Friday, 29 December 2017

Cerpen; Bukan Lagi Rumahku

Cerpen (Apresiasi) Serambi, 26 November 2017
Oleh Ramli Cibro
Jam 2 malam acara usai. Para tamu kemudian pulang ke rumah masing-masing. Aku masih menunggu. Karena seingatku dulu tempat ini adalah rumahku. Dimana aku selalu merasa nyaman berada di dalamnya. Di tempat aku menghabiskan umurku yang tidak sedikit. Di tempat aku mengukir suka dan duka. Di tempat aku pertama kali mengenal apa itu jatuh cinta.
Jam 2 malam acara sudah usai. Aku masih duduk di kursi tamu, menunggu, walau tidak tahu apa yang harus kutunggu. Aku hanya merasa harus menunggu.Sampai kemudian beberapa orang santri melipat kursi-kursi tamu. Mereka semakin mendekat ke arahku. Sebagian ada yang berbisik seperti enggan. Aku tahu, mereka menungguku untuk bangkit berdiri, supaya kursi yang kududuki segera dilipat untuk dirapikan. Dan Akupun berdiri lalu pergi.

MAULID DALAM PREPEKTIF FILSAFAT KENABIAN

Ramli Cibro
Sesuai dengan judulnya, tulisan ini bukan hendak membedah tradisi Maulid dari prespektif dalil fikih. Namun, tulisan ini ingin melihat maulid dari sudut pandang yang tidak biasa, yaitu sudut pandang filsafat, khususnya Filsafat Kenabian. Kajian ini ingin memperkenalkan modifikasi maulid dalam filsafat kenabian dalam narasinya sebagai “Kebenaran” dan dalam prakteknya sebagai “Kehadiran.”
Pada mulanya filsafat kenabian hanya mengacu pada urgensi Nabi sebagai utusan pilihan dan posisi intelektual Nabi dalam kaitannya dengan ‘aql fa al (active intellect). Namun disini, kajian akan diarahkan kepada bagaimana melihat urgensi “Kehadiran Nabi” dalam kehidupan aktual seorang Muslim. Atau lebih jauh lagi, bagaimana mengupas pandangan Filsafat Kenabian atas tradisi Maulid sebagai upaya untuk menghadirkan spirit dan ruh Baginda Rasul SAW dalam prespektif imanensi kenabian.

Saturday, 4 November 2017

DARI GANJA KE SABU; PERUBAHAN FENOMENA SOSIAL MASYARAKAT ACEH


Opini Pikiran Merdeka, 30 Oktober 2017
 *Ramli Cibro

Akhir-akhir ini, fenomena sabu menguat dan menjadi trend tersendiri di kalangan masyarakat Aceh. Baru-baru ini, publik Aceh bahkan dikejutkan oleh penangkapan salah seorang anggota DPRA yang kedapatan menggunakan sabu. Rupa-rupanya, kepopuleran sabu telah mengalahkan ganja yang sebelumnya menjadi icon negeri. Dan uniknya, peredaran sabu yang gencar berbarengan dengan masifnya upaya pemusnahan terhadap ladang-ladang ganja berikut penangkapan terhadap para kurir bako aceh tersebut. Baru-baru ini, (18/8/2017) Polda Aceh berhasil meringkus para kurir dan mengamankan sekitar 40 kilogram ganja di Aceh Utara. Sebelumnya, puluhan hektar ladang ganja di Montasik, Indapuri dan Seulimuem juga dimusnahkan. 


Tuesday, 24 October 2017

Profesi Yang Rasis

Oleh Ramli Cibro 
Panorama keindahan salah satu pulau dimana banyak penduduknya berprofesi sebagai penyelam dengan alat bantu selam sederhana. Saat ini, oleh pemda setempat mereka tidak diperbolehkan lagi untuk menyelam. "Bagaimana nasib mereka nanti? Mana ada yang peduli..."
Seno Joko Suyono dalam bukunya Tubuh Yang Rasis (2008) menuliskan tentang asal mula kemunculan ras unggul di Eropa. Dalam buku tersebut ia menjelaskan telah terjadi pemusnahan terhadap mereka yang dianggap lemah dan rawan berpenyakit. Dengan politik kesehatan, para dokter mengidentifikasi mereka yang secara ras berbeda dengan ras utama, untuk kemudian dikarantina sebelum dimusnahkan. Padahal, sejatinya tubuh adalah kodrat ilahi dimana manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengintervensinya. Namun hal demikian terjadi pada masa kegelapan di Eropa.

Monday, 9 October 2017

SYARI'AT YANG BERMAKRIFAT


Serambi Opini, 06 Okt 2017
Oleh : Ramli Cibro
Secara umum, implementasi syari‘at Islam di Aceh telah memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan. Hanya saja, ekses syari‘at lebih mengacu pada persoalan-persoalan kuantitatif dan agak menyampingkan dimensi kualitatif. Sejauh ini implementasi syari’at baru sebatas memproduksi hukum, perangkat-perangkat hukum dan aturan-aturan baru. Imbasnya pada kesadaran masyarakat masih terlihat rendah. Angka kriminalitas dan kemaksiatan tergolong tinggi. Kemiskinan justru meningkat dan anak-anak yang tidak bersekolah juga bukan sedikit.
Syari’at Islam walaupun secara umum memiliki makna yang bermuatan fikih, tapi tidak sepatutnya dijadikan patokan bahwa implementasi syari’at Islam di Aceh haruslah berdimensi fikihistik.
Seyogyanya, kata syari‘at hanyalah jalan untuk memuluskan pembangunan nilai-nilai keislaman secara utuh. Artinya, makna syari’at, mau tidak mau mesti digiring pada persoalan-persoalan yang lebih luas, mencakup dimensi ruhani, adat istiadat, moralitas, ketauhidan hingga pengembangan intelektualitas keagamaan. Sehingga syari’at menjadi jalan menyeluruh dalam menyempurnakan hukum dan hikmah dalam agama.

Tuesday, 26 September 2017

KARENA KITA ADALAH MANUSIA

Ramli Cibro
Entah mengapa saya harus menulis tulisan ini. Perihal tentang begitu banyaknya manusia yang mati sia-sia di lautan karena harus melarikan diri dari Junta. Atau manusia yang mati di selokan karena menenggak oplosan atau menenggak pil yang membuatnya menjadi gila. Atau mati dijalanan karena kebut-kebutan diusia mereka yang masih muda. Dimana situasi dunia masih membutuhkan lebih banyak manusia, untuk menyemai kesadaran untuk bersama-sama membangun peradaban yang lebih mulia. 

Saturday, 19 August 2017

Teruskan Kecerobohanmu Putri Kecil



Hai Putri Kecil. Apa Kabarmu?
Aku kenal orang sepertimu yang terlalu sibuk dengan hal-hal sepele dan melupakan hal-hal serius. Aku kenal orang sepertimu yang mengikut arus sekaligus mencoba untuk melawannya. Aku kenal orang sepertimu yang begitu idealis namun tanpa sengaja sering menabrak idealismenya sendiri.
Hampir semua salah di matamu tapi bukan karena kau suka menyalah-nyalahkan. Hanya saja kau terlalu sensitif dan terlalu peka untuk setiap apa yang kau lihat telah penyimpang. Kau terlalu baik, terlalu berempati, hingga terkadang kau terjebak dalam empatimu sendiri. Sering terjadi kau tidak mampu melepaskan diri atau mengakhiri hubungan yang terbentuk tanpa sengaja akibat kecerobohan (persisnya keluguan)mu. 

Wednesday, 16 August 2017

Gereja Tua di Pinggir Jalan

Jalanan masih sama seperti dahulu. Tepatnya tahun-tahun pertama kampung itu dibuka. Oleh Pendeta berdarah Belanda ditengah-tengah perkebunan teh milik VOC. Gereja itu bersebelahan dengan kandang kambing milik si Pendeta yang sudah lama tidak dipakai. Kandang kambing itu kini telah diisi dengan ternak babi, oleh anaknya yang kawin dengan janda pribumi. 
Pendeta itu bernama Albertus, seorang Spanyol yang mengupah diri menjadi pendeta pemerintah Hindia Belanda. Ya. Diantara negara Eropa, Belanda termasuk negara dengan jumlah pendeta paling langka. 
Selain karena banyak pendeta yang ditugaskan untuk misi gospel, juga karena anak-anak muda belanda yang tidak lagi tertarik belajar Agama. Mereka lebih meminati filsafat, sains, ekonomi, alkohol dan nona-nona. Mereka lebih menyukai musik jaz daripada lantunan musik-musik rohani.
Pemuda Belanda lebih menyukai gagasan humanisme yang rasional daripada paradigma-paradigma agama yang menjajah walau berkedok pencerahan dan berkedok menebar kasih Tuhan. 

Wednesday, 26 July 2017

Dari Ziarah ke Umrah; Pergeseran Spiritualitas Masyarakat Aceh



Pikiran Merdeka, Senin 24 Juli 2017
 Oleh Ramli Cibro
Fenomena Umrah yang marak akhir-akhir ini sejatinya patut disukuri sebagai bagian dari meningkatnya rasa kesadaran beragama ummat Islam khususnya di Aceh. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa hati manusia tidak dapat lepas dari nuansa-nuansa spiritual, kesyahduan beragama, kekhusyu’an dan keintiman dengan sang Ilahi. Sudah menjadi fitrah bahwa di situasi kehidupan yang sulit, manusia membutuhkan medium yang dapat melepaskan dahaga spiritual. 

Membaca Hubungan Aceh dan Jakarta dalam Narasi UUPA dan Bab Istisna'

Ramli Cibro

Memahami hubungan Pusat dan Aceh sederhananya seperti memahami Bab Istisna dalam narasi mustasna dan mustasna minhu. Bahwa Aceh adalah mustasna dan Pusat adalah mustasna minhu. Artinya, mustasna harus merupakan bagian dari mustasna minhu, Aceh harus menjadi bagian dari Pusat. Bahwa kepentingan Aceh adalah pengecualian dari kepentingan Pusat. Bahwa pusat harus mendahulukan kebutuhan umum bangsa Indonesia secara keseluruhan, baru kemudian mempersilahkan Aceh untuk mengajukan pengecualian. Bukan sebaliknya bahwa Pusat harus menyesuaikan aturan dengan Aceh. Karena tidak mungkin mustasna minhu menjadi bagian dari mustasna, sama seperti tidak mungkin Pusat menjadi bagian dari Aceh. Acehlah yang harus menjadi bagian dari Pusat, walaupun pada akhirnya kemudian Aceh membuat pengecualian.

Melampaui Perang Agama



Ramli Cibro

Dalam memaknai Perang Palestina, kita harus melampaui narasi Agama karena tidak banyak orang di dunia ini yang bersimpati pada isu Agama. Perang Palestina harus dimakna sebagai narasi penindasan, pelanggaran hak-hak kemanusiaan dan merampas kemerdekaan suatu Bangsa. Kita harus bersama-sama meyakinkan dunia, bahwa tidak boleh ada lagi kekerasan atas manusia dimanapun dan kapanpun. Bahwa tidak boleh ada lagi pelanggaran atas hak-hak dan kemerdekaan suatu bangsa, dimanapun dan kapanpun. Bahwa tidak boleh ada lagi penindasan kepada manusia, apapun agamanya, dimanapun dan kapanpun.
Bendera Palestina
Karena sejatinya bumi ini adalah tempat kita berpijak, bersama-sama. Tentu wajib bagi setiap kita untuk menjaga pijakan itu bersama-sama pula. Kita harus yakin, bahwa kehidupan manusia di dunia ini sudah terjalin, berkelindan begitu erat. Tidak ada lagi Timur dan Barat. Tidak ada lagi Darul Islam dan Darul Harbi. Tidak ada lagi tanah terlarang atau tanah yang dijanjikan. Yang ada hanyalah tanah cinta, tanah kemerdekaan, tanah penghormatan atas hak-hak manusia, siapapun ia, dimanapun ia dan apapun agamanya.
Kita harus yakinkan dunia, bahwa tidak ada kebahagiaan diatas penderitaan orang lain. Tidak ada kebanggaan dari prilaku menindas dan tirani. Tidak ada kehormatan dari prilaku amoral, curang dan korupsi. Dan tidak ada keabadian yang dapat diperoleh dari permusuhan kecuali ketidaknyamanan, rasa takut dan penyesalan.
Jika kita ingin bahagia di dunia yang bercampur aduk ini, saatnya nomor-duakan sekat primordial dan kembali kepada semangat bersama. Cinta, Penghormatan, Kasih Sayang, Penghargaan, Kemerdekaan dan Gotong-Royong.
Mari kita tolak segala bentuk penjajahan dan kekerasan. Mari kampanyekan kemerdekaan dan kedamaian...

Tuesday, 11 July 2017

Dari "Buku Usang" ke Buku "Foto Copy;" Wajah Pendidikan di Aceh

Oleh : Ramli Cibro




Memang agak aneh ketika ditengah keterpurukan ekonomi, dunia pendidikan justru semakin memperlihatkan taring-nya yang tidak bersahabat. Sebagai tukang foto copy yang memilih beroperasi di kampung daripada di perkotaan dekat kampus, membuat saya merasakan langsung dampak keterpurukan ekonomi itu. Disela-sela menunggu hasil kopian, saya sering bertanya kepada para pelanggan mengenai pekerjaan, penghasilan, suka duka hingga bagaimana mereka menyekolahkan anaknya. Banyak orang tua yang mengeluh betapa biaya sekolah semakin menggila dari hari ke hari. Memang kebanyakan sekolah tidak memungut biaya kecuali mungkin untuk seragam olah raga dan baju batik. Namun, beberapa kebijakan terasa sangat memberatkan orang tua siswa. Salah satu dari kebijakan tersebut adalah kewajiban untuk memfoto-copy buku-buku paket pelajaran.
Sebagai tukang foto copy saya sering menghitung bahwa rata-rata setiap tahun ada sekitar sepuluh sampai lima belas buah buku foto copy yang harus di copy khususnya oleh siswa pada jejang pendidikan SD dan MI. Rata-rata harga satu kopian buku antara 20 sampai 30 ribu. Jika dikalkulasikan 15 buku kali 25 ribu, setiap tahun, anggaran buku satu siswa dapat mencapai Rp. 300.000 ribu lebih. Itu belum lagi kewajiban untuk ganti-ganti buku tulis setiap tahun ajaran atau larangan menggunakan buku tulis lama yang hanya terpakai beberapa lembar untuk dipakai pada tahun ajaran baru.
Saya kembali bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sekolah-sekolah kita? Sebagian guru memang mengeluhkan bahwa buku paket pelajaran yang diberikan oleh pemerintah sangatlah terbatas. Ini memang ironis di tengah anggaran yang katanya konon melimpah ruah. Namun yang lebih ironis lagi adalah kreatifitas dan rasa empati yang tidak mampu ditunjukkan oleh guru-guru kita. Tidak selamanya pembelajaran yang baik berarti mengkopi seluruh buku dari halaman pengantar sampai halaman catatan. Tidak mesti pendidikan berarti menjejali anak-anak kurikulum-kurikulum tebal nan membosankan.
Disanalah terlihat bahwa kreatifitas para guru perlu dipertanyakan. Apakah tidak ada cara lain mentransformasi pelajaran tanpa harus terjerat dalam diktum-diktum beku, buku dan silabus? Bukankah ada begitu banyak cara-cara kreatif dan menyegarkan, seperti belajar di luar ruangan, belajar langsung dari alam, belajar berinteraksi antar siswa atau sekali-kali belajar dengan melibatkan orang tua? Atau jangan-jangan guru-guru kita memang banyak yang sebenarnya tidak berkompetensi untuk mengajar? Atau malas mempersiapkan bahan ajar? Akhirnya, mereka mengambil jalan pintas lalu kemudian menjejali anak-anak dengan buku-buku dan bacaan-bacaan?

Saturday, 8 July 2017

MEMBACA SYATAHAT POLITIK JOKOWI


Pikiran Merdeka, Senin, 26 Juni 2017

Ramli Cibro

 Kamis 1 Juni 2017, di halaman Gedung Pancasila komplek kementerian Luar Negeri Jakarta Jokowi menyampaikan  pidato peringatan hari lahir ke 72 Pancasila. Pidato yang katanya terinspirasi dari pidato Bung Karno tersebut cukup kontroversi lantaran kalimat, “Saya Pancasila!” yang diungkapkan dinilai oleh sebagian kalangan kurang tepat. Kata-kata tersebut dianggap telah mereduksi makna Pancasila. Seolah Jokowi dengan kata-katanya telah menepatkan Pancasila pada ruang makna yang sempit. Seolah, jika Jokowi adalah Pancasila maka yang lain bukan Pancasila.
Secara logis, kata-kata Jokowi memang keliru dan reduksionis. Ini bukan pilihan kata yang tepat bagi seorang presiden di Negara demokratis yang menolak hegemoni individu tertentu. Kata-kata yang menyimbolkan seseorang dengan lambang negara mungkin tepat jika diucapkan oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlaq semisal raja atau diktator. Namun Jokowi adalah presiden republik Indonesia. Mendefenisikan diri sebagai Pancasila jelas merupakan kekeliruan yang fatal.
Namun, membaca Jokowi tidak tepat jika sekedar membaca apa yang ia sampaikan. Perlu ada pembacaan khusus untuk memahami mengapa Jokowi berani mengucapkan perkataan tersebut. Perlu dilihat apa yang melatarbelakangi kata-kata Jokowi itu. Dan perlu juga dikaji prespektif apa yang digunakan oleh Jokowi sehingga ‘nekat’ mengucapkannya. 

Saturday, 3 June 2017

Memetakan Narasi Islam Nusantara

Opini Harian Serambi Indonesia 17 Mei 2017
Ramli Cibro

Pagi 15 Mei 2017 di UIN Ar-Raniry Banda Aceh diadakan seminar bertema Mengukuhkan Titik Nol Islam Nusantara. Seminar yang mendatangkan Mantan Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra tersebut seolah mengisi kehausan narasi intelektual rakyat Aceh yang merasa didhalimi oleh peletakan titik Nol Islam Nusantara di Barus. Padahal semua orang tahu, sejarah pun tahu bahwa Aceh adalah titik pertama Islam berkembang di Nusantara. Seminar Nasional di ruangan yang hanya muat 140 peserta tersebut sedikit menghibur hati. Setidaknya ada satu pengukuhan psikologis bahwa memang benarlah tanoh endatu mereka sebagai batu loncatan bagi penyebaran Islam di Negeri ini.
Uniknya, seminar yang hanya diisi oleh pemateri dari intelektual di bidang sejarah tersebut justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda-benda satu sama lain. Prof. Dr. Azyumardi Azra berpendapat bahwa Islam Nusantara bermula dari Pasai. Sedangkan Prof. Dr. Farid Wajdi berpendapat bahwa Islam Nusantara muncul di Peurlak. Sedangkan Husaini Ibrahim, seorang sejarawan Aceh meyakini bahwa Islam Nusantara lahir di Lamuri. Walaupun berbeda pendapat, ketiga sejarawan tersebut setidaknya meyakini bahwa bahwa Islam Nusantara bermula di Aceh, bukan di Barus (walaupun konon Barus dulunya juga bagian dari imperial Aceh)

Titik Nol Islam Nusantara; Mengapa Bukan Aceh?

 
Opini Harian Serambi Indonesia 31 Maret 2017
Ramli Cibro
Belum lagi selesai dilema Wisata Syari'ah yang malah jatuh ke BALI, hari ini kita dikejutkan oleh penepatan Barus yang penduduknya sebagian besar non-muslim sebagai Titik Nol Islam Nusantara. Kali ini kita bertanya, bukankah sejarah Islam di Nusantara dimulai dari Aceh dengan kerajaan-kerajaan pertama Pasai, Perlak dan Lamuri ? Mengapa justru tugu Islam Nusantara di letakkan di tempat lain?

Untuk menjawab persoalan tersebut tentu kita harus kembali kepada  akar masalah apa itu Islam Nusantara? Karena sejatinya perkara “Islam Nusantara” bukanlah sekedar perkara sejarah dimana pertama sekali Islam menginjakkan kakinya di Nusantara. Islam Nusantara adalah perkara Epistimologi-Teologi tentang bagaimana dan dimana konstruksi keislaman dan kebudayaan dimulai secara utuh. Siapa yang dengan gamblang menjelaskan konsep dialog keislaman dan kebudayaan dalam bingkai ketasawufan berbasis wujud? (Mulyadi, 2016:81)

Sunday, 14 May 2017

BEBERAPA BUKU YANG MENULIS TENTANG HAMZAH FANSURI (BAGIAN 1)


Oleh Ramli Cibro


Tulisan ini akan mencoba memperkenalkan beberapa buku yang menulis mengenai Hamzah Fansuri. Buku-buku tersebut akan diperkenalkan satu persatu kepada khalayak mengingat masih akan banyak orang yang ingin mengkaji Hamzah Fansuri. Dan dengan memperkenalkan beberapa buku mengenai Hamzah Fansuri akan membantu para peneliti pemula untuk memetakan arah kajiannnya dan menemukan hal-hal yang tidak ditemukan oleh peneliti Hamzah Fansuri sebelum-sebelumnya.

Apapun itu semoga tulisan ini bermanfaat hendaknya Amin,...

The Mysticism of Hamzah Fansuri
Syed Naquid Al-Attas (1970) dengan karya-nya The Mysticism of Hamzah Fansuri.  Al-Attas dalam buku tersebut selain menjelaskan beberapa pokok ontologi seperti al-a’yân al-thâbîtah, rŭh, nafs, Sifât, dan Asmâ,’ juga memuat beberapa persoalan epistimologi yaitu fanâ, ma’rifah dan ikhtiâr. Selain itu Al Attas juga berusaha untuk menjelaskan konsep irâdah dan amr Tuhan dengan menggunakan kata hendak sebagai key-word atau kata kunci.
 
Tasawuf yang Tertindas
Abdul Hadi W.M dengan karya-nya Tasawuf Yang Tertindas (2001).  Karya yang merupakan disertasi di Universitas Sains Malaysia tahun 2006 tersebut memuat konsep-konsep metafisika, psikologi keruhanian, epistimologi sufi dan estetika. Metafisika mengkaji tentang a’yân, alam lahũt dan alam nasũt. Psikologi ruhani membahas persoalan kemabukan spiritual (‘ishq) dan cinta (maḥabbah). Epistimologi sufi membahas mengenai pendakian spiritual dalam empat tingkatan yaitu sharî’ah, ṭarîqah, ḥaqîqah dan ma’rifah. Dan estetika mempersoalkan rima (pola atau bentuk sya’ir) dan citra simbol (seperti burung, kapal dan laut).


Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri
Afif Anshori dengan Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fiansuri (2004). Membahas tentang persoalan Ontologi-Metafisika ajaran tasawuf Hamzah Fansuri serta Reaksi Nǔr Al dĭn Al Rânĭrĭ atas ajaran tasawuf Hamzah Fansuri. Afif menuliskan setidaknya 5 sanggahan Al Rânĭrĭ yaitu Konsepsi Wujǔdiyah, Eksistensi Nyawa, Kemakhlukan Al-Qur’an dan kebersatuan wujǔd. 

Wujudiyah Hamzah Fansuri Dalam Perdebatan Para Sarjana
 Syarifuddin dengan karya-nya Wujúdiyah  Hamzah Fansuri dalam Perdebatan Para Sarjana (2011).  Karya tersebut membahas berbagai persoalan ontologi seperti asal usul terminologi wujúdiyah, dan kosmologi tajalllî dzât. Terakhir, sesuai dengan judulnya yang mengacu pada perdebatan para sarjana, Syarifuddin menuliskan dua kubu sarjana yang masing-masing mendukung dan menolak ajaran wujúdiyah, Hamzah Fansuri hingga kemudian disimpulkan bahwa mereka yang menolak ajaran Hamzah Fansuri memiliki argumentasi yang lemah karena melihat persoalan wujúdiyah dari dimensi tashbîh, imanensi atau pengumpamaan semata. Padahal menurut Syarifuddin, ajaran wujúdiyah Hamzah Fansuri juga bermuatan tanzîh atau transenden.

 Tasawuf dan Sastra Melayu, Kajian dan Teks-Teks dan Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7 -19

V.I Braginsky dengan Tasawuf dan Sastra Melayu, Kajian dan Teks-Teks (1993) dan Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7 -19 (1998)  Kedua karya tersebut membahas konsep-konsep ontologi dan kosmologi Hamzah Fansuri meliputi hakikat wujud, nur Muhammad, makro-kosmos dan mikro-kosmos.




Buku Aksiologi Ma'rifah Hamzah Fansuri
 Ramli Cibro, Aksiologi Ma'rifah Hamzah Fansuri adalah buku yang mencoba mengevaluasi struktur ontologi, epistimologi dan aksiologi dari ajaran tasawuf Hamzah Fansuri. Melalui paradigma filsafat pragmatis Wiliam James, dan dengan pendekatan semantik, penulis mencoba menawarkan prespektif baru dalam memahami Hamzah Fansuri dan ajaran tasawufnya. Oh ya... bagi yang berminat, dapat menghubungi nomor si Cibro, 085270522312 no SARA ha ha

Buku Wahdah Al-Wujud dan pengarangnya, Miswari Usman Banta Ahmad The Drunken Master Leumak Mabok (Gambar2 ini mungkin memiliki hak cipta.. mohn izinnya)
Miswari, Wahdah Al-Wujud; Konsep Kesatuan Wujud antara Hamba dan Tuhan menurut Hamzah Fansuri, terbitkan Basa-Basi, merupakan buku yang sangat kuat mendiskusikan aspek ontologi Hamzah Fansuri. Ibarat obat, buku ini memiliki dosis yang sangat tinggi, atau dalam bahasa Aceh "Leumak Mabok." Sampai tulisan ini ditorehkan, penulis baru membaca versi tesis dari buku ini. Ia membahas secara tuntas mengenai konsep wujud Hamzah Fansuri dalam kitab ashrar arifin. Penulis sendiri sudah menargetkan bahwa tahun 2019 adalah tahun dimana penulis akan mempelajari pemikiran "drunken master dalam ilmu filsafat islam" yang satu ini. Oh ya... ada yang berminat... langsung saja ke orangnya... dengan kode sakti 085260649068

SEBENARNYA: SEBENARNYA ADA BEBERAPA BUKU LAGI YANG MEMBAHAS MENGENAI HAMZAH FANSURI SEPERTI BUKU-BUKU PROF.SIMUH DAN LAIN-LAIN. TAPI BERHUBUNG PENULIS BELUM MEMILIKI ATAU MENGAKSESNYA JADI>>> YA>>> APA YA??? 

[

BARUS KOTA WAHDATUL WUJUD



Ramli Cibro
Sejarah Islam Nusantara adalah sejarah yang berbicara tentang proses asimilasi Islam ke wilayah Nusantara. Peneliti menyebutkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para sufi pengembara yang menyebarkan faham-faham ketasawufan. Hasilnya Islam yang berkembang di Nusantara adalah Islam berdimensi sufistik. (Azra, 2013) Yaitu ajaran Islam yang lebih mengedepankan pembinaan ruhani dan batiniah ketimbang pembinaan fisik dan bangunan. Oleh karena itu, sejarah peradaban Islam di Nusantara di masa lampu tidak terlalu signifikan meninggalkan bangunan-bangunan monumental dan artefak-artefak akan tetapi lebih kepada transformasi kebudayaan dalam bentuk pemikiran-pemikiran keagamaan, tradisi-tradisi dan naskah-naskah kitab.

Wednesday, 10 May 2017

Kisah Manshur Al-Fanshuri



Suatu ketika di Pulau Ruja, jauh sebelum masa Iskandar Muda, terdapat seorang tokoh agama, Manshur Al-Fanshuri namanya. Bersama Syamtra et, bersekutu ia mengajarkan ilmu Salek Buta.
Lalu datanglah dua Ulama dari tanah Arab yang bernama Syeh Abdul Kade dan Syeh Abdurrauf menantang keduanya untuk mengadu bakar kitab. Siapapun yang kitabnya terbakar api harus tunduk dan menyerah kepada mereka yang kitabnya tidak terbakar.
Oleh Manshur Al-Fansuri dan Syamtra et di lemparlah kitab-kitab mereka ke dalam api dan hangus terbakar kitab-kitab itu, menunjukkan jalan yang dilalui penganutnya adalah sesat. Giliran Syeh Abdul Kade dan Syeh Abdurrauf melemparkan kitab mereka. Kedua tidak melemparkan kitab apa-apa, hanya melemparkan kitab Al-Qur’an ke dalam api dan tidak terbakar.
Karena merasa kalah, maka larilah Manshur Al-Fansuri dan Syamtra et ke luar negeri. Konon, Manshur Al-Fansuri lari ke Seunagan dan Syamtra et lari ke Negeri Malaya.
Adapun Syeh Abdul Kade dan Syeh Abdurrauf kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke Pasee Perlak lalu ke Padang, kemudian ke Malaka dan terakhir sampailah mereka ke Pulau Jawa. Sepanjang perjalanan bertambah-tambahlah anggota mereka hingga mencapai Sembilan orang. Lalu Sembilan orang ini sampailah di Negeri Jawa menjadi Sembilan wali atau dalam bahasa Jawa, Wali Songo.
Tutur seorang kakek tua yang mengaku sebagai murid Syeh Awe Geutah…

Friday, 5 May 2017

DEMI BANGSA MADANI

Tulisan Lama


DEMI BANGSA MADANI
Ramli Cibro
Peristiwa 4 November 2016, 2 Desember 2016 dan 31 Maret 2017 telah memicu sedemikian rupa kekerasan berbasis agama di Indonesia. Tuntutan-tuntutan yang diajukan juga lebih mengarah kepada pendobrakan konstitusi. Misalnya, tuntutan untuk mempenjarakan Ahok yang secara konstitusi harus melalui prosedur hukum, pengajuan kasus, pemeriksaan, memanggil ahli dan pakar, lalu kemudian dihadapkan pada proses peradilan. Maka tuntutan yang pantas untuk seorang Ahok adalah mengadili Ahok atau untuk memeriksa Ahok. Tuntutan lainnya yang tidak konstitusional seperti gantung Ahok atau turunkan Ahok dari gubernur. Persoalannya kemudian semakin membesar ketika beberapa oknum mulai mengeluarkan ancaman dan sayembara ‘bunuh’ terhadap Ahok. Tentu hal ini menjadi tidak pantas ditengah upaya kita bersama untuk menegakkan keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan.

Monday, 10 April 2017

BUKU KERAMAT

BUKU KERAMAT
THE MYSTICISM OF HAMZAH FANSURI
Sebuah Penampakan

BUKU THE MYSTICISM OF HAMZAH FANSURI


Ini Buku The Poems of Hamzah Fansuri
Buku The Poems of Hamzah Fansuri Drewes dan Brakel...

Tuesday, 28 March 2017

ISLAM NUSANTARA VERSI KBA (Bagian Dua)

Buku Islam Nusantara KBA 2017



Oleh Ramli Cibro Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menulis sebuah buku yang secara komprehensif memuat kerangka meta-teori dari bagaimana seharusnya konsep Islam Nusantara? Buku yang diterbitkan awal tahun 2017 tersebut memiliki judul yang sangat panjang yaitu:  Kontribusi Charles Taylor, Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Henry Corbin dalam Studi Metafisika dan Metateori Terhadap Islam Nusantara di Indonesia.
Kamaruzzaman memulai kajiannya dengan mengkritik konsep Islam Nusantara hari ini. Ia menuding bahwa konsep Islam Nusantara telah dibajak oleh kelompok NU.
Kamaruzzaman menuliskan kritikannya:
“Apa yang menarik dari isu dan isi Islam Nusantara adalah penggiringan pada satu pola pemahaman yang dianut oleh kelompok Nahdatul Ulama (NU). Adapun piringan sejarah yang dibawa adalah Sejarah Wali Songo kemudian kepada K.H Hasyim Asy’ari berikut dengan tradisi-tradisi pesantren lainnya yang muncul di kalangan NU. Proses pembelokan sejarah Islam pada pemahaman suatu konsep, lantas digiring pada penguatan identitas dalam konteks Negara Bangsa inilah yang perlu dicermati secara mendalam. Sebab varian kehidupan beragama di Indonesia atau di Asia Tenggara, pada umumnya tidaklah seperti yang dilakukan oleh NU. Selama ini usaha untuk menggiring tradisi pada proses konseptualisasi identitas, memang kerap dilakukan oleh NU. Dulu ketika ada konsep Islam Post-Tradisional, sarjana dari NU juga paling gencar maju ke depan, untuk memperkenalkannya. Hal yang sama dilakukan adalah merujuk pada karya-karya Abdurrahman Wahid. Saat ini ketika Islam Nusantara menjadi salah satu mainstream di dalam menjelaskan keislaman di Indonesia, para pengusungnya, juga merujuk pada karya Abdurrahman Wahid, yaitu konsep pribumisasi Islam. Ketika muncul mengenai perdebatan Islam Liberal di Indonesia, pada sarjana NU juga melakukan hal yang sama, yaitu kerap mengusung Abdurrahman Wahid sebagai salah satu eksponennya.

Monday, 27 March 2017

INTELEKTUAL YANG SAKIT




Oleh Intelektual yang Sakit (Ramli Cibro)
Kajhu, 8 Maret 2016

Intelektual yang sakit bukan bercerita tentang derita sakit yang diterima oleh seorang intelektual. Intelektual yang Sakit Adalah sebuah paradigma, cara melihat atau cara berfikir ala orang sakit dan melihat dari sisi-sisi dan prespektif 'sakit.' Jika Selama ini intelektualitas senantiasa difahami dengan nuansa rigid, borjuis dan mewah. Kaum intelektual digambarkan sebagai orang-orang dengan kesehatan jiwa yang mumpuni dan kejernihan berfikir yang luar biasa, plus kesolehan indifidu yang serak-serak basah. Namun kali ini, ketika intelektualitas dapat dicoba maknai sebagai pengembaraan menempuh derita dan memumat kegilaan. Merangsak hutan-hutan berduri yang hanya sesekali menyuguhkan weweangian getah dan buah-buah sepat dan kelat namun masih dapat ditelan untuk pengganjal perut selama perjalanan.
Intelektual yang sakit adalah jalan berliku tapi jujur, bercerita apa adanya tentang nenek tua yang menggosok-gosok bibirnya dengan irisan tembakau, dan membiarkan lendir mengalir tanpa perlu ia seka, sebagai sebuah kebenaran.

Namun mengapa sebagian kaum marginal kelas "intelektual sakit" masih suka bunuh diri masuk ke dalam hutan rimba intelektualitas versi sakit? Mungkin karena mereka tidak mempunyai pekerjaan yang lain, atau mungkin karena mereka memang gagal bergabung dengan kaum elit, dan kopi espresso yang paling murah dan murahan saja harganya 10.000 segelas pancung itu…

Ah... tetunduh co...