Oleh Ramli
Mantan Santri Dayah Darul Hasanah Singkil
(Tugas Perkuliahan)
Mantan Santri Dayah Darul Hasanah Singkil
(Tugas Perkuliahan)
A.
Sekilas tentang kehidupan Syekh
Abdurrauf Al-Fansuri
Syekh Abdurrauf, dengan nama
lengkapnya adalah Abdurrauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri Al-Singkili. Di Aceh beliau dikenal juga dengan julukan
Syah Kuala atau Tengku di Kuala, sebagai
nisbah kepada tempat pengajarannya, yang kemudian menjadi tempat pemakamannya.
Ia dilahirkan di Suro, sebuah desa pinggiran sungai Simpang Kanan, Singkil,
Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun suatu pendapat
mengatakan bahwa ia dilahirkan di sekitar tahun 1620 M.[1]
Mengenai asal-usul keturunannya
sampai sekarang belum dapat dipastikan secara tuntas. Dilihat dari namanya,
dapat diduga bahwa beliau adalah orang Melayu dari Fansur.[2]
Dari catatan biografis Abdurrauf yang ditulisnya dalam Umdat al-Muhtajin Illa
Sulluk Maslak al-Mufradin diperoleh informasi mengenai studinya di Saudi Arabia
yang menghabiskan waktu selama 19 tahun. Dalam kitab in iIa memberi keterangan
tentang masa, lokasi belajar dan guru yang mengajarnya. Ia belajar di sejumlah
tempat yang tersebar sepanjang rute Haji, dari Doha, wilayah Persia, Yaman,
Jeddah dan akhirnya Makkah dan Madinah.[3]
As
Singkili tidak memberikan angka tahun kembalinya ke tanah airnya. Namun, dia
mengisyaratkan, bahwa dia kembali tidak lama setelah kematian Al-Qashasi
(Gurunya) dan setelah Al-Kurani (gurunya yang lain) mengeluarkan baginya sebuah
ijazah untuk menyebarkan pengajaran dan ilmu yang telah dia terima darinya.
Karena itu, kebanyakan sarjana yang mempelajari tentang Al-Singkili berpendapat
bahwa dia kembali ke Aceh sekitar 1584/ 1661.[4]
B.
Maqam Syekh Abdurrauf
Azyumardi Azra menuliskan bahwa Syekh
Abdurrauf Al-Singkili meninggal dunia sekitar 1105 Hijriah atau 1693 Masehi dan
dikuburkan di dekat kuala atau mulut Sungai Aceh. Tempat ini juga menjadi
kuburan untuk istri-istrinya, Dawud Al-Jawi Al-Rumi, dan murid-murid lainnya.
Karena tempat dia dikuburkan itulah, maka Al-Singkili dikemudian hari dikenal
sebagai Syaikh di Kuala. Pusara Al-Singkily menjadi tempat ziarah keagamaan
terpenting di Aceh hingga saat ini. [5]
Disebuah papan nama yang terletak
persis di depan maqam syah kuala tertulis beberapa informasi mengenai beliau,
diantaranya bahwa Syekh Abdurra’uf bin Ali Al-Fansuri wafat pada hari Isnin 23
Syawal 1696 M pada usia 105 tahun, dikebumikan pada tempat yang diamanahkan di
Gambong Meunasah Dayah (Dayah Raya), Kec. Kuta Alam, Banda Aceh. Selain itu juga tertulis ke empat
ratu yang hidup semasa dengan beliau yaitu
1.
Ratu Safiatuddin dari tahun 1050 – 1086 H (1641-1675
H), mangkat hari AhadMakamnya di komplek Baperis Banda Aceh.
2.
Ratu Naqiatuddin Syah dari tahun 1086 – 1088 H (1675 –
1678 M), mangkat hari Ahad 01 Zulqaidah 1088 H. Makamnya di Kandang
Dua Belas Banda Aceh.
3.
Ratu Zaktiatuddin Syah dari tahun 1088 – 1098 H (1678
– 1688 M), mangkat hari Ahad 08 Zulhijjah 1098 H Makamnya di Kandang Dua Belas Banda Aceh.
4.
Ratu Kamalat Syah dari tahun 1098 – 1106 H (1688 –
1699 M), mangkat hari Ahad 28 Zulhijjah 1116 H. Maqamnya di Kandang Dua Belas
Banda Aceh.
Disitu juga tertulis bahwa Pada Masa
Pemerintahan Para Ratu. Pada hakikatnya, yang memegang kendali Pemerintahan
adalah para Ulama. Artinya, dimasa pemerintahan para ratu, peran ulama (syah
kuala) menjadi sangat besar.
Maqam yang pernah rusak pada
peristiwa Tsunami 4 Desember 2004 silam itu kini telah mengalami pemugaran dan
perombakan. Dan kini, komplek maqam tersebut telah didirikan bangunan yang
megah.
C.
Tradisi Berziarah di Maqam Syekh
Abdurrauf Al-Fansuri
Berziarah telah menjadi semacam
tradisi tersendiri bagi sebagian masyarakat muslim di dunia Islam. Di Aceh sendiri, tradisi berziarah biasanya
dilakukan kepada sanak family atau orang tua yang telah meninggal sambil
dibacakan yasin dan do’a, mereka juga melakukan ziarah ke maqam ulama dan
tokoh-tokoh besar lainnya.
Henri Chambert –Loir & Claude
Guillot (2007) telah mengumpulkan tulisan-tulisan dan laporan-laporan yang
berkenaan dengan tradisi berziarah di kuburan wali di dunia. Di Indonesia
sendiri mereka telah mengumpulkan
laporan setidaknya dua tradisi berziarah di maqam ulama di Tanah Jawa yaitu
Maqam Sunan Gunung Djati di Cirebon dan Maqam Kiayi Telingsing di Jawa Tengah.[6]
Tradisi berziarah di maqam syah kuala
mungkin sudah ada sejak beliau pertama kali dimaqamkan mengingat beliau adalah
seorang ulama besar Aceh. Dan sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Aceh
untuk secara rutin mengunjungi ulama besar mereka baik ketika masih hidup
maupun setelah meninggal dunia. Maqam syah kuala sendiri telah dikunjungi bukan
saja dari kelompok masyarakat Aceh, akan tetapi dikungjungi oleh berbagai
penziarah dari wilayah lainnya di Indonesia dan bahkan penziarah dari luar
negeri.
Meminjam Simon Coleman dan John
Elsner dalam Pilgrimage-Past and Present in The World (1995),Setidaknya
ada 3 aspek suci yang mempengaruhi ziarah makam yaitu Ritual, Obyek
Kudus/Simbol dan Arsitektur Suci.
Makam Syah Kuala juga memiliki ketiga
elemen tersebut, yaitu
1. Ritual.
Secara
umum, tahapan ritual yang dilakukan oleh para penziarah ialah: 1. Berwudhu atau
Mandi, 2. Shalat Sunnah atau Shalat Wajib di Mushalla Makam, 3. Memasuki Makam
dan mengucapkan salam kepada Almarhum. 4. Zikir Tahlil, membaca Yasin dan
Berdo’a. 5. Menyentuh batu nisan atau tembok makam dan memejamkan mata dan
memohon do’a dari Syekh. 6. Keluar dan meminum air dari kolam yang terletak di
pintu masuk Makam 7. Beristirahat di balai-balai disekelilling makam, atau
menikmati keindahan pantai karena makam tersebut terletak persis di bibir
pantai.
2. Objek Kudus/
Suci
Makam
Syekh Abdurrauf Al-Fansuri atau Syekh Kuala telah menjadi tempat peristirahatan
bagi jiwa-jiwa yang jenuh. Ia menjadi tempat tujuan ketika seseorang memiliki
hajat yang besar. Ia menjadi tempat spiritual masyarakat. Ketika berada dekat
dengan makamnya, menyentuh dan meminum air sucinya, menyentuh nisannya, membacakan yasin dan do’a,
dan beristirahat disekitarnya, ada kepuasan spiritual yang tidak dapat diukur
dengan kata-kata atau dicerna dengan nalar.
Perasaan
yang sama seperti yang dituliskan oleh Hendri Cambert-Loir dan Claude Guillot
dalam Buku Ziarah dan Wali.[7]
“Makam Wali adalah kawasan yang damai di
tengah keributan dunia. Bukan sekedar tempat suci, melainkan juga tempat hidup
di luar bagi masyarakat biasa. Boleh minum, makan, tidur, bercakap-cakap di
sekitarnya. Sering sang wali telah menanam pohon dan menciptakan sumber air;
kadang-kadang ada binatang. Makam wali adalah tempat pelarian, tempat orang
merasa bebas dari berbagai paksaan dan tekanan, dan tempat merenungkan
nasibnya, juga tempat perenungan sebentar untuk bermacam orang pinggiran,
pengemis, orang cacat badan atau jiwa, pengelana, buronan dan sebagainya. Di
tempat suci itu, perbedaan sosial mengabur dan hubungan antar manusia
berlangsung dalam suasana kemurahan hati dan persaudaraan. Acap kali perempuan
dapat berdampingan dengan laki-laki tanpa kendala.
3. Arsitektur
Suci
Biasanya Arsitektur suci
meliputi seluruh bangunan makam dimana perasaan kedekatan dengan wali semakin
dirasa kuat saat penziarah menyaksikan kemegahan bangunan makamnya. Di Makam
Syekh Abdurrauf Al-Fansuri sendiri setidaknya Pasca Tsunami Arstitektur bagian
luar dan bangunan makam mengalami beberapa perombakan. Akan tetapi untuk makam
sendiri, tetap tetap masih menggunakan batu-batu lama yang bernilai sejarah,
khususnya nisan dan tembok makam. Biasanya penziarah akan berusaha untuk menyentuh
nisan makam, berdo’a dan mengusapkan tangan ke wajah, memohon keberkahan.
Tradisi Ziarah telah menjadi semacam ciri kehidupan keagamaan pada
umumnya masyarakat dari berbagai agama. Untuk agama Islam sendiri, ada yang
mengatakan tradisi ziarah makam memiliki dasar sebuah hadits Nabi mengenai
Pembolehan Ziarah dan Hadits tentang Warasatul Ambia. Namun kami tidak ingin
masuk ke perdebatan ini. Yang ingin kami bahas adalah bahwa tradisi berziarah
telah ada dalam kehidupan keberagamaan masyarakat karena ia lahir dari rasa
keagamaan bukan muncuk dari mode atau motif-motif ekonomi.
Para penziarah datang dengan berbagai motif, seperti karena memiliki
keinginan/hajat, karena ada perayaan atau ritual tertentu seperti acara tambahan bagi ritual ‘turun anak’, tradisi
megang menjelang puasa dan lain sebagainya.
Para Penziarah datang dari berbagai daerah di Aceh, Wilayah Indonesia
bahkan konon penziarah dari luar negeri. Motifnya pun beragam. Ketika kami
melakukan kunjungan untuk observasi, kami bertemu dengan serombongan ‘Tengku,’
dari Pesantren Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. Salah seorang dari tengku tersebut
adalah teman lama yang sama-sama berasal dari Singkil. Menurut teman tadi,
mereka berziarah karena baru selesai mengikuti Ujian di Dayah.
Biasanya para penziarah tidak akan langsung pulang begitu selesai
melaksanakan ritual ziarah. Akan tetapi mereka lebih memilih beristirahat
sambil menikmati pemandangan pantai di komplek makam.
[1]
Damanhuri Baasyir, Tradisi Kehidupan Agama di Aceh Abad ke XVII,
Ar-Raniry Press, Banda Aceh, 2008. hal 19
[2]
Damanhuri Baasyir, hal 20.
[3]
Damanhuri Baasyir, hal 21.
[4]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII, Kencana, Jakarta,
2004, hal 241.
[5]
Azyumardi Azra, hal 259.
[6]
Henry Chambert – Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, Serambi,
Jakarta, 2007, hal 332-374.
[7]
Henry Chambert – Loir dan Claude Guillot , Hal 14.
Apa penyebab makam Abdurrauf banyak dikunjungi orang
ReplyDelete