Mantan Santri
A.
Pendahuluan; Pengertian Ilmu (Sains).
Secara
bahasa, science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering
diambil dari arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan
intuisi dan kepercayaan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud dengan sains (science)
adalah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan yang bersifat ilmu, secara ilmu
pengetahuan, memenuhi syarat (hukum) ilmu pengetahuan. Dengan demikian, hanya
pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud bisa disebut sebagai
sains (ilmu pengetahuan). Di luar ketentuan ini, segala bentuk pengetahuan
tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan.[1]
Sains
sebagai sebuah proses ilmiah menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia
mengamati sesuatu. Pengamatan tersebut disebabkan oleh adanya kontak manusia
dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai macam permasalahan.[2] Kebenaran
ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah. [3]
Pendekatan
rasional digabungkan dengan pendekatan empiris membentuk
langkah-langkah-langkah yang disebut dengan metodologi ilmiah. Kerangka
berfikir ilmiah yang berintikan proses-hipotesa-verifikasi ini pada dasarnya
terdiri dari langkah-langkah : (1) perumusan masalah, (2) pengusunan kerangka
berfikir dalam pengajuan hipotesis, (3) perumusan hipotesis, (4) pengujian
hipotesis dan (5) penarikan kesimpulan[4]
atau ringkasnya orang biasa menyebut metodologi ini dengan istilah “logico,
hypothetico, verificatif” (Buktikan itu logis, ajukan hipotesis dan
ajukan bukti).[5]
B.
Pengetahuan Sains; Ontologi,
Epistimologi dan Aksiologi.
1.
Ontologi Sains
Secara
metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian, dengan
dukungan metode serta sarana penelitian maka memperoleh suatu pengetahuan.
Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di
dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan
fakta.[6]
Jadi dapat dikatakan bahwa sains adalah upaya mencari hubungan logis-empiris
antara sebab dan akibat lalu mengabstraksikannya kedalam teori. Hasilnya, sains
tidak lebih dari sekedar sekumpulan teori.
Ilmu-ilmu
modern dalam metodenya merupakan kombinasi antara Rasionalisme dan Empirisme
maka tentu teori kebenaran yang dipakai menguji dalam pernyataan pada teorinya,
yaitu mempergunakan teori kebenaran Koherensi dan Teori kebenaran Korespondesi
sekaligus. Hal yang cukup penting dan perlu mendapatkan ini yaitu, bahwa
kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi
dari para ilmuan dalam bidangnya.[7]
Karena
kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional, yaitu yang dapat
menggunakan akal budinya secara baik, bisa memahami kebenaran ilmiah ini.
Atas dasar ini kebenaran ilmiah dianggap
sebagai kebenaran yang berlaku secara universal. Artinya, preposisi, kesimpulan
atau teori yang diterima sebagai benar, tidak hanya benar bagi orang-orang
tertentu tetapi benar bagi semua orang yang dapat menggunakan akal budinya
secara baik.[8]
Sifat
empiris dari kebenaran ilmiah mau mengatakan bahwa bagaimanapun juga kebenaran
ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Bahkan, sebagian besar
pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris dalam dunia
ini. [9]
Pada
dasarnya cara kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab akibat atau
mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain adalah tidak ada
akibat tanpa sebab. Asumsi ini oleh Fred N Kerlinger dirumuskan dalam ungkapan post
hoc, ergo propter hoc (itu tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar
jika hubungan sebab akibat itu memiliki hubungan yang rasional.[10]
2.
Epistimologi Sains
Objek
Pengetahuan Sains (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua yang
empiris. Jujun S. Sumantri seperti yang dikutip oleh Ahmad Tafsir menyatakan
bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup
pengalaman manusia. Yang maksudnya pengalaman disini ialah pengalaman indera.[11]
Objek
kajian sains haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia
temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk
menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis. [12] Objek-objek
yang dapat diteliti oleh sains banyak sekali, alam, tumbuhan, hewan dan manusia
serta kejadian-kejadian disekitar alam, tumbuhan, hewan dan manusia itu;
semuanya dapat diteliti oleh sains.[13]
Van Peursen
menyebutkan menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan (sains)
ialah pengetahuan yang terorgansisasi, yaitu dengan system dan metode berusaha
mencari hubungan-hubungan tetap di antara gejala-gejala. Ahmad Baiquni
mengemukakan pengertian singkat ilmu pengetahuan atau sains, sebagai himpunan
pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat
diterima oleh rasio, artinya dapat dinalar. Jadi kita dapat mengatakan bahwa
sains adalah ilmu rasional kolektif insan.[14]
Sebagai
sebuah prosedur, epistimologi memiliki berbagai perangkat dalam upaya membantu
kita memperoleh ilmu pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan ilmu.[15]
Namun karena pendapat tentang kebenaran itu sendiri berbeda, sesuai dengan
kriterianya masing-masing, maka dalam epistimologi metode yang digunakan dalam
memperoleh ilmu pengetahuan itu juga mengalami perbedaan.[16]
Sehubungan
dengan itu, maka proses metodis dalam rangka memperoleh kebenaran secara
epistimologis harus ditopang oleh system. Dengan adanya sistem, akan terbentuk
hubungan yang teratur dan konsisten diantara bagian-bagian, sehingga membentuk
suatu keseluruhan.[17]
3.
Aksiologi Sains
Ahmad Tafsir
menjelaskan kegunaan Sains. Menurut beliau sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan
teori sains yaitu sebagai alat eksplanasi, sebagai alat peramal dan sebagai
alat control. Sains sebagai alat
eksplanasi adalah kegunaan sains untuk menjelaskan fenomena sebab-akibat yang
terjadi, sedangkan sains sebagai alat peramal adalah menggunakan data-data
sains untuk meramalkan, memperkirakan atau mengantisipasi sebuah kejadian dan
sains sebagai alat kontrol adalah penggunaan sains untuk melakukan kontrol atau
kendali atas suatu kejadian atau keadaan yang diharapkan. Jadi, jika dikatakan
bahwa kemajuan sains dapat memicu kemajuan peradaban, maka peradaban yang
paling terlihat dipengaruhi oleh sains adalah kemajuan di bidang tekhnologi.
Dengan sains, manusia dapat menciptakan peralatan tekhnologi yang meningkatkan
kualitas, taraf kehidupan dan peradabannya. Dengan sains, manusia dapat
mengukur kemajuan yang telah dicapai dan merencanakan kemajuan yang akan diperoleh
dimasa yang akan datang.[18]
4.
Sains dan Teknologi
Secara
garis besar, penelitian sains terbagi kedalam dua yaitu penelitian dasar
(penelitian murni) dan penelitian terapan. Penelitian murni bertujuan untuk
menemukan sesuatu yang sebelumnya belum pernah diketahui. Sedangkan penelitian
terapan adalah mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk
memecahkan masalah kehidupan yang bersifat praktis.[19]
Kemajuan
dalam penguasaan sains meningkatkan kemajuan tekhnologi. Sebaiknya taraf
penguasaan tekhnologi yang maju akan meningkatkan penguasaan sains lebih
lanjut. Sains dan tekhnologi saling membutuhkan karena sains tanpa tekhnologi
bagaikan pohon tanpa berbuah, sedangkan tekhnologi tanpa sains bagaikan pohon
tak berakar (Science without technology has no fruit, technology without
science has no root).[20]
Tentu saja,
kemajuan sains tidak serta merta memicu kemajuan peradaban. Perkembangan sains (yang
mencapai bentuk praktis tekhnologi) sering digunakan untuk untuk hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip peradaban dan kemajuan umat manusia. Rekayasa
sosial dan politik adu domba yang dilakukan oleh antropolog-antropolog Eropa
demi menguasai wilayah Asia pada masa-masa imperialisme menujukkan penggunaan
sains yang pincang, dimana disatu sisi memang telah membawa ‘berkah’ kepada
para penjajah namun disisi lain merupakan sebuah kemuduran bagi negeri-negeri
jajahan.
Penggunaan
tekhnologi misalnya yang telah melenyapkan jutaan rakyat sipil ketika pesawat
sekutu menjatuhkan dua bom besar yang memporakporandakan Hirosima dan Nagasaki
merupakan bentuk dari penyalahgunaan tekhnologi yang bertentangan dengan tujuan
dari tekhnologi itu sendiri.
C.
Neutrality of Science, Benarkah Sains itu Netral?
Bebas nilai
sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu
pengetahuan yang dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di
luar ilmu pengetahuan. Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan
dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuanm dan karena itu ilmu pengetahuan tidak
boleh dikembangkan dengan didasarkan pertimbangan lain diluar ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan
ilmiah murni.[21]
Maksud
dasar dari tuntutan ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepada
pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan sehingga malah mengalami distorsi.
Asumsinya selama ilmu pengetahuan, dalam seluruh prosesnya, tunduk kepada
pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, baik itu pertimbangan politik,
religious maupun moral, ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom.
Itu berarti, ilmu pengetahuan tunduk kepada otoritas lai diluar ilmu
pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan
lain dan dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni sama sekali.[22]
Ahmad
Tafsir mempunyai pendapat yang berbeda. Beliau memiliki kecenderungan
pragmatis. Menurut beliau lebih
bijaksana untuk mengatakan bahwa Sains itu tidak netral. Netralitas sains
dalam pandangan beliau berarti bahwa sains harus diikat dengan
nilai-nilai, baik itu nilai-nilai susila maupun nilai-nilai agama. Beliau
merincikan bahwa Sains tidak netral ditinjau dari aspek ontologi, epistimologi
dan aksiologi. Dari aspek Ontologi, seorang Saintis tidak boleh mengeluarkan
teori-teori Sains yang bertentangan dengan keyakinan yang dianut, begitupun
dalam Aspek Epistimologis (cara memperoleh pengetahuan).
Seorang
dalam meneliti Jantung misalnya harus mempertimbangkan sisi-sisi manusiawi
dimana untuk meneliti jantung, seorang saintis tidak netral akan menggunakan
jantung hewan, bukan malah misalnya dengan mengambil jantung gelandangan. Dan
proses pengambilan jantung-pun dilakukan dengan mempertimbangkan perasaaan makhluk
yang bersangkutan, apakah dengan terlebih dahulu disembelih atau lain-lain.[23]
Yang paling
merugikan bagi manusia menurut beliau adalah bila faham sains netral diterapkan
pada aspek Aksiologi, dimana orang dapat menggunakan hasil-hasil sains
seenaknya tanpa mempertimbangkan kemaslahatan manusia lainnya dan lingkungan.[24]
Kedua
padangan tersebut secara radikal sering menimbulkan permasalahan. Pandangan
netralitas sains radikal telah bertanggungjawab atas cara-cara perolehan maupun
penggunaan sains yang tidak sesuai telah membawa kehancuran pada manusia maupun
lingkungan. Pengeboman Hirosima dan Nagasaki misalnya adalah wujud dari
penggunaan sains netral. Disamping itu pandangan yang mengatakan sains tidak
netral dan harus dikontrol oleh sebuah nilai atau otoritas keagamaan juga telah
bertanggung jawab atas kematian tragis yang menimpa Galileo dimana penemuan
sains tidak mendapat restu dari otoritas keagamaan.
Untuk
menjembatani persoalan ini, A Sonny Keraf dan Michael Dua menuliskan sebuah
sintesis dengan membagi pengetahuan kedalam Context of Discovery dan Context
of Justification. Menurut keduanya, jika ditinjau dari Context of
Discovery atau konteks dimana pengetahuan tersebut ditemukan, maka
pengetahuan tidak akan lepas dari sifat-sifat tidak-netral-nya. Sering kali
penemuan ilmiah misalnya dipengaruhi oleh diri si penemu, keyakinannya, keadaan
masyarakat sekitar serta pihak yang mengotorisasi (mengijinkan atau
memerintahkan) si penemu untuk menemukan jawaban dari sebuah persoalan.
Ditinjau dari posisi ini mereka mengatakan bahwa Sains itu tidaklah netral. [25]
Apapun jika
dilihat dari Context of Justification, atau proses pengujian sebuah
temuan ilmiah, maka mereka mengatakan bahwa sains haruslah netral, karena
proses pengujian mesti diusahakan seobyektif mungkin agar tercapai kebenaran
obyektif. [26]
Dalam
pandangan pengetahuan kami yang sangat sempit ini, sintesis tersebut memiliki
kelemahan yaitu bahwa sesuatu itu baru dikatakan sains setelah melewati fase Context
of Justification, atau melalui pengujian, sedangkan Context of Discovery
belum mencapai maqam sains. Maksudnya adalah bahwa netralitas sains
ada dalam Context of Justification, apakah ia netral atau tidak netral. Artinya,
Netralitas sains, meliputi pengujian-pengujian yang dilakukan (epistimologi),
teori-teori yang dihasilkan (ontologi) dan penggunaan sains (aksiologi) masih
harus diperdebatkan.
D.
KESIMPULAN
Pengetahuan atau sains adalah pengetahuan ilmiah yang
memenuhi syarat-syarat dan hukum-hukum keilmiahan. Pengetahuan sains berangkat
dari prinsip logis empiris yang biasa dikenal dengan logico, hipotetico,
dan verifikatif, yaitu penalaran logika, penyusunan dan pengajuan
hipotesis dan pembuktian ilmiah.
Sains secara umum terbagi kepada dua, yaitu sains murni dan
sains terapan. Sains murni adalah sains yang bertujuan untuk mendapatkan sebuah
pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui (tentu saja melalui pendekatan
sains). Sedangkan sains terapan adalah sains yang digunakan untuk menyelesaikan
sebuah persoalan.
Ada yang mengatakan bahwa sains itu netral dan ada yang
tidak. Dua-duanya pandangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan.
Pendapat yang mengatakan bahwa sains itu netral memiliki kelebihan tingkat
objektivitas yang tinggi namun kekurangnya cenderung destruktif jika dikaitkan
dengan sesuatu di luar sains.
Adapun pandangan yang mengataka bahwa sains tidak netral
memiliki kelebihan pragmatis dimana tujuan sains lebih kepada aspek-aspek
kemanfaatan semata (dan mengabaikan sains yang memiliki kemungkinan tidak
bermanfaat). Namun kelemahan dari sains yang tidak netral ini adalah ketika
otoritas secara radikal mengendalikan atau mungkin mencekal kebebasan sains
sehingga jauh dari nilai-nilai objektivitas.
Walaupun ada yang mencoba mensintesiskan keduanya dengan
memisahkan antara sains dalam Context of Discovery dan Context of
Justification, namun pandangan ini menurut pengetahuan kami yang terbatas
ini, tidak dapat menyelesaikan pertikaian karena sains itu hanya dapat
dikatakan sains jika ia telah sampai pada Context of Justification saja.
Sedangkan ketika ia masih dalam Context of Discovery, ia belum dapat
dikatakan sains karena belum diuji secara ilmiah.
Meskipun demikian, seperti yang dikatakan oleh Ahmad Tafsir
bahwa tujuan penciptaan sains untuk kemaslahatan manusia sebaiknya sains itu
tetap berada di bawah naungan nilai-nilai atau otoritas tertentu, walaupun
sains harus tetap kritis menimbang nilai dan otoritas yang menaunginya.
Walahua’lam.
footnote dan daftar pustaka ga keposting....
No comments:
Post a Comment