Tuesday, 28 March 2017

ISLAM NUSANTARA VERSI KBA (Bagian Dua)

Buku Islam Nusantara KBA 2017



Oleh Ramli Cibro Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menulis sebuah buku yang secara komprehensif memuat kerangka meta-teori dari bagaimana seharusnya konsep Islam Nusantara? Buku yang diterbitkan awal tahun 2017 tersebut memiliki judul yang sangat panjang yaitu:  Kontribusi Charles Taylor, Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Henry Corbin dalam Studi Metafisika dan Metateori Terhadap Islam Nusantara di Indonesia.
Kamaruzzaman memulai kajiannya dengan mengkritik konsep Islam Nusantara hari ini. Ia menuding bahwa konsep Islam Nusantara telah dibajak oleh kelompok NU.
Kamaruzzaman menuliskan kritikannya:
“Apa yang menarik dari isu dan isi Islam Nusantara adalah penggiringan pada satu pola pemahaman yang dianut oleh kelompok Nahdatul Ulama (NU). Adapun piringan sejarah yang dibawa adalah Sejarah Wali Songo kemudian kepada K.H Hasyim Asy’ari berikut dengan tradisi-tradisi pesantren lainnya yang muncul di kalangan NU. Proses pembelokan sejarah Islam pada pemahaman suatu konsep, lantas digiring pada penguatan identitas dalam konteks Negara Bangsa inilah yang perlu dicermati secara mendalam. Sebab varian kehidupan beragama di Indonesia atau di Asia Tenggara, pada umumnya tidaklah seperti yang dilakukan oleh NU. Selama ini usaha untuk menggiring tradisi pada proses konseptualisasi identitas, memang kerap dilakukan oleh NU. Dulu ketika ada konsep Islam Post-Tradisional, sarjana dari NU juga paling gencar maju ke depan, untuk memperkenalkannya. Hal yang sama dilakukan adalah merujuk pada karya-karya Abdurrahman Wahid. Saat ini ketika Islam Nusantara menjadi salah satu mainstream di dalam menjelaskan keislaman di Indonesia, para pengusungnya, juga merujuk pada karya Abdurrahman Wahid, yaitu konsep pribumisasi Islam. Ketika muncul mengenai perdebatan Islam Liberal di Indonesia, pada sarjana NU juga melakukan hal yang sama, yaitu kerap mengusung Abdurrahman Wahid sebagai salah satu eksponennya.

Monday, 27 March 2017

INTELEKTUAL YANG SAKIT




Oleh Intelektual yang Sakit (Ramli Cibro)
Kajhu, 8 Maret 2016

Intelektual yang sakit bukan bercerita tentang derita sakit yang diterima oleh seorang intelektual. Intelektual yang Sakit Adalah sebuah paradigma, cara melihat atau cara berfikir ala orang sakit dan melihat dari sisi-sisi dan prespektif 'sakit.' Jika Selama ini intelektualitas senantiasa difahami dengan nuansa rigid, borjuis dan mewah. Kaum intelektual digambarkan sebagai orang-orang dengan kesehatan jiwa yang mumpuni dan kejernihan berfikir yang luar biasa, plus kesolehan indifidu yang serak-serak basah. Namun kali ini, ketika intelektualitas dapat dicoba maknai sebagai pengembaraan menempuh derita dan memumat kegilaan. Merangsak hutan-hutan berduri yang hanya sesekali menyuguhkan weweangian getah dan buah-buah sepat dan kelat namun masih dapat ditelan untuk pengganjal perut selama perjalanan.
Intelektual yang sakit adalah jalan berliku tapi jujur, bercerita apa adanya tentang nenek tua yang menggosok-gosok bibirnya dengan irisan tembakau, dan membiarkan lendir mengalir tanpa perlu ia seka, sebagai sebuah kebenaran.

Namun mengapa sebagian kaum marginal kelas "intelektual sakit" masih suka bunuh diri masuk ke dalam hutan rimba intelektualitas versi sakit? Mungkin karena mereka tidak mempunyai pekerjaan yang lain, atau mungkin karena mereka memang gagal bergabung dengan kaum elit, dan kopi espresso yang paling murah dan murahan saja harganya 10.000 segelas pancung itu…

Ah... tetunduh co...

KURBAN MENURUT MAZHAB FREUDIAN



... 
Oleh Ramli Cibro
Freud pernah membuat sebuah Teori yang sangat mengejutkan dan berbeda dengan pandangan umum. Freud menuliskan bahwa Musa (salah satu tokoh inti dalam Bangsa Yahudi) sebenarnya bukanlah keturunan Yahudi. Menurut Freud ia adalah bangsa Mesir (Sesuai dengan namanya Musa yang memang diambil dari bahasa Mesir yang artinya ‘anak’). Oleh karena itu, wajar ketika ia menyampaikan risalah dan pembebasan kepada kaum Yahudi yang tertindas ia membutuhkan Harun sebagai penerjemah yang memang berasal dari bangsa Yahudi Asli.
Dalam kebanyakan mitos diyakini bahwa pahlawan selalu berasal dari bangsawan yang diusir oleh sang Ayah karena dianggap mengancam kedudukannya. Hal yang sama berlaku pada Musa yang bangkit menentang hegimoni sang ayah (Fir’aun) dan mengobarkan pemberontakan melawan bangsanya sendiri.

KRONOLOGI FILSAFAT




FILSAFAT ISLAM DAN BARAT
806-873 Abu Yusuf bin Ishak Al-Kindi (Metafisika dan Fisika) Arabia Selatan Kindah
870-950 Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Al-Farabi (Logika dan Metafisika) Arabia
980-1037 (Peripatetik) Bukhara
1033-1109 Anselmus Centerbury (eksistensi Allah)
1058-1095 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly (metafisika, kritik filsafat, etika) Thus Iran
1126-1198 Abdul Walid Muhammad bin Ahmadn Ibn Rusyd(metafisika, kritik filsafat, ) Cordova
1201- 1274 Khwazah Natsir Ad-Din At-Thusi (metafisika, fisika)  
1210-1292 Francis Bacon (empirisme)
1219 PERANG MONGOL PENAKLUKAN KHAWARIZMI

MENJENGUK ACEHNOLOGI


Opini Harian Serambi Indonesia, 27 Maret 2017
Ramli Cibro
Akhir-akhir ini, Hiruk pikuk politik mendominasi perhatian kita. Seolah-olah satu-satunya perkara di Aceh hanyalah perkara politik. Padahal, di tengah itu semua, masih ada elemen-elemen lain yang luput dari perhatian. Ada banyak persoalan lain yang juga tidak kalah pentingnya dari euphoria politik. Dan salah satu dari persoalan penting tersebut adalah persoalan keilmuan, persoalan intelektual.
Di saat aktivitas politik seolah menguasa media dan isu, Di Sudut bangunan UIN sana, terdapat aktivitas lain yang berusaha mempertegas posisi intelektual Aceh dimata dunia. Terdapat orang yang sedang berusaha memperkenalkan Aceh dengan cara Aceh (meu-Aceh).  Berusaha memberi tahu orang Aceh tentang identitas, tentang sejarah, tentang kebudayaan dan tentang masa depannya.
Di sudut UIN sana, terdapat benih intelektualitas keacehan yang melihat Aceh dari Kosmologi Aceh yaitu dari cara orang Aceh melihat Tuhannya, cara orang Aceh melihat Alamnya, cara orang Aceh melihat sejarahnya dan cara orang Aceh melihat sesamanya. Aktivitas demikian, narasi yang demikian, pekerjaan yang demikian, dinamai oleh penulisnya (Kamaruzzaman Bustamam - Ahmad) sebagai Acehnologi, yang artinya ilmu tentang bagaimana orang Aceh melihat Aceh dengan cara meu-Aceh.

MENCEGAH KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK




Oleh Ramli Cibro
Akhir-akhir ini kekerasan seksual kepada anak semakin merebak. Orang-orang biasa menyebut mereka yang suka menyerang anak secara seksual sebagai predator anak. Faller menyebutkan bahwa penganiayaan seksual pada anak lebih sering dilakukan oleh anggota keluarga daripada oleh orang yang tak dikenal, tetapi anak perempuan lebih rentan dari pada anak laki-laki untuk mengalami penganiayaan seksual dari anggota keluarga atau dari orang yang dikenal (Jefrey S.Nevid, dkk 2003: II,227). Knudsen menyebutkan pola penganiayaan seksual pada anak mencakup kisaran aksi-aksi seksual seperti pelukan, ciuman, ekshibisionisme, perabaan genital, seks oral, persetubuhan anal, dan pada anak-anak perempuan, persetubuhan vaginal. Jefrey S. Nevad, dkk 2003: II,227) 
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah peningkatan sanksi hukum (seperti wacana pemberlakuan hukum kebiri) saja cukup? Atau ada hal-hal lain yang lebih penting yang mesti dilakukan?

Sunday, 26 March 2017

Aku mencintaimu dalam diam

Aku mencintaimu dalam diam
dalam ketidakberdayaan menembus waktu
dalam ketidakberdayaan menembus ruang

Aku mencintaimu dalam diam
dalam ketidakberdayaan menembus cinta
dalam ketidakberdayaan menembus hendak

Kau adalah bidadari diamku
Bidadari ketidakberdayaanku
Bidadari ketidaksamaan masa dan waktu

Kau adalah bidadariku
walau kau tetaplah bidadariku

Jama' dan Faraq



Sang sufi sedang mengamalkan konsep Jama' dan Farq dalam kehidupan politiknya
Oleh Ramli Cibro
Dalam buku Tasawuf Risalah Al-Qushairiyah, ada istilah tekhnis dalam tasawuf yang menggambarkan dua kondisi spiritual yang harus dijaga oleh seorang hamba. Kedua kondisi tersebut adalah Jama' (Penyatuan) dan Fara' (Pemisahan). Kedua nama ini merupakan istilah tekhnis dalam tasawuf yang menjelaskan tentang bagaimana seorang hamba beriman sekaligus beramal shaleh. Artinya, dua kondisi ini menjadi syarat bagi terciptanya kesempurnaan pengabdian dan kesadaran. Dengan jama' seorang hamba harus senantiasa merasakan penyatuan spiritual dan dengan fara' seorang hamba akan merasakan kefaan diri dalam keterpisahan.  Dengan kedua terminologi ini, seseorang harus menyembah kepada Allah sekaligus memohon kepadanya, menjadi hamba sekaligus menjadi kekasih Allah. 
Imam Al-Qushairi al-Naisaburi dalam kitab tersebut menjelaskan bahwa jama’ dan faraq adalah dua kutub sinergi yang saling melengkapi. Ketika seorang Hamba berusaha menyembah Tuhan dengan sebaik-baiknya dan dengan kesungguhan hati maka ketika itu si hamba berada dalam keadaan faraq. Dan ketika seorang hamba dianugerahi keihsanan, kekhusyu’an, kedamaian hati dan cinta rabbani, maka ketika itu si hamba berposisi sebagai jama’. 

ISLAM NUSANTARA VERSI KBA (Bagian Satu)



Pada tahun 2016, gaung Islam Nusantara bergema dan di populerkan. Gaung ini setidaknya memiliki pertalian dengan Islam Post-Modernisme yang digagas oleh Generasi Nurcholis Majid, Pribumisasi Islam Abdurrahman Wahid hingga Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan. Gaung ini juga memiliki hubungan dengan pembacaan Al-Qur’an lagam Jawa (tanggal) di Istana Negara yang membuat presiden Jokowi mengkampanyekan terminologi Islam Nusantara. 
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad melakukan kritik menuliskan bahwa Islam Nusantara bergeser ke arah yang tidak semestinya. Kamaruzzaman menuliskan bahwa setidaknya ada tiga arah pergerakan yang mengindikasikan kerancuan makna Islam Nusantara itu sendiri. Pertama, menguatkan pengaruh NU bagi upaya defenisi terhadap Islam Nusantara sehingga menapikan pola Islam yang lain. Kedua, isu Islam dan Kebangsaan (isu nasionalisme) yang menggeser makna Islam Nusantara dari proses kontak Islam dan Lokalitas menuju kepada makna Islam dan kebangsaan. Akibatnya, Islam Nusantara justru hegemoni Negara diatas agama, bukan memposisikan agama sebagai kritik bagi Negara. Yang ketiga, menguatnya faham reduksi berkenaan dengan Islam Nusantara sebagai agama Islam yang telah bercampur dengan agama kejawen, yaitu suatu agama yang menurut Kamaruzzaman memiliki campuran antara Ajaran Hindu, Budha, Kebatinan, Kristen dan juga Islam. Oleh karena itu perlu ada acuan khusus yang ditawarkan sebagai bentuk keislaman Nusantara yang lebih objektif, berkonsep dan dinamis. Artinya, yang ditawarkan dari Islam Nusantara bukanlah identitas kenusantaraan yang sayangnya digiring kepada isu NU-isasi, Kebangsaan (Nasionalisme) dan Agama Jawa (Islam-Kejawen) Namun kepada satu kerangka meta-konsep yang dinamis dan dapat dipraktekkan disetiap wilayah tanpa harus merusak identitas dan kearifan wilayah yang bersangkutan dan tanpa harus memaksakan satu karakter tertentu (seperti karakter Jawa) kepada wilayah tersebut....

Bersambung...

Ikro... Bacalah..,,