Sunday, 27 September 2015

TRADISI ZIARAH DI MAQAM SYEKH ABDURRAUF AL-FANSURI

Oleh Ramli
Mantan Santri Dayah Darul Hasanah Singkil
(Tugas Perkuliahan)
A.            Sekilas tentang kehidupan Syekh Abdurrauf Al-Fansuri
Syekh Abdurrauf, dengan nama lengkapnya adalah Abdurrauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri Al-Singkili.  Di Aceh beliau dikenal juga dengan julukan Syah Kuala atau Tengku di Kuala,  sebagai nisbah kepada tempat pengajarannya, yang kemudian menjadi tempat pemakamannya. Ia dilahirkan di Suro, sebuah desa pinggiran sungai Simpang Kanan, Singkil, Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun suatu pendapat mengatakan bahwa ia dilahirkan di sekitar tahun 1620 M.[1]

Mengenai asal-usul keturunannya sampai sekarang belum dapat dipastikan secara tuntas. Dilihat dari namanya, dapat diduga bahwa beliau adalah orang Melayu dari Fansur.[2] Dari catatan biografis Abdurrauf yang ditulisnya dalam Umdat al-Muhtajin Illa Sulluk Maslak al-Mufradin diperoleh informasi mengenai studinya di Saudi Arabia yang menghabiskan waktu selama 19 tahun. Dalam kitab in iIa memberi keterangan tentang masa, lokasi belajar dan guru yang mengajarnya. Ia belajar di sejumlah tempat yang tersebar sepanjang rute Haji, dari Doha, wilayah Persia, Yaman, Jeddah dan akhirnya Makkah dan Madinah.[3]
          As Singkili tidak memberikan angka tahun kembalinya ke tanah airnya. Namun, dia mengisyaratkan, bahwa dia kembali tidak lama setelah kematian Al-Qashasi (Gurunya) dan setelah Al-Kurani (gurunya yang lain) mengeluarkan baginya sebuah ijazah untuk menyebarkan pengajaran dan ilmu yang telah dia terima darinya. Karena itu, kebanyakan sarjana yang mempelajari tentang Al-Singkili berpendapat bahwa dia kembali ke Aceh sekitar 1584/ 1661.[4]
B.            Maqam Syekh Abdurrauf
Azyumardi Azra menuliskan bahwa Syekh Abdurrauf Al-Singkili meninggal dunia sekitar 1105 Hijriah atau 1693 Masehi dan dikuburkan di dekat kuala atau mulut Sungai Aceh. Tempat ini juga menjadi kuburan untuk istri-istrinya, Dawud Al-Jawi Al-Rumi, dan murid-murid lainnya. Karena tempat dia dikuburkan itulah, maka Al-Singkili dikemudian hari dikenal sebagai Syaikh di Kuala. Pusara Al-Singkily menjadi tempat ziarah keagamaan terpenting di Aceh hingga saat ini. [5]
Disebuah papan nama yang terletak persis di depan maqam syah kuala tertulis beberapa informasi mengenai beliau, diantaranya bahwa Syekh Abdurra’uf bin Ali Al-Fansuri wafat pada hari Isnin 23 Syawal 1696 M pada usia 105 tahun, dikebumikan pada tempat yang diamanahkan di Gambong Meunasah Dayah (Dayah Raya), Kec. Kuta Alam,  Banda Aceh. Selain itu juga tertulis ke empat ratu yang hidup semasa dengan beliau yaitu
1.              Ratu Safiatuddin dari tahun 1050 – 1086 H (1641-1675 H), mangkat hari AhadMakamnya di komplek Baperis Banda Aceh.
2.              Ratu Naqiatuddin Syah dari tahun 1086 – 1088 H (1675 – 1678 M),  mangkat hari  Ahad 01 Zulqaidah 1088 H. Makamnya di Kandang Dua Belas Banda Aceh.
3.              Ratu Zaktiatuddin Syah dari tahun 1088 – 1098 H (1678 – 1688 M), mangkat hari Ahad 08 Zulhijjah 1098 H Makamnya di Kandang  Dua Belas Banda Aceh.
4.              Ratu Kamalat Syah dari tahun 1098 – 1106 H (1688 – 1699 M), mangkat hari Ahad 28 Zulhijjah 1116 H. Maqamnya di Kandang Dua Belas Banda Aceh.
Disitu juga tertulis bahwa Pada Masa Pemerintahan Para Ratu. Pada hakikatnya, yang memegang kendali Pemerintahan adalah para Ulama. Artinya, dimasa pemerintahan para ratu, peran ulama (syah kuala) menjadi sangat besar.
Maqam yang pernah rusak pada peristiwa Tsunami 4 Desember 2004 silam itu kini telah mengalami pemugaran dan perombakan. Dan kini, komplek maqam tersebut telah didirikan bangunan yang megah.
  C.            Tradisi Berziarah di Maqam Syekh Abdurrauf Al-Fansuri
Berziarah telah menjadi semacam tradisi tersendiri bagi sebagian masyarakat muslim di dunia Islam.  Di Aceh sendiri, tradisi berziarah biasanya dilakukan kepada sanak family atau orang tua yang telah meninggal sambil dibacakan yasin dan do’a, mereka juga melakukan ziarah ke maqam ulama dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Henri Chambert –Loir & Claude Guillot (2007) telah mengumpulkan tulisan-tulisan dan laporan-laporan yang berkenaan dengan tradisi berziarah di kuburan wali di dunia. Di Indonesia sendiri mereka  telah mengumpulkan laporan setidaknya dua tradisi berziarah di maqam ulama di Tanah Jawa yaitu Maqam Sunan Gunung Djati di Cirebon dan Maqam Kiayi Telingsing di Jawa Tengah.[6]
Tradisi berziarah di maqam syah kuala mungkin sudah ada sejak beliau pertama kali dimaqamkan mengingat beliau adalah seorang ulama besar Aceh. Dan sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Aceh untuk secara rutin mengunjungi ulama besar mereka baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Maqam syah kuala sendiri telah dikunjungi bukan saja dari kelompok masyarakat Aceh, akan tetapi dikungjungi oleh berbagai penziarah dari wilayah lainnya di Indonesia dan bahkan penziarah dari luar negeri.
Meminjam Simon Coleman dan John Elsner dalam Pilgrimage-Past and Present in The World (1995),Setidaknya ada 3 aspek suci yang mempengaruhi ziarah makam yaitu Ritual, Obyek Kudus/Simbol dan Arsitektur Suci.
Makam Syah Kuala juga memiliki ketiga elemen tersebut, yaitu
1.      Ritual.
          Secara umum, tahapan ritual yang dilakukan oleh para penziarah ialah: 1. Berwudhu atau Mandi, 2. Shalat Sunnah atau Shalat Wajib di Mushalla Makam, 3. Memasuki Makam dan mengucapkan salam kepada Almarhum. 4. Zikir Tahlil, membaca Yasin dan Berdo’a. 5. Menyentuh batu nisan atau tembok makam dan memejamkan mata dan memohon do’a dari Syekh. 6. Keluar dan meminum air dari kolam yang terletak di pintu masuk Makam 7. Beristirahat di balai-balai disekelilling makam, atau menikmati keindahan pantai karena makam tersebut terletak persis di bibir pantai.
2.      Objek Kudus/ Suci
          Makam Syekh Abdurrauf Al-Fansuri atau Syekh Kuala telah menjadi tempat peristirahatan bagi jiwa-jiwa yang jenuh. Ia menjadi tempat tujuan ketika seseorang memiliki hajat yang besar. Ia menjadi tempat spiritual masyarakat. Ketika berada dekat dengan makamnya, menyentuh dan meminum air sucinya,  menyentuh nisannya, membacakan yasin dan do’a, dan beristirahat disekitarnya, ada kepuasan spiritual yang tidak dapat diukur dengan kata-kata atau dicerna dengan nalar.
          Perasaan yang sama seperti yang dituliskan oleh Hendri Cambert-Loir dan Claude Guillot dalam Buku Ziarah dan Wali.[7]
             “Makam Wali adalah kawasan yang damai di tengah keributan dunia. Bukan sekedar tempat suci, melainkan juga tempat hidup di luar bagi masyarakat biasa. Boleh minum, makan, tidur, bercakap-cakap di sekitarnya. Sering sang wali telah menanam pohon dan menciptakan sumber air; kadang-kadang ada binatang. Makam wali adalah tempat pelarian, tempat orang merasa bebas dari berbagai paksaan dan tekanan, dan tempat merenungkan nasibnya, juga tempat perenungan sebentar untuk bermacam orang pinggiran, pengemis, orang cacat badan atau jiwa, pengelana, buronan dan sebagainya. Di tempat suci itu, perbedaan sosial mengabur dan hubungan antar manusia berlangsung dalam suasana kemurahan hati dan persaudaraan. Acap kali perempuan dapat berdampingan dengan laki-laki tanpa kendala.
3.      Arsitektur Suci
            Biasanya Arsitektur suci meliputi seluruh bangunan makam dimana perasaan kedekatan dengan wali semakin dirasa kuat saat penziarah menyaksikan kemegahan bangunan makamnya. Di Makam Syekh Abdurrauf Al-Fansuri sendiri setidaknya Pasca Tsunami Arstitektur bagian luar dan bangunan makam mengalami beberapa perombakan. Akan tetapi untuk makam sendiri, tetap tetap masih menggunakan batu-batu lama yang bernilai sejarah, khususnya nisan dan tembok makam. Biasanya penziarah akan berusaha untuk menyentuh nisan makam, berdo’a dan mengusapkan tangan ke wajah, memohon keberkahan. 
Tradisi Ziarah telah menjadi semacam ciri kehidupan keagamaan pada umumnya masyarakat dari berbagai agama. Untuk agama Islam sendiri, ada yang mengatakan tradisi ziarah makam memiliki dasar sebuah hadits Nabi mengenai Pembolehan Ziarah dan Hadits tentang Warasatul Ambia. Namun kami tidak ingin masuk ke perdebatan ini. Yang ingin kami bahas adalah bahwa tradisi berziarah telah ada dalam kehidupan keberagamaan masyarakat karena ia lahir dari rasa keagamaan bukan muncuk dari mode atau motif-motif ekonomi.
Para penziarah datang dengan berbagai motif, seperti karena memiliki keinginan/hajat, karena ada perayaan atau ritual tertentu seperti  acara tambahan bagi ritual ‘turun anak’, tradisi megang menjelang puasa dan lain sebagainya.
Para Penziarah datang dari berbagai daerah di Aceh, Wilayah Indonesia bahkan konon penziarah dari luar negeri. Motifnya pun beragam. Ketika kami melakukan kunjungan untuk observasi, kami bertemu dengan serombongan ‘Tengku,’ dari Pesantren Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. Salah seorang dari tengku tersebut adalah teman lama yang sama-sama berasal dari Singkil. Menurut teman tadi, mereka berziarah karena baru selesai mengikuti Ujian di Dayah.
Biasanya para penziarah tidak akan langsung pulang begitu selesai melaksanakan ritual ziarah. Akan tetapi mereka lebih memilih beristirahat sambil menikmati pemandangan pantai di komplek makam.

[1] Damanhuri Baasyir, Tradisi Kehidupan Agama di Aceh Abad ke XVII, Ar-Raniry Press, Banda Aceh, 2008. hal 19
[2] Damanhuri Baasyir, hal 20.
[3] Damanhuri Baasyir, hal 21.
[4] Azyumardi Azra,  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII, Kencana, Jakarta, 2004, hal 241.
[5] Azyumardi Azra,  hal 259.
[6] Henry Chambert – Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, Serambi, Jakarta,  2007,  hal 332-374.
[7] Henry Chambert – Loir dan Claude Guillot , Hal 14.

1 comment:

  1. Apa penyebab makam Abdurrauf banyak dikunjungi orang

    ReplyDelete