Wednesday, 23 September 2015

Mana Yang Lebih Membutuhkan? Al-Qur'an Lebih Membutuhkan Hadits atau Hadits Lebih Membutuhkan Al-Qur'an?



Oleh Ramli
Seorang 'Mantan Santri' Dayah Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Aceh Singkil
Pertanyaan diatas sekilas terlihat seperti berusaha memojokkan Al-Qur’an atau seperti ingin menunjukkan ‘kelemahan’ Al-Qur’an namun maksudnya tidaklah demikian. Pertanyaan ini hanya ingin menunjukkan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, karena diberbagai zaman dan tempat selalu saja ada kelompok yang merasa cukup dengan al-Qur’an dan menolak segala jenis hadits, baik qauliyah, fi’liyah maupun takririyah.  Salah satu argumennya, jika al-Qur’an adalah sesuatu yang jelas, berarti ia tidak membutuhkan hadits untuk menjelaskan maksud-maksudnya. Padahal kesempurnaan al-Qur’an sebagai petunjuk tidak akan mampu dicapai dan dilaksanakan oleh manusia, tanpa bantuan dari hadits Nabi Muhammad SAW.
Al-Hadits adalah pendamping Al-Qur’an. Dengan kedudukannya sebagai ‘al-bayan’ Hadits menepati posisi urgen (kedua setelah Al-Qur’an) sebagai sumber hukum dan petunjuk. Sulit untuk mengatakan orang bisa mengamalkan ajaran Al-Qur’an yang kebanyakan hanya perintah-perintah mujmal tanpa didampingi oleh hadits.

M.M Azami menceritakan bahwa gejala untuk beramal dengan al-Qur’an semata tanpa didampingi dengan hadits sudah ada bahkan sejak zaman para sahabat. Al-Hasan menuturkan bahwa ketika Imran bin Husein mengajarkan hadits, ada seseorang yang meminta agar tidak usah mengajarkan hadits, tetapi cukup al-Qur’an saja. Jawab Imran, “Jika kamu dan sahabat-sahabatmu dapat membaca al-Qur’an maukah kamu mengajarkan shalat dan syarat-syaratnya kepadaku atau zakat dan syarat-syaratnya? Kamu sering lupa padahal Rasulullah telah mewajibkan zakat begini dan begini. “Terimakasih, saya baru menyadarinya,” jawab orang tadi. Dan ia dikemudian harinya menjadi seorang ahli fikh.[1]
Hal serupa juga pernah terjadi pada Ummayah bin Khalid, dimana ia mencoba mencari seluruh permasalahan dengan mencoba merujuk kepada al-Qur’an saja, akhirnya ia berkata kepada Abdullah bin Umar bahwa di dalam al-Qur’an ia hanya menemukan masalah shalat di rumah dan pada waktu perang saja (shalat khauf). Sedangkan masalah shalat dalam perjalanan tidak ditemukan. Abdullah bin Umar berkata, “Wahai keponakanku, Allah telah mengutus Nabi Muhammad dan kita tidak tahu apa-apa. Kita kerjakan saja apa yang Nabi kerjakan.” Dan tidak mustahil dengan pesatnya kemajuan zaman, bertambah pula jumlah orang-orang yang mencari jawaban masalah-masalah yang mereka hadapi dengan merujuk kepada al-Qur’an saja. Sampai Ayyub al-Sakhtiani (68-131H ) berkata,” Apabila kamu mengajarkan hadits kepada seseorang lalu ia berkata, tidak usah pakai hadits, ajari kami al-Qur’an saja, bahwa ketahuilah bahwa orang itu sesat dan menyesatkan.[2]
Firman Allah
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (An-Nahl, 16:44). 
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (An-Nisa, 4:80)Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisa, 4:59)” 
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (Al-Hasyr, 59:07)”
Al-Qur’an yang mengandung tuntunan dan perintah-perintah mujmal (global/umum), tentu harus dirincikan dan dijelaskan. Karena kalau tidak demikian, tentu sulit bagi bagi umat Islam untuk mengikuti dan mengamalkan tuntunan Al-Qur’an. Bagaimana kita tahu berapa rakaat shalat beserta rukun-rukunnya, bagaimana pembagian zakat, bagaimana tata laksana haji, jika tidak merujuk pada hadits Nabi.
Imam Syafi’i sebagaimana yang dikutip oleh Badr Al-Din, Al-Zarkasyi pada Bab kewajiban mentaati Rasulullah menjelaskan firman Allah dalam surat An-Nisa, 4 Ayat 80 tentang mentaati Rasulullah berarti mentaati Allah.
 “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (An-Nisa, 4:80),
            Beliau (Imam Syafi’i) berkata bahwa setiap yang diwajibkan oleh Allah dalam kitab-Nya seperti Haji, Shalat dan Zakat tidak akan pernah dapat kita tunaikan jika tidak ada penjelasan dari Rasulullah. Hal yang sama juga berlaku pada ibadah-ibadah yang lain karena dalam hal ini, posisi Rasulullah adalah sebagai (sumber) syari’at itu sendiri. Karena mentaati Rasulullah pada hakikatnya adalah mentaati Allah. [3]
Imam Auza’i Rahimahullahu berkata, “Al-Kitab (Al-Qur’an) lebih membutuhkan hadits daripada hadits kepada Al-Qur’an” (الكتاب أحوج إلى السنة من السنة إلى الكتاب). Abu Ummar berkata, “Hadits itu menghakimi Al-Qur’an dan menjelaskan maksud-maksudnya. “ ( يريد أنها تقضي عليه وتبين المراد منه), Yahya bin Abi Kutsair berkata, “As-Sunnah itu menghakimi Al-Qur’an” (السنة قاضية على الكتاب). Al-Fahdhl bin Ziad berkata,  Aku mendengar Ahmad bin Hambal ditanya orang mengenai hadits yang ia ia riwayatkan,  (أن السنة قاضية على الكتاب) “Sunnah itu menghakimi Al-Kitab,” maka ia menjawab,  (ما أجسر على هذا أن أقوله ولكن أقول : إن السنة تفسر الكتاب وتبينه) Aku tidak mungkin berani mengatakan hal yang demikian. Akan tetapi aku mengatakan, Sunnah itu menfsirkan Al-Kitab.[4]
Dari pernyataan-pernyataan tersebut jelas bahwa dari segi kedudukan Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya daripada hadits. Namun jika dilihat dari fungsi hadits sebagai al-bayan, ia ‘dibutuhkan’ oleh Al-Qur’an untuk menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an


[1] M.M Azami, Studies In Early Hadith Literature, judul terjemahan, Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya, terj, Ali Mustafa Ya’kub, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2006,  hal 41.
[2] M.M Azamy Studies In Early Hadith Literature, hal 41-42.
[3] Badaruddin bin Muhammad bin ‘Abdulloh Az-Zarkasyi (745 – 794 H), Bahr Al-Muhiit, Wizaroh al-Islamiyyah (Kuwait), cet. 3/1431 H (2010 M), jilid 6, hal 7-8.
[4] Badaruddin bin Muhammad bin ‘Abdulloh Az-Zarkasyi ,,,,,,, Jilid 6, hal 11.

No comments:

Post a Comment