank syari’ah tetap menggunakan sistem bunga bank.
Begitu juga sebaliknya ketika mereka melihat sains tidak cocok dengan agama, maka ia dibuang dan diganti dengan agama menurut versi mereka. Mereka melakukan purifikasi. Namun pada akhirnya mereka mendapat reaksi keras dari manusia karena dianggap tidak rasional. Inilah yang dilakukan oleh gereja ketika menganggap aksi galileo dan kawan-kawan terlalu lancang dalam memahami agama.
Ada yang unik dari tradisi sains bahwa hypotesis belum dianggap sebagai pengetahuan. Ia akan sejajar dengan pengetahuan jika sudah dibuktikan dan ternyata semua pernyataan kitab suci bisa dibuktikan dan benar adanya. Pada kenyataannya, gereja yang mendakwahkan bahwa bumilah yang mengelilingi tata surya, harus menelan pil pahit dari kenyataan bahwa ternyata pusat tata surya adalah matahari. Bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.
Jika kitab suci kemudian dianggap sebagai sesuatu yang “ilmiah” atau “memiliki nilai ilmiah”, kenyataannya sangat sedikit percobaan ilmiah yang telah dilakukan untuk menguji isi dari kitab suci tersebut. Para rahib dan pendeta cenderung mengabaikan ayat-ayat informatif  dan menunggu adanya penemuan ilmiah tentang informasi tersebut. Jika ada kecocokan, mereka buru-buru melabelinya dengan ayat-ayat yang dianggap pas dan cocok. Namun jika berbeda, mereka akan bermain bahasa dan berupaya sekuat tenaga menafsirkan ayat-ayat yang memiliki sedikit titik singgung. Namun jika tidak bisa, mereka akan mensekurelisasi temuan tersebut.

1 comment:

  1. tetaplah teguh dalam Al-qur'an karena itulah petunjuk jalan kita menuju surga!!

    pecinta ilmu


    ReplyDelete