Sunday, 27 September 2015

HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN ILMU-ILMU LAINNYA

Ramli
Mantan Santri


A.    Pendahuluan; Pengertian Ilmu (Sains).
Secara bahasa, science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dari arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan intuisi dan kepercayaan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud dengan sains (science) adalah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan yang bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan, memenuhi syarat (hukum) ilmu pengetahuan. Dengan demikian, hanya pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud bisa disebut sebagai sains (ilmu pengetahuan). Di luar ketentuan ini, segala bentuk pengetahuan tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan.[1]
Sains sebagai sebuah proses ilmiah menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Pengamatan tersebut disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai macam permasalahan.[2] Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. [3]
Pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris membentuk langkah-langkah-langkah yang disebut dengan metodologi ilmiah. Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan proses-hipotesa-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah : (1) perumusan masalah, (2) pengusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis, (3) perumusan hipotesis, (4) pengujian hipotesis dan (5) penarikan kesimpulan[4] atau ringkasnya orang biasa menyebut metodologi ini dengan istilah “logico, hypothetico, verificatif” (Buktikan itu logis, ajukan hipotesis dan ajukan bukti).[5]
B.     Pengetahuan Sains; Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi.
1.      Ontologi Sains
Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian, dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka memperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.[6] Jadi dapat dikatakan bahwa sains adalah upaya mencari hubungan logis-empiris antara sebab dan akibat lalu mengabstraksikannya kedalam teori. Hasilnya, sains tidak lebih dari sekedar sekumpulan teori. 
Ilmu-ilmu modern dalam metodenya merupakan kombinasi antara Rasionalisme dan Empirisme maka tentu teori kebenaran yang dipakai menguji dalam pernyataan pada teorinya, yaitu mempergunakan teori kebenaran Koherensi dan Teori kebenaran Korespondesi sekaligus. Hal yang cukup penting dan perlu mendapatkan ini yaitu, bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuan dalam bidangnya.[7]
Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional, yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik, bisa memahami kebenaran ilmiah ini. Atas  dasar ini kebenaran ilmiah dianggap sebagai kebenaran yang berlaku secara universal. Artinya, preposisi, kesimpulan atau teori yang diterima sebagai benar, tidak hanya benar bagi orang-orang tertentu tetapi benar bagi semua orang yang dapat menggunakan akal budinya secara baik.[8]
Sifat empiris dari kebenaran ilmiah mau mengatakan bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Bahkan, sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris dalam dunia ini. [9]
Pada dasarnya cara kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain adalah tidak ada akibat tanpa sebab. Asumsi ini oleh Fred N Kerlinger dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (itu tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar jika hubungan sebab akibat itu memiliki hubungan yang rasional.[10]
2.      Epistimologi Sains
Objek Pengetahuan Sains (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua yang empiris. Jujun S. Sumantri seperti yang dikutip oleh Ahmad Tafsir menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang maksudnya pengalaman disini ialah pengalaman indera.[11]
Objek kajian sains haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis. [12] Objek-objek yang dapat diteliti oleh sains banyak sekali, alam, tumbuhan, hewan dan manusia serta kejadian-kejadian disekitar alam, tumbuhan, hewan dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh sains.[13]
Van Peursen menyebutkan menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan (sains) ialah pengetahuan yang terorgansisasi, yaitu dengan system dan metode berusaha mencari hubungan-hubungan tetap di antara gejala-gejala. Ahmad Baiquni mengemukakan pengertian singkat ilmu pengetahuan atau sains, sebagai himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat diterima oleh rasio, artinya dapat dinalar. Jadi kita dapat mengatakan bahwa sains adalah ilmu rasional kolektif insan.[14]
Sebagai sebuah prosedur, epistimologi memiliki berbagai perangkat dalam upaya membantu kita memperoleh ilmu pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan ilmu.[15] Namun karena pendapat tentang kebenaran itu sendiri berbeda, sesuai dengan kriterianya masing-masing, maka dalam epistimologi metode yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan itu juga mengalami perbedaan.[16]
Sehubungan dengan itu, maka proses metodis dalam rangka memperoleh kebenaran secara epistimologis harus ditopang oleh system. Dengan adanya sistem, akan terbentuk hubungan yang teratur dan konsisten diantara bagian-bagian, sehingga membentuk suatu keseluruhan.[17]
3.      Aksiologi Sains
Ahmad Tafsir menjelaskan kegunaan Sains. Menurut beliau sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sains yaitu sebagai alat eksplanasi, sebagai alat peramal dan sebagai alat control.  Sains sebagai alat eksplanasi adalah kegunaan sains untuk menjelaskan fenomena sebab-akibat yang terjadi, sedangkan sains sebagai alat peramal adalah menggunakan data-data sains untuk meramalkan, memperkirakan atau mengantisipasi sebuah kejadian dan sains sebagai alat kontrol adalah penggunaan sains untuk melakukan kontrol atau kendali atas suatu kejadian atau keadaan yang diharapkan. Jadi, jika dikatakan bahwa kemajuan sains dapat memicu kemajuan peradaban, maka peradaban yang paling terlihat dipengaruhi oleh sains adalah kemajuan di bidang tekhnologi. Dengan sains, manusia dapat menciptakan peralatan tekhnologi yang meningkatkan kualitas, taraf kehidupan dan peradabannya. Dengan sains, manusia dapat mengukur kemajuan yang telah dicapai dan merencanakan kemajuan yang akan diperoleh dimasa yang akan datang.[18]
4.      Sains dan Teknologi
Secara garis besar, penelitian sains terbagi kedalam dua yaitu penelitian dasar (penelitian murni) dan penelitian terapan. Penelitian murni bertujuan untuk menemukan sesuatu yang sebelumnya belum pernah diketahui. Sedangkan penelitian terapan adalah mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersifat praktis.[19]
Kemajuan dalam penguasaan sains meningkatkan kemajuan tekhnologi. Sebaiknya taraf penguasaan tekhnologi yang maju akan meningkatkan penguasaan sains lebih lanjut. Sains dan tekhnologi saling membutuhkan karena sains tanpa tekhnologi bagaikan pohon tanpa berbuah, sedangkan tekhnologi tanpa sains bagaikan pohon tak berakar (Science without technology has no fruit, technology without science has no root).[20]
Tentu saja, kemajuan sains tidak serta merta memicu kemajuan peradaban. Perkembangan sains (yang mencapai bentuk praktis tekhnologi) sering digunakan untuk untuk hal-hal yang bertentangan dengan prinsip peradaban dan kemajuan umat manusia. Rekayasa sosial dan politik adu domba yang dilakukan oleh antropolog-antropolog Eropa demi menguasai wilayah Asia pada masa-masa imperialisme menujukkan penggunaan sains yang pincang, dimana disatu sisi memang telah membawa ‘berkah’ kepada para penjajah namun disisi lain merupakan sebuah kemuduran bagi negeri-negeri jajahan.
Penggunaan tekhnologi misalnya yang telah melenyapkan jutaan rakyat sipil ketika pesawat sekutu menjatuhkan dua bom besar yang memporakporandakan Hirosima dan Nagasaki merupakan bentuk dari penyalahgunaan tekhnologi yang bertentangan dengan tujuan dari tekhnologi itu sendiri.
C.    Neutrality of Science, Benarkah Sains itu Netral?
Bebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan yang dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuanm dan karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pertimbangan lain diluar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.[21]
Maksud dasar dari tuntutan ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan sehingga malah mengalami distorsi. Asumsinya selama ilmu pengetahuan, dalam seluruh prosesnya, tunduk kepada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, baik itu pertimbangan politik, religious maupun moral, ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom. Itu berarti, ilmu pengetahuan tunduk kepada otoritas lai diluar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan lain dan dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni sama sekali.[22]
Ahmad Tafsir mempunyai pendapat yang berbeda. Beliau memiliki kecenderungan pragmatis.  Menurut beliau lebih bijaksana untuk mengatakan bahwa Sains itu tidak netral. Netralitas sains dalam pandangan beliau berarti bahwa sains harus diikat dengan nilai-nilai, baik itu nilai-nilai susila maupun nilai-nilai agama. Beliau merincikan bahwa Sains tidak netral ditinjau dari aspek ontologi, epistimologi dan aksiologi. Dari aspek Ontologi, seorang Saintis tidak boleh mengeluarkan teori-teori Sains yang bertentangan dengan keyakinan yang dianut, begitupun dalam Aspek Epistimologis (cara memperoleh pengetahuan).
Seorang dalam meneliti Jantung misalnya harus mempertimbangkan sisi-sisi manusiawi dimana untuk meneliti jantung, seorang saintis tidak netral akan menggunakan jantung hewan, bukan malah misalnya dengan mengambil jantung gelandangan. Dan proses pengambilan jantung-pun dilakukan dengan mempertimbangkan perasaaan makhluk yang bersangkutan, apakah dengan terlebih dahulu disembelih atau lain-lain.[23]
Yang paling merugikan bagi manusia menurut beliau adalah bila faham sains netral diterapkan pada aspek Aksiologi, dimana orang dapat menggunakan hasil-hasil sains seenaknya tanpa mempertimbangkan kemaslahatan manusia lainnya dan lingkungan.[24]
Kedua padangan tersebut secara radikal sering menimbulkan permasalahan. Pandangan netralitas sains radikal telah bertanggungjawab atas cara-cara perolehan maupun penggunaan sains yang tidak sesuai telah membawa kehancuran pada manusia maupun lingkungan. Pengeboman Hirosima dan Nagasaki misalnya adalah wujud dari penggunaan sains netral. Disamping itu pandangan yang mengatakan sains tidak netral dan harus dikontrol oleh sebuah nilai atau otoritas keagamaan juga telah bertanggung jawab atas kematian tragis yang menimpa Galileo dimana penemuan sains tidak mendapat restu dari otoritas keagamaan.
Untuk menjembatani persoalan ini, A Sonny Keraf dan Michael Dua menuliskan sebuah sintesis dengan membagi pengetahuan kedalam Context of Discovery dan Context of Justification. Menurut keduanya, jika ditinjau dari Context of Discovery atau konteks dimana pengetahuan tersebut ditemukan, maka pengetahuan tidak akan lepas dari sifat-sifat tidak-netral-nya. Sering kali penemuan ilmiah misalnya dipengaruhi oleh diri si penemu, keyakinannya, keadaan masyarakat sekitar serta pihak yang mengotorisasi (mengijinkan atau memerintahkan) si penemu untuk menemukan jawaban dari sebuah persoalan. Ditinjau dari posisi ini mereka mengatakan bahwa Sains itu tidaklah netral. [25]
Apapun jika dilihat dari Context of Justification, atau proses pengujian sebuah temuan ilmiah, maka mereka mengatakan bahwa sains haruslah netral, karena proses pengujian mesti diusahakan seobyektif mungkin agar tercapai kebenaran obyektif. [26]
Dalam pandangan pengetahuan kami yang sangat sempit ini, sintesis tersebut memiliki kelemahan yaitu bahwa sesuatu itu baru dikatakan sains setelah melewati fase Context of Justification, atau melalui pengujian, sedangkan Context of Discovery belum mencapai maqam sains. Maksudnya adalah bahwa netralitas sains ada dalam Context of Justification, apakah ia netral atau tidak netral. Artinya, Netralitas sains, meliputi pengujian-pengujian yang dilakukan (epistimologi), teori-teori yang dihasilkan (ontologi) dan penggunaan sains (aksiologi) masih harus diperdebatkan.
D.    KESIMPULAN
Pengetahuan atau sains adalah pengetahuan ilmiah yang memenuhi syarat-syarat dan hukum-hukum keilmiahan. Pengetahuan sains berangkat dari prinsip logis empiris yang biasa dikenal dengan logico, hipotetico, dan verifikatif, yaitu penalaran logika, penyusunan dan pengajuan hipotesis dan pembuktian ilmiah.
Sains secara umum terbagi kepada dua, yaitu sains murni dan sains terapan. Sains murni adalah sains yang bertujuan untuk mendapatkan sebuah pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui (tentu saja melalui pendekatan sains). Sedangkan sains terapan adalah sains yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah persoalan.
Ada yang mengatakan bahwa sains itu netral dan ada yang tidak. Dua-duanya pandangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendapat yang mengatakan bahwa sains itu netral memiliki kelebihan tingkat objektivitas yang tinggi namun kekurangnya cenderung destruktif jika dikaitkan dengan sesuatu di luar sains.
Adapun pandangan yang mengataka bahwa sains tidak netral memiliki kelebihan pragmatis dimana tujuan sains lebih kepada aspek-aspek kemanfaatan semata (dan mengabaikan sains yang memiliki kemungkinan tidak bermanfaat). Namun kelemahan dari sains yang tidak netral ini adalah ketika otoritas secara radikal mengendalikan atau mungkin mencekal kebebasan sains sehingga jauh dari nilai-nilai objektivitas.
Walaupun ada yang mencoba mensintesiskan keduanya dengan memisahkan antara sains dalam Context of Discovery dan Context of Justification, namun pandangan ini menurut pengetahuan kami yang terbatas ini, tidak dapat menyelesaikan pertikaian karena sains itu hanya dapat dikatakan sains jika ia telah sampai pada Context of Justification saja. Sedangkan ketika ia masih dalam Context of Discovery, ia belum dapat dikatakan sains karena belum diuji secara ilmiah.
Meskipun demikian, seperti yang dikatakan oleh Ahmad Tafsir bahwa tujuan penciptaan sains untuk kemaslahatan manusia sebaiknya sains itu tetap berada di bawah naungan nilai-nilai atau otoritas tertentu, walaupun sains harus tetap kritis menimbang nilai dan otoritas yang menaunginya. Walahua’lam.
footnote dan daftar pustaka ga keposting....























[1]

No comments:

Post a Comment