Oleh Ramli
Seorang 'Mantan Santri' Dayah Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Aceh Singkil
Seorang 'Mantan Santri' Dayah Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Aceh Singkil
Pertanyaan diatas sekilas terlihat seperti berusaha
memojokkan Al-Qur’an atau seperti ingin menunjukkan ‘kelemahan’ Al-Qur’an namun
maksudnya tidaklah demikian. Pertanyaan ini hanya ingin menunjukkan posisi
hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, karena diberbagai
zaman dan tempat selalu saja ada kelompok yang merasa cukup dengan al-Qur’an
dan menolak segala jenis hadits, baik qauliyah, fi’liyah maupun
takririyah. Salah satu argumennya, jika
al-Qur’an adalah sesuatu yang jelas, berarti ia tidak membutuhkan hadits untuk
menjelaskan maksud-maksudnya. Padahal kesempurnaan al-Qur’an sebagai petunjuk
tidak akan mampu dicapai dan dilaksanakan oleh manusia, tanpa bantuan dari
hadits Nabi Muhammad SAW.
Al-Hadits adalah pendamping Al-Qur’an. Dengan
kedudukannya sebagai ‘al-bayan’ Hadits menepati posisi urgen (kedua
setelah Al-Qur’an) sebagai sumber hukum dan petunjuk. Sulit untuk mengatakan
orang bisa mengamalkan ajaran Al-Qur’an yang kebanyakan hanya perintah-perintah
mujmal tanpa didampingi oleh hadits.
M.M Azami menceritakan bahwa gejala untuk beramal dengan
al-Qur’an semata tanpa didampingi dengan hadits sudah ada bahkan sejak zaman
para sahabat. Al-Hasan menuturkan bahwa ketika Imran bin Husein mengajarkan
hadits, ada seseorang yang meminta agar tidak usah mengajarkan hadits, tetapi
cukup al-Qur’an saja. Jawab Imran, “Jika kamu dan sahabat-sahabatmu dapat
membaca al-Qur’an maukah kamu mengajarkan shalat dan syarat-syaratnya kepadaku
atau zakat dan syarat-syaratnya? Kamu sering lupa padahal Rasulullah telah
mewajibkan zakat begini dan begini. “Terimakasih, saya baru menyadarinya,”
jawab orang tadi. Dan ia dikemudian harinya menjadi seorang ahli fikh.[1]
Hal serupa juga pernah terjadi pada Ummayah bin Khalid,
dimana ia mencoba mencari seluruh permasalahan dengan mencoba merujuk kepada
al-Qur’an saja, akhirnya ia berkata kepada Abdullah bin Umar bahwa di dalam
al-Qur’an ia hanya menemukan masalah shalat di rumah dan pada waktu perang saja
(shalat khauf). Sedangkan masalah shalat dalam perjalanan tidak
ditemukan. Abdullah bin Umar berkata, “Wahai keponakanku, Allah telah mengutus
Nabi Muhammad dan kita tidak tahu apa-apa. Kita kerjakan saja apa yang Nabi
kerjakan.” Dan tidak mustahil dengan pesatnya kemajuan zaman, bertambah pula
jumlah orang-orang yang mencari jawaban masalah-masalah yang mereka hadapi
dengan merujuk kepada al-Qur’an saja. Sampai Ayyub al-Sakhtiani (68-131H )
berkata,” Apabila kamu mengajarkan hadits kepada seseorang lalu ia berkata,
tidak usah pakai hadits, ajari kami al-Qur’an saja, bahwa ketahuilah bahwa
orang itu sesat dan menyesatkan.[2]
Firman Allah
“Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (An-Nahl,
16:44). Firman Allah
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (An-Nisa, 4:80)“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisa, 4:59)”
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (Al-Hasyr, 59:07)”
Al-Qur’an yang mengandung tuntunan dan perintah-perintah
mujmal (global/umum), tentu harus dirincikan dan dijelaskan. Karena kalau tidak demikian, tentu
sulit bagi bagi umat Islam untuk mengikuti dan mengamalkan tuntunan Al-Qur’an.
Bagaimana kita tahu berapa rakaat shalat beserta rukun-rukunnya, bagaimana
pembagian zakat, bagaimana tata laksana haji, jika tidak merujuk pada hadits
Nabi.
Imam Syafi’i sebagaimana yang dikutip oleh Badr Al-Din,
Al-Zarkasyi pada Bab kewajiban mentaati Rasulullah menjelaskan firman Allah
dalam surat An-Nisa, 4 Ayat 80 tentang mentaati Rasulullah berarti mentaati
Allah.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (An-Nisa, 4:80),
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (An-Nisa, 4:80),
Beliau
(Imam Syafi’i) berkata bahwa setiap yang diwajibkan oleh Allah dalam kitab-Nya
seperti Haji, Shalat dan Zakat tidak akan pernah dapat kita tunaikan jika tidak
ada penjelasan dari Rasulullah. Hal yang sama juga berlaku pada ibadah-ibadah
yang lain karena dalam hal ini, posisi Rasulullah adalah sebagai (sumber)
syari’at itu sendiri. Karena mentaati Rasulullah pada hakikatnya adalah
mentaati Allah. [3]
Imam Auza’i Rahimahullahu berkata, “Al-Kitab
(Al-Qur’an) lebih membutuhkan hadits daripada hadits kepada Al-Qur’an” (الكتاب أحوج إلى السنة من السنة إلى الكتاب). Abu
Ummar berkata, “Hadits itu menghakimi Al-Qur’an dan menjelaskan
maksud-maksudnya. “ (
يريد أنها تقضي عليه وتبين المراد منه), Yahya bin Abi Kutsair berkata, “As-Sunnah
itu menghakimi Al-Qur’an” (السنة قاضية على الكتاب). Al-Fahdhl bin Ziad berkata,
“Aku mendengar Ahmad bin Hambal ditanya orang mengenai hadits yang ia
ia riwayatkan, (أن السنة قاضية على الكتاب) “Sunnah itu menghakimi Al-Kitab,”
maka ia menjawab, (ما أجسر على هذا أن أقوله ولكن أقول : إن السنة
تفسر الكتاب وتبينه) Aku
tidak mungkin berani mengatakan hal yang demikian. Akan tetapi aku mengatakan, “Sunnah
itu menfsirkan Al-Kitab.[4]
Dari
pernyataan-pernyataan tersebut jelas bahwa dari segi kedudukan Al-Qur’an lebih
tinggi kedudukannya daripada hadits. Namun jika dilihat dari fungsi hadits
sebagai al-bayan, ia ‘dibutuhkan’ oleh Al-Qur’an untuk menjelaskan
maksud-maksud Al-Qur’an
[1] M.M Azami, Studies In Early Hadith Literature,
judul terjemahan, Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya, terj, Ali
Mustafa Ya’kub, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2006, hal 41.
[2] M.M Azamy Studies In Early Hadith Literature, hal
41-42.
[3] Badaruddin bin Muhammad bin
‘Abdulloh Az-Zarkasyi (745 – 794 H), Bahr Al-Muhiit, Wizaroh
al-Islamiyyah (Kuwait), cet. 3/1431 H (2010 M), jilid 6, hal 7-8.
[4] Badaruddin bin Muhammad bin ‘Abdulloh Az-Zarkasyi ,,,,,,,
Jilid 6, hal 11.
No comments:
Post a Comment