Oleh : Ramli
Beberapa hari menjelang puasa, tepatnya pada hari Jum’at 19 Juni 2015 oleh beberapa LSM dan masyarakat Dayah menuntut pengembalian tata jum’at mesjid raya agar kembali kepada tata laksana endatu, bermadhab syafi’i beraliran ahli sunnah wal jama’ah. Tuntutan tersebut segera dieksekusi setelah adanya keputusan gubernur, Rabu, 24 Juni 2015. Sehingga pada Jum’at 26 Juni 2015, dengan pengawalan polisi, tuntutan FPI dan Perwakilan Dayah tersebut akhirnya terpenuhi.
Beberapa hari menjelang puasa, tepatnya pada hari Jum’at 19 Juni 2015 oleh beberapa LSM dan masyarakat Dayah menuntut pengembalian tata jum’at mesjid raya agar kembali kepada tata laksana endatu, bermadhab syafi’i beraliran ahli sunnah wal jama’ah. Tuntutan tersebut segera dieksekusi setelah adanya keputusan gubernur, Rabu, 24 Juni 2015. Sehingga pada Jum’at 26 Juni 2015, dengan pengawalan polisi, tuntutan FPI dan Perwakilan Dayah tersebut akhirnya terpenuhi.
Kebijakan
pengaturan mesjid dan shalat jama’ah jum’at di Aceh, memang paling unik karena
terjadi setidaknya dua versi. Pertama,
versi yang mengulang khutbah sebelum duduk diantara dua khutbah dan versi yang
mengatakan khutbah tidak perlu diulang. Dalam persoalan azan jum’at, ada mesjid
yang azan dua kali ada yang azan satu kali. Dalam masalah tongkat pun demikian,
ada mesjid yang memakai tongkat ada yang tidak.
Kedua,
dalam praktek ibadah-ibadah lainnya. Ada mesjid yang shalat tarawih 8 rakaaat,
ada mesjid yang 20. Ada mesjid yang membaca qunut di waktu subuh, ada yang
tidak. Ada mesjid yang ber-wirid ada pula yang tidak.
Persoalan
ini adalah persoalan yang cukup lama dan belum menemukan penyelesaian. Konflik
antar masyarakat Aceh sering terjadi berkaitan dengan hal-hal seperti ini.
Namun kemudian konflik tersebut menemukan momennya pasca penandatanganan
tuntutan 4 tokoh Aceh mengenai tata laksana jum’at di Mesjid Raya Baiturrahman
di Banda Aceh. Tuntutan tersebut kemudian meluas dengan upaya pemberlakukan
‘satu model’ tata laksana jum’at maupun ibadah harian di seluruh mesjid di
Aceh. Persoalan ini tentu tidak dapat diselesaikan dengan satu lembar kertas
dan satu kali penelitian. Persoaalan ini meruntut jauh ke belakang, ke dalam
konflik-konflik sejarah yang terlupakan karena ada konflik lain yang, yang
berbeda dan ‘lebih berdarah’ yaitu konflik GAM dan TNI.
Konflik
keagamaan yang berkenaan dengan tata laksana jum’at dan ibadah-ibadah lainnya
di Aceh biasanya dikaitkan dengan NU vs Muhammadiyah, Dayah vs Kampus, Aswaja
vs Wahabi, Kaum Tua vs Kaum Muda. Kebiasaan generalisasi khususnya yang
dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat bahwa semua yang Muhammadiyah, semua
yang IAIN, semua yang tidak pake tongkat, semua yang tidak pake qunut, semua
yang tidak wirid, semua yang tidak yasinan, semua yang tidak tahlilan dan
talqin, semua yang tidak mengulang khutbah, semua yang shalat tidak memakai sarung
adalah WAHABI, membuat persoalan menjadi rumit.
Romantika
yang berlebihan pada kejayaan Aceh Masa lalu, selalu dihubungkan antara
Iskandar Muda, Syafi’i dan Ahl Sunnah Wal Jama’ah. Seolah monopoli kejayaan
Aceh dimasa lalu telah menjadi milik dari ketiga elemen diatas yang hari ini
telah diwadahi secara ;utuh’ oleh Dayah. Sehingga hak-hak praktek dan
pengamalan keagamaan hanya ada pada Ulama Dayah.
Di Dayah
dikenal istilah, lagee meutuleh lam kitab kuneng, hanjeut meu iseuk meu
bacut. Doktrin ini dipercaya telah membawa fanatisme yang kontraproduktif,
sehingga rawan memicu konflik. Imbasnya, ulama-ulama yang ‘dianggap’
berseberangan faham, menjadi ter-wahabi-kan. Misalnya, Imam Besar Mesjid Raya,
Prof Azman dan Profesor Alyasa’ Abu Bakar. Dua pakar Islam di Aceh yang diakui
secara internasional dan sulit dicarikan tandingannya ini harus menjadi korban
‘salah tunjuk,’ akibat romantisme dan fanatisme yang berlebihan dan mengabaikan
proses tabayyun, dan rasionalitas.
Kebijakan
Pengaturan Mesjid di Aceh, jika berdasarkan kepada satu faham keagamaan saja,
tanpa bertoleransi sedikitpun kepada faham-faham yang lain tentu sangat sulit.
Apalagi pemaksaan hal-hal yang bersifat praktik aksesoris yang bernilai sunnah.
Nabi saja tidak memaksakan amalan-amalan tertentu kepada orang lain (dan oleh
ahli fikh hari ini amalan itu dikategorikan sebagai sunnah), namun di Aceh,
beberapa orang merasa memiliki hak lebih dari Nabi. Tentu ini akan sangat
melukai hati sebagaian masyarakat Aceh lainnya. Dan ini sangat tidak menguntungkan
bagi situasi keamanan dan pembangunan Aceh di masa depan. Terlebih lagi, di
luar wilayah Aceh, Aceh akan dikenal sebagai daerah yang tidak memiliki
toleransi. Dan secara politik, ini akan merugikan Aceh sendiri.
No comments:
Post a Comment