Oleh Ramli
Mantan Santri
Secara umum, Tuhan yang dipercayai manusia itu ada 3
bentuk : Imanen (tuhan yang
disifati), Transenden (tuhan yang
tidak disifati) dan paradox (campuran
antara disifati dan tidak didisifati). Dalam agama
Islam, tuhan dianggap transenden. Tidak bisa dibuktikan dan digambarkan bentuk
dan wujudnya, namun diyakini keberadaannya. Betapa sulit bagi kita untuk
melakukannya, meyakini kebenaran sesuatu yang tidak bisa diindra.
Ada yang menarik dari filsafat dan sains (selanjutnya dibaca; budaya) yang menyatakan diri mereka sebagai sesuatu yang senantiasa
menyisakan pertanyaan dan tidak pernah sampai kepada final. Mereka meyakini bahwa mereka akan terus berubah dan berkembang sepanjang
masa. Walaupun ada temuan-temuan dan hukum-hukum yang terlihat final, seperti
matahari sebagai pusat tata surya dan hukum gravitasi bumi yang mana setiap
benda harus jatuh kebawah, namun mereka sepakat untuk meletakkannya kedalam
relativitas ilmu. Dimana mereka memposisikannya sama dengan temuan ilmiah yang
lain, yaitu sama-sama memiliki kemungkinan untuk berubah.
Hal ini berbeda dengan agama yang dengan segala doktrinnya dianggap sebagai
sesuatu yang sudah final dan tidak boleh diletakkan ke dalam posisi relative.
Dia harus benar dan hanya boleh ditinjau dari satu sudut pandang, padangan
keimanan.
Agama (dalam hal ini agama samawi)
adalah hukum yang mengatur hampir semua tatanan kehidupan manusia. Ia bersumber
dari wahyu dan sabda meyakini bahwa wahyu dan sabda adalah dua hal yang tidak
bisa diubah. Siapa yang mencoba membantahnya, maka dia adalah kafir, seperti
kafirnya Galilleo.
Pada perkembangan selanjutnya, manusia setidaknya menyikapi agama dan budaya dalam tiga bentuk :
1.
Sakralisasi Budaya; yaitu memaksa agama mengikuti budaya karena agama ia
dianggap usang dan kaku. Ia dituduh sebagai penyebab kematian Gallileo atau
kesengsaraan ilmu pengetahuan. Mereka menganggap agama hanyalah penghalang dan
harus ditiadakan (pandangan antheis). Artinya salah satu dari keduanya harus hilang atau salah untuk
membenarkan yang lain. Jika agama benar maka sains adalah salah dan jika sains
salah maka agamalah yang benar.
2.
Sakralisasi agama.
Adalah upaya purifikasi dengan cara mensucikan agama dari segala
pengetahuan manusia yang dianggap tidak final dan membahayakan agama.
Sebagian anggota kelompok ini berusaha melakukan islamisasi ilmu dengan
menempelkan dalil-dalil agama kedalamnya.
Namun yang menjadi persoalan ialah ketika agama diserupakan dengan sains atau dianggap sama dengan
sains, maka bilamana sains tersebut berubah disuatu waktu, apakah agama (dalam
hal ini keyakinan/keimanan) akan berubah?
3.
Membedakan keduanya (sekurelisasi).
Dalam posisi
ini, orang membedakan antara keyakinan (yang sulit dibuktikan) dengan hasil
penelitian laboratorium (sains). Karena sains adalah sesuatu yang mungkin
berubah dan belum final, sementara agama (dalam hal ini Tuhan) adalah keyakinan
yang masih sulit dibuktikan namun hal tersebut diyakini adanya karena
ketiakmampuan untuk membuktikan keberadaan dan ketiadaan sesuatu belum tentu menjadi indikasi bagi
keberadaan dan ketiadaan sesuatu tersebut.
4.
Objektivikasi.
Metode ini terlihat sangat sulit karena harus menggabungkan dua
subjektivitas (subjektivitas agama dan subjekititas) sains kedalam satu wadah,
wadah objektive.
Hal inilah yang sudah lama diimpikan dan diusahakan oleh umat Islam sejak
lama namun belum menghasilkan apa-apa. Mereka berusaha mengintegrasikan antara
budaya dan agama yang jelas-jelas memiliki dimensi yang berbeda sehingga mereka
hanya terjerembab kedalam tiga lubang sebelumnya.
Ketika mereka melihat ada bagian-bagian agama yang tidak cocok dengan
budaya (naluri mereka), mereka akan meninggalkannya atau minimal mereka menganggapnya
sebagai urusan mesjid (privasi) dan dengan diam-diam mereka
mengikuti pola barat, dengan alasan efisiensi. Mereka melakukan sakralisasi budaya
dan akhirnya, bank syari’ah tetap menggunakan sistem bunga bank.
Begitu juga sebaliknya ketika mereka melihat sains tidak cocok dengan
agama, maka ia dibuang dan diganti dengan agama menurut versi mereka. Mereka
melakukan purifikasi. Namun pada akhirnya mereka mendapat reaksi keras dari
manusia karena dianggap tidak rasional. Inilah yang dilakukan oleh gereja
ketika menganggap aksi galileo dan kawan-kawan terlalu lancang dalam memahami
agama.
Ada yang unik dari tradisi sains bahwa hypotesis belum dianggap sebagai
pengetahuan. Ia akan sejajar dengan pengetahuan jika sudah dibuktikan dan
ternyata semua pernyataan kitab suci bisa dibuktikan dan benar adanya. Pada kenyataannya,
gereja yang mendakwahkan bahwa bumilah yang mengelilingi tata surya, harus
menelan pil pahit dari kenyataan bahwa ternyata pusat tata surya adalah
matahari. Bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.
Jika kitab suci kemudian dianggap sebagai sesuatu yang “ilmiah” atau
“memiliki nilai ilmiah”, kenyataannya sangat sedikit percobaan ilmiah yang telah
dilakukan untuk menguji isi dari kitab suci tersebut. Para rahib dan pendeta
cenderung mengabaikan ayat-ayat
informatif dan menunggu adanya
penemuan ilmiah tentang informasi tersebut. Jika ada kecocokan, mereka
buru-buru melabelinya dengan ayat-ayat yang dianggap pas dan cocok. Namun jika
berbeda, mereka akan bermain bahasa dan berupaya sekuat tenaga menafsirkan
ayat-ayat yang memiliki sedikit titik singgung. Namun jika tidak bisa, mereka
akan mensekurelisasi temuan tersebut.
tetaplah teguh dalam Al-qur'an karena itulah petunjuk jalan kita menuju surga!!
ReplyDeletepecinta ilmu